nurcahyo
New member
Bertani secara organik lebih menguntungkan
Bertani secara organik lebih menguntungkan
Bertani secara organik ternyata lebih murah, ramah lingkungan, dan hasilnya pun tak kalah dengan bertani menggunakan pupuk kimia. Hal itu dibuktikan oleh sebagian masyarakat kelompok tani di daerah Depok, Pancoran Mas, Jawa Barat, yang kini mulai menerapkan bertani secara organik.
Program yang diprakarsai Konphalindo ini telah dilaksanakan sejak tahun 2002. Selain bibit, juga diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang tata cara bertani secara organik kepada masyarakat kelompok tani tersebut.
Rakum Sukardi, anggota kelompok tani yang ditemui beritabumi.or.id tanggal 23 Juli bulan lalu, di sela-sela kesibukannya bertani mengungkapkan, ?Lebih bagus pake pupuk kandang. Lebih subur, hasilnya lebih banyak?. Dengan menggunakan perbandingan 3:1 (satu ember pupuk untuk campuran tiga ember tanah), cukup untuk pengolahan satu lahan tanahnya seluas 400 meter persegi.
Jenis yang ditanam bermacam-macam. Selain menanam sayuran seperti bayam dan kangkung, Sukardi juga menanam kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang tolo, dan kacang panjang, umbi-umbian, serta jagung. Hasilnya panennya cukup banyak. Untuk kacang tanah, sekali panen bisa menghasilkan bibit beberapa tampah dengan satu tampahnya kurang lebih seberat lima kilogram.
Sebenarnya, hasil yang sama juga bisa didapatkan dengan menggunkan pupuk kimia. Hanya saja, biaya yang dikeluarkan lebih murah bila menggunakan pupuk organik sehingga lebih efesien dan tidak membahayakan lingkungan.
Jarang sekali suami istri tersebut menjual hasil panennya. Mereka pernah menjual kacang tanahnya dengan harga 15 ribu satu ons-nya. Namun mereka lebih memilih untuk menjadikan hasil panennya sebagai bibit atau untuk dimasak. ?Yang bagus dijadikan bibit, yang kurang bagus kita masak,? kata Komsyah, istri Sukardi.
Dalam bertani organik, pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos dan pupuk kandang. Pupuk kandang yang digunakan Sukardi biasanya dibuat dari kotoran sapi atau kambing. Pemakaiannya pun sederhana, pupuk disebar dan dicampur dengan tanah dengan cara dicangkul atau membalik-balikkan tanah.
Pupuk kompos yang digunakan Sukardi ada dua macam. Pertama, dengan sampah dedaunan yang dikumpulkan kemudian dibakar supaya lebih mudah diurai. Yang kedua dengan menggunakan rumput yang dibusukkan. Penanaman dengan menggunakan pupuk kompos biasa, lazim dilakukan dengan membuat lubang di tanah, kemudian langsung ditanami setelah lubang ditutup.
Yang dilakukan Sukardi sedikit berbeda dan sedikit lebih rumit. Menurutnya, tanah yang akan ditanami terlebih dulu disebarkan rumput segar di permukaannya. Setelah itu, sebaran rumput tadi ditutup kembali dengan tanah. Kemudian ditunggu beberapa saat sampai rumputnya membusuk, baru kemudian ditanami. Cara ini lazim dikenal sebagai double digging
Pengolahan tanah dengan pupuk rumput yang dibusukkan tadi cocok untuk menanam umbi-umbian seperti singkong. Biasanya, Sukardi menanamnya secara bergiliran. ?Kalau tanahnya masih subur, setelah panen kurang lebih 3 bulan, langsung ditanami lagi,? ujar pria kelahiran Purwokerto, 6 September 1938, ini. Kadang-kadang Sukardi juga menggunakan pupuk cair berwarna putih yang sama dengan pupuk kandang, namun dicairkan.
Karena sekarang musim kemarau, suami istri ini jarang menanam sayuran seperti bayam dan kangkung. Kedua sayuran tadi membutuhkan banyak air untuk terus tumbuh. Sedangkan air yang mereka gunakan untuk bertani berasal dari pompa air, yang sumbernya dari kali yang sekarang semakin mengering.
Kendala
Secara umum, kendala bertani secara organik ini ada pada permasalahan teknis seperti sumber air yang mengering karena kemarau, dan masalah kemauan dari para petani untuk lebih mengembangkan lagi usaha pertaniannya. Biasanya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan atau sub-urban memang tidak begitu antusias untuk melakukan usaha pertanian.
Seperti Sukardi dan Komsyah yang lebih memilih memasak dan menjadikan bibit hasil panennya daripada menjualnya. Padahal jika lebih dikembangkan, bertani secara organik akan lebih menguntungkan karena lebih murah biayanya daripada bertani menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Untuk bertani organik, tidak perlu membeli pupuk kimia karena yang diperlukan hanya sisa kotoran ternak dan sampah dedunan.
Sebagian anggota kelompok tani lebih memilih mengembangkan usaha ikan hias. Seperti Sutar, salah satu anggota kelompok tani yang mengembangbiakkan Black Tail dan ikan koral. Menghadapi hal ini, perlu dipikirkan cara penyadaran terhadap masyarakat bahwa bertani organik bisa dikembangkan sebagai usaha yang menjanjikan keuntungan di masa depan. Tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi lingkungan.
Bertani secara organik lebih menguntungkan
Bertani secara organik ternyata lebih murah, ramah lingkungan, dan hasilnya pun tak kalah dengan bertani menggunakan pupuk kimia. Hal itu dibuktikan oleh sebagian masyarakat kelompok tani di daerah Depok, Pancoran Mas, Jawa Barat, yang kini mulai menerapkan bertani secara organik.
Program yang diprakarsai Konphalindo ini telah dilaksanakan sejak tahun 2002. Selain bibit, juga diberikan penyuluhan dan pelatihan tentang tata cara bertani secara organik kepada masyarakat kelompok tani tersebut.
Rakum Sukardi, anggota kelompok tani yang ditemui beritabumi.or.id tanggal 23 Juli bulan lalu, di sela-sela kesibukannya bertani mengungkapkan, ?Lebih bagus pake pupuk kandang. Lebih subur, hasilnya lebih banyak?. Dengan menggunakan perbandingan 3:1 (satu ember pupuk untuk campuran tiga ember tanah), cukup untuk pengolahan satu lahan tanahnya seluas 400 meter persegi.
Jenis yang ditanam bermacam-macam. Selain menanam sayuran seperti bayam dan kangkung, Sukardi juga menanam kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang tolo, dan kacang panjang, umbi-umbian, serta jagung. Hasilnya panennya cukup banyak. Untuk kacang tanah, sekali panen bisa menghasilkan bibit beberapa tampah dengan satu tampahnya kurang lebih seberat lima kilogram.
Sebenarnya, hasil yang sama juga bisa didapatkan dengan menggunkan pupuk kimia. Hanya saja, biaya yang dikeluarkan lebih murah bila menggunakan pupuk organik sehingga lebih efesien dan tidak membahayakan lingkungan.
Jarang sekali suami istri tersebut menjual hasil panennya. Mereka pernah menjual kacang tanahnya dengan harga 15 ribu satu ons-nya. Namun mereka lebih memilih untuk menjadikan hasil panennya sebagai bibit atau untuk dimasak. ?Yang bagus dijadikan bibit, yang kurang bagus kita masak,? kata Komsyah, istri Sukardi.
Dalam bertani organik, pupuk yang digunakan adalah pupuk kompos dan pupuk kandang. Pupuk kandang yang digunakan Sukardi biasanya dibuat dari kotoran sapi atau kambing. Pemakaiannya pun sederhana, pupuk disebar dan dicampur dengan tanah dengan cara dicangkul atau membalik-balikkan tanah.
Pupuk kompos yang digunakan Sukardi ada dua macam. Pertama, dengan sampah dedaunan yang dikumpulkan kemudian dibakar supaya lebih mudah diurai. Yang kedua dengan menggunakan rumput yang dibusukkan. Penanaman dengan menggunakan pupuk kompos biasa, lazim dilakukan dengan membuat lubang di tanah, kemudian langsung ditanami setelah lubang ditutup.
Yang dilakukan Sukardi sedikit berbeda dan sedikit lebih rumit. Menurutnya, tanah yang akan ditanami terlebih dulu disebarkan rumput segar di permukaannya. Setelah itu, sebaran rumput tadi ditutup kembali dengan tanah. Kemudian ditunggu beberapa saat sampai rumputnya membusuk, baru kemudian ditanami. Cara ini lazim dikenal sebagai double digging
Pengolahan tanah dengan pupuk rumput yang dibusukkan tadi cocok untuk menanam umbi-umbian seperti singkong. Biasanya, Sukardi menanamnya secara bergiliran. ?Kalau tanahnya masih subur, setelah panen kurang lebih 3 bulan, langsung ditanami lagi,? ujar pria kelahiran Purwokerto, 6 September 1938, ini. Kadang-kadang Sukardi juga menggunakan pupuk cair berwarna putih yang sama dengan pupuk kandang, namun dicairkan.
Karena sekarang musim kemarau, suami istri ini jarang menanam sayuran seperti bayam dan kangkung. Kedua sayuran tadi membutuhkan banyak air untuk terus tumbuh. Sedangkan air yang mereka gunakan untuk bertani berasal dari pompa air, yang sumbernya dari kali yang sekarang semakin mengering.
Kendala
Secara umum, kendala bertani secara organik ini ada pada permasalahan teknis seperti sumber air yang mengering karena kemarau, dan masalah kemauan dari para petani untuk lebih mengembangkan lagi usaha pertaniannya. Biasanya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan atau sub-urban memang tidak begitu antusias untuk melakukan usaha pertanian.
Seperti Sukardi dan Komsyah yang lebih memilih memasak dan menjadikan bibit hasil panennya daripada menjualnya. Padahal jika lebih dikembangkan, bertani secara organik akan lebih menguntungkan karena lebih murah biayanya daripada bertani menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Untuk bertani organik, tidak perlu membeli pupuk kimia karena yang diperlukan hanya sisa kotoran ternak dan sampah dedunan.
Sebagian anggota kelompok tani lebih memilih mengembangkan usaha ikan hias. Seperti Sutar, salah satu anggota kelompok tani yang mengembangbiakkan Black Tail dan ikan koral. Menghadapi hal ini, perlu dipikirkan cara penyadaran terhadap masyarakat bahwa bertani organik bisa dikembangkan sebagai usaha yang menjanjikan keuntungan di masa depan. Tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi lingkungan.