Bls: Waria juga Manusia
nyuplik dari
http://korananakindonesia.wordpress.com/2010/04/10/waria-dalam-tinjauan-medis-agama-dan-sosial/
Dua jenis waria itu sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Kelamin ganda disebut khuntsa dan transeksualis/ bencong disebut mukhannats. Jika bercermin pada sunnah Rasul, jelas sekali bahwa
Rasulullah SAW tidak pernah menghinakan harkat derajat kaum waria, baik yang khuntsa maupun yang mukhannats. Selain itu banyak literatur hadis menyiratkan berbagai metode upaya normalisasi kaum waria. Dari hadist-hadist itu tersirat pula sebuah makna, bahwa kasus ke-waria-an–yang tidak lain adalah ambiguitas identitas gender -merupakan masalah bersama yang harus dipecahkan bersama pula. Ada dua solusi mendasar dari penanganan kasus waria; pertama, untuk kasus hermaproditif, penentuan status gender adalah berdasarkan kecenderungan paling dominan (baik fisik maupun psikis) dari waria bersangkutan. Berdasarkan hadits Nabi;
“Dikabarkan oleh ‘Ubaidillah bin Musa dari Israil dai ‘Abd Al-A’la bahwa dia mendengar Muhammad bin Ali bercerita kepada ‘Ali bahwa tentang seorang laki-laki yang mempunyai kelamin perempuan tentang bagaimana ia mendapat warisan, maka ia berkata “Melihat dari mana ia kencing” (H.R. Al-Darimy).
nah kalau yang diatas tidak dipungkiri karena punya dua
itu bukan shemale karena pilihan, tapi karena takdir memiliki dua. Bahkan yang memiliki dua aja
harus memilih salah satu kelaminnya.
Dalam menangani kasus transeksualitas, hadist Nabi berikut bisa menjadi rujukan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Khurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bertemu dengan seorang mukhannats yang telah dicelupkan kedua tangan dan kedua kakinya, kemudian orang yang mencelupkan mukhannats itu berkata: ”Hai Rasulullah, sesungguhnya orang ini telah menyerupai perempuan (bertingkah laku sebagaimana perempuan).” Nabi mengusirnya ke kota Naqi’ kemudian seorang itu bertanya; “ya Rasulullah, bolehkah saya membunuhnya?” Lalu Rasulullah pun menjawab: ”Sesungguhnya aku melarang untuk membunuh orang-orang yang shalat.” (H.R. Abu Dawud).
Dari hadits diatas tersirat bahwa mukahnnast adalah perbuatan terlaknat dan haram secara fiqih. Tapi meski begitu ia tetap memiliki hak asasi sebagai manusia, dan Rasulullah mengusir waria mukhannats itu dengan maksud terapi, suatu usaha edukatif agar si waria menyadari abnormalitas dirinya dan kemudian berusaha memperbaiki dirinya sendiri. Upaya ini tentunya juga adalah tanggung jawab para psikolog, pemerintah, kaum agamawan (ulama) dan segenap lapisan masyarakat pada umumnya.
yaitu, seperti kata gw. Solusi satu-satunya untuk para waria adalah
tidak memberikan solusi. agar mereka bisa berpikir pilihan seperti itu patutkah menjadi hal yang indah diantara 2 jenis manusia?
gw stop ampe diatas itu. Kalau dicerna baik-baik, sikap yang seharusnya kita pertimbangkan adalah sikap
menerima. Sikap
menghargai sesama manusia adalah hukum
wajib bagi siapapun. Dia berhak hidup, dia berhak makan, dia berhak dapat tempat berlindung.
Lalu, bagaimana dengan sikap
menerima? Contoh sikap menerima adalah
memfasilitasi. Hampir rata-rata masyarakat sekarang, melihat bahwa
standar dari sikap
menghargai sesama manusia merupakan memberikan
fasilitas! (tentu saja berbeda halnya kalau ia niat kembali ke kodratnya, maka itu harus segera dibantu)
Nah,
kenapa FPI bereaksi? karena pemerintah daerah telah memfasilitasi para waria untuk berkegiatan. Itulah mengapa nantinya, gw khawatirkan hal tersebut justru membuat para waria menjadi lebih hidup. Kalau kita terus-terusan memfasilitasi mereka, selanjutnya akan ada job yang hanya dimiliki para waria dengan syarat harus menjadi waria. Kedepannya lagi, waria akan menjadi golongan masyarakat yang mempunyai cita-cita!
Contoh para waria
pataya-
thailand. Mereka mendapat tempat disana, mereka para pria dapat mengeksploitasi dengan bebas gerak-gerik layaknya perempuan dengan menjadi waria. Mereka mempunyai tempat yang bagus disana, dan menjadi
penghibur. Kalau gw lihat sih menjijikkan, tapi itu salah satu contoh bahwa waria bisa menjadi
golongan masyarakat didaerah sana.
Pertanyaan selanjutnya:
maukah Indonesia seperti itu juga?
hanya bisa dijawab dengan sikap
menerima kita-kita sendiri.
"Silahkan kalian hidup sebagai mana manusia layaknya hidup. Tapi janganlah kalian ikut mencampuri kami"
Pesan moralnya sudah cukup jelas. Ia berhak makan, ia berhak bernafas, ia berhak mencari nafkah, ia berhak mendapat perlindungan, tapi kalau ada didaerah kita apakah kita harus menerimannya sebagai mana sistem sosial kita?
Tanpa dukungan semua fihak, akan sia-sialah upaya penyembuhan abnormalitas kaum waria; tak jarang upaya terapi kaum waria hanya menghasilkan hasil-hasil temporal (sementara) lantaran masyarakat di sekitar bersikeras mengingkari perubahan-perubahan positif dalam diri kaum waria.
nah itu dia diatas ini. Perlu kita sadari masyarakat indonesia sangat sulit mengubah
streotip. Bayangkan, seberapa sering disekeliling kita mengucapkan kata-kata yang mengandung
ras. Iya kan? Prilaku masyarakat sosial belakangan ini yang membuat tidak ada perkembangan. Sehingga keputus-asaan si waria berujung keitu-itu aja. Jika kita ingin perubahan terhadap waria, kita juga harus tegas terhadap prinsip. Bukannya malah mencari jalan aman, agar waria diberi
iming-iming mendapat fasilitas.
justru itu juga yang membuat parah karena menerima waria. . .
Sudah waktunya bagi kita, umat beragama untuk peduli terhadap nasib kaum waria, peduli pada hak-hak hidupnya sebagai manusia. Untuk itu, keberadaan kaum waria dari ruang marginal harus ditarik kembali ke wilayah sosial, di tempat terhormat selayaknya sebagai manusia. Dan masyarakat dituntut untuk bisa bersikap dewasa, empatik, terbuka, dan toleran terhadap mereka
kalau dari definisi gw quote diatas, sama halnya kita ingin menyelamatkan dan melestarikan
baju batik. Mengerti? Artinya kita melestarikan dan mengangkat, menerima mereka dan membiarkan mereka. akankah baju batik setelah kita
edarkan dan perkenalkan kembali kedalam lingkungan sosial akan menjadi baju biasa? sama sekali tidak, justru baju batik sekarang ini menjadi TREND dan hampir semua bentuk baju harus ada motif batiknya. Kalau batik diganti waria, entar malah jadi gini:
Code:
kalau dari definisi gw quote diatas, sama halnya kita ingin menyelamatkan dan melestarikan [B]waria.[/B] Mengerti? Artinya kita melestarikan dan mengangkat, menerima mereka dan membiarkan mereka. akankah waria setelah kita [B]edarkan dan perkenalkan kembali kedalam lingkungan sosial akan menjadi manusia normal? sama sekali tidak, justru waria sekarang ini menjadi TREND dan hampir semua bentuk seksualitas harus ada motif warianya. [URL=https://indonesiaindonesia.com/imagehosting/image55568.html][IMG]https://indonesiaindonesia.com/imagehosting/images/3/1_nyahaha.gif[/IMG][/URL][/B]
jadi mungkin maksud fpi itu baik,tapi hanya caranya aja yg salah
itu cara FPI untuk menolak keberadaannya. . .tapi kalau melihat cara bukan tujuan nya, sama saja
kecewa terhadap penguin karena tidak bisa terbang.