umangvirmaker
New member
ROKOK TIDAK SEMESTINYA HARAM
OLEH ZAINURRAHMAN
Isu mengenai hukum rokok sebagai haram ini sudah muncul ke permukaan perhatian para ulama dan pemerintah sejak beberapa tahun silam. Akan tetapi, eksekusi pemfatwaan mengenai hal tersebut menghadapi banyak kendala, terutama dari sudut pandang ekonomi masyarakat. Sejujurnya, rokok (yang terbuat dari tembakau dan cengkeh) merupakan salah satu komoditi ekonomi besar di negara ini, bagaimana tidak? Tak terhitung jumlah para penjual rokok jalanan yang notabene orang-orang putus sekolah, korban PHK, penyandang cacat, dan sebagainya. Dengan berjualan rokok dari pagi hingga pagi lagi, mereka dapat menunda rasa lapar dan bahkan sebagian menyekolahkan anak dengan penghasilan yang plus-minus itu.
Selain itu, pabrik rokok merupakan donatur terbesar even-even olah raga dan kepemudaan di negeri ini; pabrik rokok termasuk dermawan dalam hal ini. Dari sudut pandang personal, rokok juga berkontribusi pada kemampuan berfikir seseorang, mengimbangi tekanan psikologis, bahkan sebagian orang menganggap rokok sebagai teman setia saat kesepian. Secara sosial, rokok memiliki dampak positif sebagai pengerat hubungan pergaulan, tak jarang seorang anti rokok akan “dikucilkan” oleh teman-teman sepergaulan yang perokok. Rokok juga merupakan benda yang bermanfaat untuk menghargai jasa orang lain, misalnya dalam hal kerja bakti, rokok menjadi pengganti uang. Harga rokok yang sepuluh ribuan itu lebih berharga di hati penerima ketimbang memberikan uang sepuluh ribu rupiah, meskipun secara logika tidak ada bedanya.
WHO dan Rokok
Isu mengenai bahaya rokok pertama kali dicetuskan oleh badan kesehatan dunia (WHO) dengan mempublikasikan poster-poster di rumah sakit-rumah sakit dan puskesmas. Ada dua jenis poster, yakni poster dengan tajuk “Tubuh seorang perokok” dan “Unsur-unsur rokok.” Poster yang pertama menggambarkan bahwa perokok bisa mengidap lebih dari seratus penyakit, mulai dari alergi hingga kanker; sementara poster kedua menunjukkan bahwa rokok terdiri lebih dari seratus jenis racun, mulai dari pembersih lantai hingga racun kecoa. Kenapa masyarakat masih tetap mencintai rokok? Karena pengalaman mereka menunjukkan bahwa rokok bukanlah penyebab kematian, dan bahkan banyak perokok berat di dunia ini sehat bugar dan jauh dari kanker. Seharusnya, WHO mengadakan sosialisasi dengan membuktikan secara empirik bahwa apa yang mereka suarakan itu merupakan hasil penelitian dan bukan hanya “teror” saja.
Pemerintah dan Rokok
Pemerintah mulai menaruh perhatian pada rokok sejak mendapatkan keluhan-keluhan dari masyarakat anti-rokok, bahwa mereka sangat terganggu dengan para perokok; terutama di tempat umum. Selain itu, walaupun saya tidak yakin, karena pihak pemerintah sudah melakukan penelitian intensif mengenai efek rokok pada kesehatan. Demonstrasi pemerintah anti-rokok juga telah dilakukan beberapa tahun lalu, namun tidak menuai hasil memuaskan. Tetapi, masyarakat perokok (bahkan perokok berat) bukanlah masyarakat yang tidak tahu diri, mereka tidak merokok di tempat-tempat yang dilarang merokok seperti” rumah sakit, mall, angkot, sekolah, dan sebagainya. Ini merupakan bukti bahwa mereka sadar akan terganggunya masyarakat anti-rokok dengan asap rokok. Akan tetapi, mereka masih merokok di jalan raya, karena bagi mereka alam bebas memiliki kandungan udara dan arus angin yang cukup untuk menawarkan asap rokok yang mereka hembuskan, sehingga tidak masalah bagi masyarakat anti-rokok.
Ulama dan Rokok
Komponen masyarakat terakhir yang kemudian merangkul isu rokok ini adalah MUI, para ulama di negeri kita. Fatwa haram dieksekusi untuk rokok dengan landasan bahwa rokok merusak kesehatan, merusak diri, dan mereka yakin bahwa rokok itu hukumnya haram jika ditinjau dari aspek akibat nya.
Tidak masalah jika Majelis Ulama Indonesia mengklaim rokok itu haram, tetapi apakah itu sudah melalui pengkajian kritis? Ataukah MUI mengeksekusi hukum rokok itu hanya karena mendukung program pemerintah semata? Sekali lagi, bagi para perokok, tidak masalah jika tidak merokok terkecuali pada tempatnya, tetapi dengan mengharamkan rokok, maka akan ada dampak sistemik yang lebih berbahaya dari pada dampak sistemik kasus bank Century.
Dampak yang sudah pasti diakibatkan dari pemfatwaan haram rokok ini pertama kali adalah ditutupnya pabrik-pabrik rokok. Dengan ditutupnya pabrik-pabrik rokok, maka jutaan karyawan akan di PHK. Dengan di PHKnya para karyawan pabrik rokok, maka bertambahlah jumlah pengangguran di negeri ini, belum lagi para penjual rokok jalanan, jika mereka berhenti berjualan maka anak-anak mereka sudah pasti putus sekolah. Padahal, selama ini, pabrik rokok juga banyak menyediakan beasiswa bagi orang-orang yang kurang mampu. Dengan bertambahnya pengangguran dan banyaknya anak-anak putus sekolah, maka tingkat konsumsi meningkat dan tingkat produksi menurun. Banyaknya anak-anak yang tidak sekolah menurunkan prestasi negara untuk memberantas kebodohan. Ketika kebodohan bertemu dengan kebutuhan, maka yang terlahir adalah kejahatan; alhasil tingkat kriminalitas akan meningkat. Apakah pemerintah dan ulama di negeri ini hanya memikirkan bagaimana menghapuskan sesuatu dan tidak memikirkan penggantinya?
Jika rokok itu haram karena merusak kesehatan, merusak diri, mengapa menghapus rokok juga merusak tatanan kehidupan masyarakat? Apakah kita akan menggantikan resiko personal dengan resiko kolektif? Jangan-jangan para masyarakat anti-rokoklah yang akan menjadi sasaran empuk kriminalitas yang akan terjadi di saat tatanan kehidupan masyarakat secara ekonomi mulai ambruk.
Rokok tidak selamanya haram
Sebuah solusi akan disodorkan disini.
Jika rokok ditinjau negatif dari sudut pandang:
WHO ?* Rokok mengandung racun: nikotin dan tar; maka WHO bisa memformulasikan rokok yang tidak beracun, misalnya dengan menggunakan tumbuhan berkhasiat sebagai pengganti tembakau, kenapa tidak membuat rokok herbal yang benar-benar bebas nikotin?
Pemerintah ?* Rokok itu mengganggu ketentraman masyarakat; rokok dari bahan herbal bebas tembakau sudah pasti lebih wangi (seperti Sisha Arab) dengan aroma opsional, dengan demikian para perokok pasif justru mendapat keuntungan kesehatan dan bahkan asap rokok bisa mengandung aroma terapi.
MUI ?* Jika rokok yang disebut diatas bukan lagi merusak kesehatan tetapi justru meningkatkan kesehatan, maka apakah yang demikian rokok masih berhukum haram?
Para pengusaha rokok kini bisa kembali memproduksi rokok bebas nikotin bebas tar. Para karyawan tetap bisa bekerja, dan para penjual rokok jalanan masih tetap bisa menyekolahkan anak dan memberi nafkah lahir kepada keluarga mereka. Pergaulan masyarakat juga tidak lagi rentan pada pergesekan perbedaan individual dan akhirnya stabilitas negara ini akan tetap terjaga.
Baik WHO, Pemerintah, dan MUI sudah seharusnya memikirkan solusi seperti ini. Rokok tidak harus mengandung nikotin. Memang masyarakat perokok membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan rokok baru, namun sudah pasti semua berjalan lancar, karena keinginan merokok sudah menjadi mobil dan bensinnya. Apa yang kami sampaikan disini hanyalah sebuah opini dan sekaligus saran buat pemerintah dan MUI yang mungkin lalai memikirkan dampak sistemik yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil. Semoga saja apa yang kami sampaikan disini berkontribusi positif bagi kita semua. Opini ini mewakili suara hati masyarakat perokok yang ada di negara ini.
http://majelisaljabbar.wordpress.com
OLEH ZAINURRAHMAN
Isu mengenai hukum rokok sebagai haram ini sudah muncul ke permukaan perhatian para ulama dan pemerintah sejak beberapa tahun silam. Akan tetapi, eksekusi pemfatwaan mengenai hal tersebut menghadapi banyak kendala, terutama dari sudut pandang ekonomi masyarakat. Sejujurnya, rokok (yang terbuat dari tembakau dan cengkeh) merupakan salah satu komoditi ekonomi besar di negara ini, bagaimana tidak? Tak terhitung jumlah para penjual rokok jalanan yang notabene orang-orang putus sekolah, korban PHK, penyandang cacat, dan sebagainya. Dengan berjualan rokok dari pagi hingga pagi lagi, mereka dapat menunda rasa lapar dan bahkan sebagian menyekolahkan anak dengan penghasilan yang plus-minus itu.
Selain itu, pabrik rokok merupakan donatur terbesar even-even olah raga dan kepemudaan di negeri ini; pabrik rokok termasuk dermawan dalam hal ini. Dari sudut pandang personal, rokok juga berkontribusi pada kemampuan berfikir seseorang, mengimbangi tekanan psikologis, bahkan sebagian orang menganggap rokok sebagai teman setia saat kesepian. Secara sosial, rokok memiliki dampak positif sebagai pengerat hubungan pergaulan, tak jarang seorang anti rokok akan “dikucilkan” oleh teman-teman sepergaulan yang perokok. Rokok juga merupakan benda yang bermanfaat untuk menghargai jasa orang lain, misalnya dalam hal kerja bakti, rokok menjadi pengganti uang. Harga rokok yang sepuluh ribuan itu lebih berharga di hati penerima ketimbang memberikan uang sepuluh ribu rupiah, meskipun secara logika tidak ada bedanya.
WHO dan Rokok
Isu mengenai bahaya rokok pertama kali dicetuskan oleh badan kesehatan dunia (WHO) dengan mempublikasikan poster-poster di rumah sakit-rumah sakit dan puskesmas. Ada dua jenis poster, yakni poster dengan tajuk “Tubuh seorang perokok” dan “Unsur-unsur rokok.” Poster yang pertama menggambarkan bahwa perokok bisa mengidap lebih dari seratus penyakit, mulai dari alergi hingga kanker; sementara poster kedua menunjukkan bahwa rokok terdiri lebih dari seratus jenis racun, mulai dari pembersih lantai hingga racun kecoa. Kenapa masyarakat masih tetap mencintai rokok? Karena pengalaman mereka menunjukkan bahwa rokok bukanlah penyebab kematian, dan bahkan banyak perokok berat di dunia ini sehat bugar dan jauh dari kanker. Seharusnya, WHO mengadakan sosialisasi dengan membuktikan secara empirik bahwa apa yang mereka suarakan itu merupakan hasil penelitian dan bukan hanya “teror” saja.
Pemerintah dan Rokok
Pemerintah mulai menaruh perhatian pada rokok sejak mendapatkan keluhan-keluhan dari masyarakat anti-rokok, bahwa mereka sangat terganggu dengan para perokok; terutama di tempat umum. Selain itu, walaupun saya tidak yakin, karena pihak pemerintah sudah melakukan penelitian intensif mengenai efek rokok pada kesehatan. Demonstrasi pemerintah anti-rokok juga telah dilakukan beberapa tahun lalu, namun tidak menuai hasil memuaskan. Tetapi, masyarakat perokok (bahkan perokok berat) bukanlah masyarakat yang tidak tahu diri, mereka tidak merokok di tempat-tempat yang dilarang merokok seperti” rumah sakit, mall, angkot, sekolah, dan sebagainya. Ini merupakan bukti bahwa mereka sadar akan terganggunya masyarakat anti-rokok dengan asap rokok. Akan tetapi, mereka masih merokok di jalan raya, karena bagi mereka alam bebas memiliki kandungan udara dan arus angin yang cukup untuk menawarkan asap rokok yang mereka hembuskan, sehingga tidak masalah bagi masyarakat anti-rokok.
Ulama dan Rokok
Komponen masyarakat terakhir yang kemudian merangkul isu rokok ini adalah MUI, para ulama di negeri kita. Fatwa haram dieksekusi untuk rokok dengan landasan bahwa rokok merusak kesehatan, merusak diri, dan mereka yakin bahwa rokok itu hukumnya haram jika ditinjau dari aspek akibat nya.
Tidak masalah jika Majelis Ulama Indonesia mengklaim rokok itu haram, tetapi apakah itu sudah melalui pengkajian kritis? Ataukah MUI mengeksekusi hukum rokok itu hanya karena mendukung program pemerintah semata? Sekali lagi, bagi para perokok, tidak masalah jika tidak merokok terkecuali pada tempatnya, tetapi dengan mengharamkan rokok, maka akan ada dampak sistemik yang lebih berbahaya dari pada dampak sistemik kasus bank Century.
Dampak yang sudah pasti diakibatkan dari pemfatwaan haram rokok ini pertama kali adalah ditutupnya pabrik-pabrik rokok. Dengan ditutupnya pabrik-pabrik rokok, maka jutaan karyawan akan di PHK. Dengan di PHKnya para karyawan pabrik rokok, maka bertambahlah jumlah pengangguran di negeri ini, belum lagi para penjual rokok jalanan, jika mereka berhenti berjualan maka anak-anak mereka sudah pasti putus sekolah. Padahal, selama ini, pabrik rokok juga banyak menyediakan beasiswa bagi orang-orang yang kurang mampu. Dengan bertambahnya pengangguran dan banyaknya anak-anak putus sekolah, maka tingkat konsumsi meningkat dan tingkat produksi menurun. Banyaknya anak-anak yang tidak sekolah menurunkan prestasi negara untuk memberantas kebodohan. Ketika kebodohan bertemu dengan kebutuhan, maka yang terlahir adalah kejahatan; alhasil tingkat kriminalitas akan meningkat. Apakah pemerintah dan ulama di negeri ini hanya memikirkan bagaimana menghapuskan sesuatu dan tidak memikirkan penggantinya?
Jika rokok itu haram karena merusak kesehatan, merusak diri, mengapa menghapus rokok juga merusak tatanan kehidupan masyarakat? Apakah kita akan menggantikan resiko personal dengan resiko kolektif? Jangan-jangan para masyarakat anti-rokoklah yang akan menjadi sasaran empuk kriminalitas yang akan terjadi di saat tatanan kehidupan masyarakat secara ekonomi mulai ambruk.
Rokok tidak selamanya haram
Sebuah solusi akan disodorkan disini.
Jika rokok ditinjau negatif dari sudut pandang:
WHO ?* Rokok mengandung racun: nikotin dan tar; maka WHO bisa memformulasikan rokok yang tidak beracun, misalnya dengan menggunakan tumbuhan berkhasiat sebagai pengganti tembakau, kenapa tidak membuat rokok herbal yang benar-benar bebas nikotin?
Pemerintah ?* Rokok itu mengganggu ketentraman masyarakat; rokok dari bahan herbal bebas tembakau sudah pasti lebih wangi (seperti Sisha Arab) dengan aroma opsional, dengan demikian para perokok pasif justru mendapat keuntungan kesehatan dan bahkan asap rokok bisa mengandung aroma terapi.
MUI ?* Jika rokok yang disebut diatas bukan lagi merusak kesehatan tetapi justru meningkatkan kesehatan, maka apakah yang demikian rokok masih berhukum haram?
Para pengusaha rokok kini bisa kembali memproduksi rokok bebas nikotin bebas tar. Para karyawan tetap bisa bekerja, dan para penjual rokok jalanan masih tetap bisa menyekolahkan anak dan memberi nafkah lahir kepada keluarga mereka. Pergaulan masyarakat juga tidak lagi rentan pada pergesekan perbedaan individual dan akhirnya stabilitas negara ini akan tetap terjaga.
Baik WHO, Pemerintah, dan MUI sudah seharusnya memikirkan solusi seperti ini. Rokok tidak harus mengandung nikotin. Memang masyarakat perokok membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan rokok baru, namun sudah pasti semua berjalan lancar, karena keinginan merokok sudah menjadi mobil dan bensinnya. Apa yang kami sampaikan disini hanyalah sebuah opini dan sekaligus saran buat pemerintah dan MUI yang mungkin lalai memikirkan dampak sistemik yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil. Semoga saja apa yang kami sampaikan disini berkontribusi positif bagi kita semua. Opini ini mewakili suara hati masyarakat perokok yang ada di negara ini.
http://majelisaljabbar.wordpress.com