The Rose

Di kediaman Putri Jean..
Jean: "Rose, tadi kakakku mencarimu. Saat ku tanya ada apa, dia tidak menjawab. Wajahnya terlihat pucat. Mungkin.. ada yang penting."
Informasi Jean membuat Rose mulai panik. Ia sadar, dirinya masih peduli pada Damian. Ia segera pergi ke kediaman sang pangeran. Tapi ia bertemu Leigh.
Rose: "Leigh, apa.. kau tau di mana Damian?"
Leigh: "Tidak. Tapi, tadi aku lihat dia keliling istana. Seperti mencari sesuatu."
Rose pun mencari Damian lagi.

Damian tiba di taman. Ia lelah. Ia duduk di bawah pohon.

Akhirnya Rose melihat Damian duduk di taman.
Rose: "Damian.. kekasihku.."
Damian menoleh. Ia langsung berdiri dan memeluk Rose.
Damian: "Roseku.. Bunga Mawarku.."
Rose melepas pelukan itu.
Rose: "Kenapa kau mencariku? Kau kan tau.. itu berbahaya."
Damian: "Iya, aku tau.. Tapi.. aku tidak peduli. Rose.. apa benar, kau akan pergi besok?"
Rose menganggukkan kepala.
Rose: "Iya. Aku harus pergi. Aku ingin mewujudkan cita-citaku menjadi perawat terbaik. Kau jangan sedih. Aku pasti pulang.."
 
Damian: "Rose.. jangan pergi. Aku tidak mau kau pergi."
Rose: "Aku tetap akan pergi.."
Damian ingin menahan Rose agar tidak pergi. Tapi, keinginan kekasihnya begitu kuat.
Damian memeluk Rose lagi. Pelukan itu semakin erat.
Damian: "Aku mencintaimu, Rose.."
Setelah keadaan hati mereka tenang, keduanya bicara serius di kediaman Putri Jean.

Damian menyandarkan kepalanya di pangkuan Rose.
Damian: "Dr. Isaac memberi tau ku, bahwa kau akan pergi. Dalam pikiranku langsung timbul firasat tak baik. Aku.. merasa.. kau tidak akan kembali.."
Rose memainkan kancing baju Damian.
Rose: "Itu kan hanya firasat. Dan.. tidak selalu benar."
Keadaan sunyi sesaat. Lalu..
Rose: "Kau tau, kenapa aku masuk istana, tanpa bilang pada siapa pun?"
Damian: "Kenapa?"
Rose: "Ayah dan ibuku melarang. Tanpa alasan yang jelas, sementara cita-citaku menjadi perawat terbaik semakin menggebu. Aku sebenarnya kesal. Tapi, aku cerita pada Kepala Perawat, dan beliau membantuku karena prestasiku bagus. Aku pun ingin cerita padamu. Tapi aku takut."
 
Damian: "Takut kenapa?"
Rose: "Aku takut.. kau akan bilang pada ayah dan ibuku."
Damian tertawa.
Damian: "Kau pikir.. aku masih berani menghadapi ayahmu, setelah kejadian penembakan yang tidak sengaja itu? Ayahmu itu.. kelihatan seram.."
Rose mencubit dada Damian.
Rose: "Kau bilang apa? Ayahku kenapa?"
Damian: "Ampun.. ampun.. Aku tidak akan bilang begitu lagi tentang ayah mertuaku."
Keduanya tertawa. Kemudian Damian duduk. Ia merogoh sakunya.
Damian: "Ada sesuatu untukmu.. sudah lama aku ingin memberikannya padamu."
Ia mengeluarkan sebuah jepit rambut yang sangat indah."
Rose: "Damian.. itu kan.. jepit rambut yang pernah kita lihat di kota waktu itu.."
Damian: "Iya. Kau masih ingat? Sejak saat itu.. aku selalu kepikiran tentang barang ini.."
Rose memeluk Damian.
Rose: "Kau tidak perlu melakukan ini.."
Damian: "Tapi kau harus menerimanya."
Ia memakaikan jepit rambut itu di rambut Rose.
Damian: "Bawalah ia bersamamu. Kau bisa melihat rambutmu yang indah dengan hiasan rambut yang indah juga.. Bila kau rindu aku
 
Malamnya, Damian tidak bisa tidur. Memikirkan Rose yang besok akan pergi.
Damian ke tempat ibunya, Dominique.
Damian: "Bu.. boleh aku menginap di sini? Aku tidak bisa tidur."
Dominique: "Tentu saja, anakku.. Tidurlah.."

Tengah malam, Damian terbangun karena haus. Air minumnya habis. Ia keluar dari kamar hendak mengambilnya.
Saat melewati kamar Dominique, samar-samar, Damian mendengar pembicaraan antara ibunya dengan Rah Digga.
Rah Digga: "Perawat bernama Rose itu.. tidak akan pernah kembali ke istana ini lagi.."
Dominique: "Bagus, Rah Digga..! Rencana ini sungguh luar biasa! Dan semoga Rachel dan Lucia tidak membuat kesalahan.."
Damian terkejut mendengarnya. Ia harus memberi tau Rose. Tapi tidak bisa malam ini.
 
Last edited:
16

Keesokan harinya, Damian bangun tidur kesiangan. Sedangkan para perawat sudah siap berangkat.

Rose naik ke kereta bersama Rachel, Lucia, Marta, dan Hannah.
Nicole dan Maria melambaikan tangan pada Rose.
Nicole: "Rose.. jaga dirimu di sana, ya..!"
Rose juga melambaikan tangannya.
Maria: "Kirimi kami surat!"

Damian tak peduli dengan penampilannya. Ia masih memakai baju tidur, saat berlari melintasi halaman istana, hingga ke pintu gerbang. Berharap Rose belum berangkat. Tapi sayang, kereta kuda sudah berjalan jauh.
Damian mencari kuda ke istal. Tapi, kuda-kuda sedang dipakai. Kuda miliknya ada yang meminjam tanpa izin. Ini pasti Leigh!
Kemudian, ia keluar lagi ke gerbang istana. Berharap keretanya belum jauh. Tapi.. kereta itu sudah lama menghilang di ujung jalan.
Damian jadi kesal. Ia harus bagaimana sekarang? Ia pun menemui Dr. Isaac.
Damian: "Dokter, pulangkan Rose sekarang juga!"
Dr. Isaac terkejut bukan main mendengar kata-kata Damian.
Dr. Isaac: "Kau sudah gila?!"
 
Damian: "Pokoknya, dia harus pulang sekarang!"
Dr. Isaac: "Kau ini kenapa?! Tidak bisa!"
Damian: "Kalau begitu, ke mana dia dikirim?"
Dr. Isaac: "Sebenarnya ada apa, Damian?"
Damian: "Sudah, katakan saja!"
Dr. Isaac membetulkan kacamatanya yang selalu melorot jika dia sedang tegang.
Dr. Isaac: "Aku tidak tau apa yang sedang kau pikirkan, dan aku tidak peduli. Aku tidak akan mengatakannya."
Damian: "Kau menyebalkan!"
Lalu Damian pergi dengan perasaan kesal.

Perjalanan menuju daerah perkemahan para tentara sangat jauh.
Rachel terus saja menatap Rose. Begitu juga Lucia. Sedangkan Marta dan Hannah asyik ngobrol sendiri. Mau tidak mau, obrolan itu terdengan oleh semua yang ada di dalam kereta.
Hannah: "Katanya, para tentara di sana banyak yang tampan dan menarik."
Marta: "Benarkah? Wah.. kita bisa tinggal pilih."
Keduanya tertawa.
Rose menyandarkan kepalanya, dan menatap keluar jendela. Melihat indahnya hamparan padang rumput, dan gagahnya gunung-gunung yang menjulang tinggi. Indah sekali.
 
Ia jadi teringat pada Damian dan Pegunungan Kerry. Hal itu membuat senyumnya tersungging.

John baru pulang. Tanya membantunya melepas mantel dan sepatu.
John: "Tanya.. ada satu hal yang baru ku tau."
Tanya: "Apa itu, Sayang?"
John: "Rose.. dia telah membohongi kita. Dia selama ini ada di dalam istana!"
Tanya: "Apa?!"
John: "Ya.. Aku melihatnya keluar dari istana, dan informasi yang ku peroleh.. dia dan para perawat terbaik akan dikirim ke medan perang, untuk melakukan test. Yang terbaik bisa menjadi perawat Ratu Dominique."
Tanya: "Ti, tidak.. Rose.."
John: "Aku harus menemui ratu itu."
Tanya: "Jangan..! Itu akan membuat Ratu Dominique tau, kalau Rose adalah putrinya."
John: "Aku yakin.. dia pasti sudah tau. Rah Digga pasti sudah mengetahuinya, dan memberi tau Ratu Dominique."
Tanya: "Ya Tuhanku.."
Keduanya tengah menghadapi kedilemaan yang teramat dalam.
 
Tibalah kelima perawat itu di perkemahan para tentara. Seorang pria setengah baya yang memakai seragam tentara, menyambut kedatangan mereka. Pria itu adalah seorang komandan. Namanya Smith.
Smith: "Senang, bertemu kalian semua. Maaf, kalau tempatnya tidak semewah di istana."
Rose dan para perawat hanya tersenyum memaklumi.
Smith: "Mari, ku tunjukkan tempat kalian."
Para perawat mengikuti Smith menuju sebuah tenda yang cukup bagus. Bahkan lebih bagus dari pada tenda para tentara.
Smith: "Ini tempat tinggal kalian. Sekali lagi maaf, karena tempatnya hanya seperti ini."
Rose: "Ini sudah lebih dari cukup, Tuan."
Hannah: "Benar. Kami sudah nyaman."
Smith tertawa.

Damian minta bantuan Lucifer, untuk mencari Rose.
Lucifer: "Kenapa.. kau tak menanyakan hal ini pada Isaac?"
Damian: "Sudah. Tapi dia tidak memberi tau ku satu pun."
Lucifer menghela nafas.
Lucifer: "Sebenarnya, kenapa kau ingin mencari Rose?"
Damian: "Aku akan cerita. Tapi jangan katakan apapun pada siapapun. Hanya kau, aku, dan Tuhan yang tau."
 
Lucifer: "Iya.. iya.. katakan.."
Damian menceritakan apa yang ia dengar dari pembicaraan Ratu Dominique dan Rah Digga semalam.
Lucifer: "Ah, tidak mungkin! Kau pasti salah dengar."
Damian: "Aku tidak tuli, Lucifer.. Mereka bicara keras sekali."
Lucifer: "Lagi pula.. untuk apa ibumu mau menyingkirkan Rose? Kenal saja tidak, kan?"
Kata-kata Lucifer ada benarnya. Tapi.. Damian tetap khawatir.
Lucifer mencoba untuk memenangkan hati dan pikiran Damian, dengan segelas martini dingin.

Pekerjaan dimulai..
Hari pertama, belum ada yang terluka. Hanya saja, Rose dan perawat lainnya hanya memeriksa kesehatan para tentara.
Rose pun menunjukkan kehebatan medisnya. Membuat para tentara nyaman kalau memeriksakan kesehatan neraka padanya.
Rose senang, akhirnya ia benar-benar bekerja di medan perang.

Sudah seminggu Rose dan para perawat terpilih itu bekerja di medan perang, untuk menjalani test.
Rachel dan Lucia sedang mematangkan sebuah rencana, yang telah diperintahkan oleh Ratu Dominique dan Rah Digga.
 
Sudah seminggu pula, Damian merasa.. dirinya adalah manusia paling bodoh. Ia harus menelan kenyataan pahit, bahwa Rose tidak akan kembali lagi.
Seandainya ada yang tau, ke mana Rose dikirim..
Setiap hari Damian menemui Dr. Isaac. Tapi, dokter itu tak mau memberi tau.
Damian: "Dokter, aku mohon.. beri tau aku, di mana Rose..?"
Dr. Isaac: "Damian, katakan dulu alasannya.."
Damian agak bingung. Haruskah ia cerita? Dokter Isaac adalah sahabatnya sejak kecil. Mana mungkin Damian tak mempercayainya? Ia pun menceritakan semua pada Dr. Isaac. Pendapatnya sama seperti Lucifer.
Dr. Isaac: "Mungkin.. kau salah dengar.."
Damian: "Apakah.. perawat bernama Rachel dan Lucia ikut pesta?"
Dr. Isaac: "Tentu saja.. mereka perawat yang baik. Ratu Dominique sendiri yang memilih mereka."
Damian tambah lemas.
Dr. Isaac: "Sebenarnya, semua ini Ratu Dominique yang mengatur. Hanya dia yang tau, ke mana para perawat itu dikirim."
Damian: "Apa.. sais yang mengantar tak kembali? Kau tau siapa saisnya?"
Dr. Isaac menggeleng.. "Tidak.."
 
Perang pecah di medan perang tempat Rose dan perawat lain bertugas. Sejumlah granat dan bom meledak. Menyebabkan puluhan tentara Irlandia, juga tentara musuh banyak yang terluka, juga tidak sedikit yang tewas.
Seketika itu juga, perkemahan tentara jadi ramai. Hanya dengan tenaga lima orang perawat.. tidak cukup menangani ini semua. Untungnya, para tentara yang tidak terluka, ikut membantu meringankan beban mereka.
Rachel dibantu Lucia membersihkan luka di kepala seorang tentara. Pelipisnya robek. Ia harus dijahit.
Hannah membalut kaki seorang tentara yang terluka akibat tertembak senjata musuh.
Marta mencoba mengeluarkan peluru yang bersarang di dada seorang tentara. Ia sekarat. Tapi, Marta berusaha menyelamatkannya. Sia-sia.. lukanya sangat parah. Tentara itu.. tewas.
Rose sibuk menghentikan pendarahan di kepala seorang tentara. Lukanya cukup dalam, akibat benturan benda keras. Dan luka itu menyebabkannya.. tewas.
Lalu, datang beberapa tentara memapah Smith. Pria itu terluka di leher.
 
Perang pecah di medan perang tempat Rose dan perawat lain bertugas. Sejumlah granat dan bom meledak. Menyebabkan puluhan tentara Irlandia, juga tentara musuh banyak yang terluka, juga tidak sedikit yang tewas.
Seketika itu juga, perkemahan tentara jadi ramai. Hanya dengan tenaga lima orang perawat.. tidak cukup menangani ini semua. Untungnya, para tentara yang tidak terluka, ikut membantu meringankan beban mereka.
Rachel dibantu Lucia membersihkan luka di kepala seorang tentara. Pelipisnya robek. Ia harus dijahit.
Hannah membalut kaki seorang tentara yang terluka akibat tertembak senjata musuh.
Marta mencoba mengeluarkan peluru yang bersarang di dada seorang tentara. Ia sekarat. Tapi, Marta berusaha menyelamatkannya. Sia-sia.. lukanya sangat parah. Tentara itu.. tewas.
Rose sibuk menghentikan pendarahan di kepala seorang tentara. Lukanya cukup dalam, akibat benturan benda keras. Dan luka itu menyebabkannya.. tewas.
Lalu, datang beberapa tentara memapah Smith. Pria itu terluka di leher.

lanjut.......
jadi tambah penasaran..........
 
Rachel: "Dia tidak akan selamat. Lukanya cukup parah."
Rose: "Tidak. Lukanya tidak parah. Hanya perlu dibersihkan dengan antibiotik dan dijahit sedikit, lalu diperban."
Lucia: "Heh! Kau tau apa?! Biarkan Rachel saja yang mengurusnya."
Rose: "Kalian tidak boleh seperti ini. Kesampingkan dulu rasa benci kalian padaku! Demi menolong Tuan Smith."
Rachel semakin kesal. Ia meninggalkan Rose dan Smith. Diikuti Lucia.
Lucia: "Aku ingatkan sekali lagi padamu, jangan terlalu rajin. Karena Yang Mulia Ratu Dominique tidak akan pernah memilihmu."
Rose: "Terserah apa katamu! Aku sama sekali tidak terpengaruh."
Lucia dengan tenang mengikuti Rachel.
Rose tidak peduli. Ia langsung mengobati Tuan Smith.

Lucia melihat Rachel kembali ke tenda perawat.
Lucia: "Ayo, kita cepat menyingkirkan dia! Aku sudah kesal!"
Rachel: "Jangan gegabah. Kita tunggu sehari sebelum kembali ke istana. Supaya tidak ada yang curiga."
 
Mendadak, tenda perawat jadi ramai. Ada beberapa tentara muda datang ke sana. Mereka menemui Rose. Berterimakasih, karena telah diobati dan diselamatkan nyawanya. Di antara mereka ada yang membawa makanan, hadiah, dan segala macamnya.. sebagai ungkapan terimakasih. Tapi, tak sedikit di antara mereka yang juga berterimakasih pada perawat lainnya.

Damian sibuk mencari tau keberadaan Rose. Jean, Nicole, dan Maria tidak bisa membantu.
Maria: "Kelihatannya, Pangeran Damian begitu mengkhawatirkan Rose.."
Nicole: "Mungkin dia merasakan firasat tak baik tentang Rose. Biasanya, dua orang yang saling mencintai, punya ikatan batin yang sangat kuat."
Maria: "Saling mencintai? Maksudmu.. Rose dan Pangeran Damian.."
Nicole tersenyum.
Nicole: "Wah.. aku terlalu banyak bicara.. Tapi baiklah.. aku akan menceritakannya padamu. Jangan bilang pada siapa pun, ya.."
Nicole menceritakan hubungan Pangeran Damian dan Rose sebatas yang ia tau.
 
Nicole: "Mereka menjalin hubungan ini, sejak sebelum Rose masuk istana. Rose tidak tau, kalau Damian kekasihnya adalah pangeran. Putra mahkota!"
Maria tertawa.
Maria: "Indah sekali hubungan mereka.."
Nicole: "Benar.. indah.. dan mengesankan tentunya."

Demi mencari tau keberadaan Rose, Damian jadi sering menginap di kediaman ibunya. Siapa tau.. Ratu Dominique dan Rah Digga membicarakannya lagi.. dan menyebutkan keberadaan Rose. Ia sangat berharap.

Tiga hari lagi, masa test selesai. Rachel dan Lucia sedang menentukan waktu, kapan akan dilaksanakan rencana busuk mereka.

Malam hari, Rachel tidak bisa tidur. Ia keluar dari tenda, untuk cari udara segar. Saat melewati sungai dekat tempat buang hajat laki-laki. Samar-samar, Rachel mendengar percakapan beberapa pria.
"Sialan! Aku kalah lagi!"
"Ayo, bayar!"
"Aku tidak punya uang lagi.."
"Kau sudah hutang 600 pounds padaku!"
"Padaku, hutangmu sudah 300 pounds."
Yang punya hutang, suaranya tak terdengar lagi.
Dari tempat persembunyiannya, Rachel dengar semuanya.
 
Keesokan harinya, Rachel mengajak Lucia ke tempat laki-laki yang kalah **** semalam.
Lucia: "Kau yakin, ini akan berhasil?"
Rachel: "Tentu saja. Aku yakin sepenuhnya."

Pria yang kalah **** itu bernama Jim.
Rachel: "Aku tau, kau sedang terlilit hutang **** ratusan pounds. Kau bisa melunasinya, bila.. kau melakukan apa yang kami minta.."
Jim: "Kalian tidak bohong, kan?"
Lucia: "Tentu saja, tidak.."
Jim: "Baiklah.. aku mau.."
Rachel memberikan perintahnya, dan akan dilaksanakan besok.
Rachel: "Setelah selesai, temui aku segera.. Mengerti?"
Jim: "Iya, aku mengerti."

Rose sangat merindukan Damian. Hari yang cerah, menjelang kembalinya ia ke istana. Ia menikmati pemandangan indah di luar perkemahan. Ia memandangi pegunungan tinggi dan hamparan radang hijau yang menyegarkan mata.
Rose membelai ujung rambutnya, dan mengingat masa-masa bersama Damian. Ia sungguh rindu pada sang kekasih.
Rose: "Damian.. aku mencintaimu."
Tiba-tiba.....
 
Ada yang memukul kepala Rose. Gadis itu pingsan. Lalu diseret seseorang, dan dibawa entah ke mana..

Damian sedang makan siang bersama ibunya. Tiba-tiba, saat minum, gelasnya terjatuh dan pecah. Firasat buruk tentang Rose kembali ia rasakan, dan kali ini begitu menusuk benaknya.
Dominique: "Ada apa, Nak?"
Damian: "Tidak apa-apa, Bu.. Sepertinya, aku kurang sehat. Aku mau istirahat."
Lalu Damian keluar dari suami makan. Ia berpapasan dengan Rah Digga.
Damian merasa, akan ada hal penting yang hendak dibicarakan oleh mereka. Damian bersembunyi di balik pintu, untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
Rah Digga: "Yang Mulia.. semuanya sudah beres. Rachel dan Lucia melakukan tugas mereka dengan baik. Juga dibantu oleh tentara yang bertugas di North Wind."
Dominique: "Memang sudah seharusnya itu terjadi. Anak itu tak perlu menjadi pengacau di jalanku. Sekarang, giliran John dan Tanya. Aku ingin mereka mati!"
Damian mendengar itu semua. Segera ia pergi mengajak Dr. Isaac ke tempat Lucifer.
 
Dr. Isaac dan Lucifer tidak tau harus bagaimana membantu Damian.
Damian: "Aku akan menyusul Rose ke North Wind. Kalian.. tolong lindungi orang tua Rose."
Lucifer: "Baiklah.."
Dr. Isaac: "Bawa Rosemu pulang.."
Lucifer: "Hati-hati, ya.."

Damian segera memacu kudanya menuju utara, tepatnya di North Wind. Daerah perbatasan antara kota Dublin dengan kota lain, yang sedang dijajah. Letaknya agak jauh dari kota.
Damian: "Rose.. aku akan menolongmu.."
Perjalanan hanya dengan kuda, akan memakan waktu yang sangat lama.

Sedangkan para perawat sudah bersiap akan kembali ke istana siang ini.
Smith: "Oh.. aku tidak melihat Rose.. ke mana dia?"
Rachel: "Dia sudah kembali duluan ke Dublin.."
Smith: "Kenapa tidak pamit, ya?"
Lucia: "Itulah Rose, Tuan.."
Setelah berpamitan, para perawat itu naik kereta, dan kembali ke istana.

Damian sampai di North Wind saat hari sudah gelap. Ia ke tempat perkemahan, dan menemui Smith.
 
Smith: "Rose sudah kembali ke istana.."
Damian tau, Smith pasti sudah dibohongi oleh dua perawat jahat itu.
Damian menuntun kudanya dengan sangat lemah. Berdiri di pinggiran sungai. Mengadukan perasaannya pada bulan dan bintang, sambil berteriak..
Damian: "Tuhan..!!! Kembalikan Rose padaku..!!!"
Ia menangis, dan tertunduk lemah, dengan tubuh melunglai ke tanah...
Damian: "Rose.."
Suaranya pun ikut lemah..
 
18

Damian sudah putus asa.. Ia pulang ke bar Lucifer.. Dr. Isaac juga masih di sana.
Dr. Isaac: "Bagaimana?"
Damian terduduk lemah. Ia hanya bisa menggelengkan kepala. Tanda tak berhasil menemukan Rose.. apalagi menyelamatkannya.
Lucifer memegangi pundak Damian. Ia berharap, sahabatnya itu tabah.

Para perawat peserta test baru datang. Mereka disambut oleh perawat lain.
Nicole dan Maria menunggu di pintu gerbang istana.
Nicole: "Aku tidak melihat Rose.."
Maria: "Aku juga. Ke mana dia?"
Lalu mereka menanyakan pada Hannah.
Hannah: "Kata Rachel, dia sudah pulang lebih dulu.."
Nicole: "Pulang lebih dulu?"
Maria: "Pasti Rachel salah.. Rose belum kembali."
Hannah: "Tapi.. Rose sudah tidak bersama kami sejak kemarin siang."
Nicole dan Maria saling berpandangan.
Maria: "Gawat! Pasti sudah terjadi sesuatu pada Rose.."
Nicole: "Sebaiknya, kita bilang pada Putri Jean."
Mereka segera ke kediaman Putri Jean.

Putri Jean senang melihat Nicole dan Maria datang.
Jean: "Hei.. katanya.. Rose kembali hari ini, ya..?"
 
Back
Top