cersil- Peristiwa Bulu Merak

Hampir tidak tahan Pho Ang-soat akan meraung keras.
Bayi baru lahir, jiwanya yang baru sedang tumbuh, apakah
mereka harus ikut menyambut datangnya kematian.
ooooOOoooo
Bab 12. Antara Mati-Hidup
Gelap pekat, sunyi senyap, tiada sinar tiada suara, semua
ini tiada menakutkan, yang betul-betul amat menakutkan
adalah tiada harapan. Mereka suah terjeblos ke dalam jurang
kematian.
Kedua bayi itu tidak menangis lagi, mereka sedang minum
susu, hanya di saat mereka menetek, terasa betapa besar
gairah hidupnya. Akan tetapi berapa lama hidup mereka bisa
bertahan?
Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya pula,
namun menghadapi jurang kematian yang penuh jebakan ini,
goloknya itu takkan mampu berbuat apa-apa, dalam keadaan
seperti ini sepantasnya dia menghibur Co Giok-cin, namun dia
tidak tahu apa yang harus diucapkan, pikirannya ruwet.
Biasa pandangannya terlalu tawar akan perbedaan mati
dan hidup, namun dia tidak tega melihat kedua bayi kecil itu.
Walau dia bukan ayah kandung mereka, namun dalam
sekejap tadi antara mereka sudah terjalin suatu ikatan yang
aneh, ikatan yang lebih erat, lebih intim dan mesra dari
hubungan ayah dan anak kandung sendiri, perasaan itu serba
ruwet dan ganjil, lantaran perasaan itu yang hanya dimiliki
manusia, maka dunia ini bisa tumbuh, bisa berkembang.
 
Mendadak Co Giok-cin berkata, "Dari Bing-gwat-sim aku
dengar kalian juga pernah terkurung di sini? Kalau dahulu kau
punya akal untuk meloloskan diri, sekarang pasti kau punya
akal untuk keluar." Matanya memancarkan sinar, diliputi sinar
harapan.
Pho Ang-soat tidak tega membuat harapannya padam,
namun dia pun tidak ingin supaya dia tahu akan kenyataan
sebenarnya.
"Tempo hari kami dapat lolos, karena di dalam sini ada alat
untuk merobohkan dinding," batinnya.
Sekarang kamar batu ini sudah kosong, kecuali mereka
berempat, ditambah sesosok mayat. Mayat itu sudah kaku
dingin, cepat atau lambat, mereka juga akan menjadi mayat
juga.
Pandangan Co Giok-cin masih menampilkan setitik
harapan, katanya, "Sering aku dengar orang bilang, golokmu
adalah senjata paling tajam dan ampuh di jagat ini."
Mengawasi golok di tangan sendiri, suara Pho Ang-soat
mengandung kebencian, "Inilah senjata untuk membunuh
orang, bukan untuk menolong orang." Yang dibencinya bukan
orang lain tapi diri sendiri, asal kedua bayi cilik itu bisa
bertahan hidup, dia rela mengorbankan apa pun, melakukan
apa saja. Tapi dia justru tidak bisa berbuat apa-apa.
Setitik harapan yang terkandung dalam benak Co Giok-cin
terpaksa pudar, namun dia masih berusaha tertawa meski
dipaksakan, katanya, "Sedikitnya kita masih punya satu
harapan." Malah dia yang menghibur Pho Ang-soat, "Yan
 
Lam-hwi suruh kau menunggunya di sini, dia pasti kembali ke
sini."
"Jika dia mau pulang, tentu sudah pulang sejak tadi,
umpama sekarang dia sudah kembali, tentu beranggapan
bahwa kita sudah tidak berada di sini."
Co Giok-cin tutup mulut, dia tahu apa yang dikatakan Pho
Ang-soat memang kenyataan, Yan Lam-hwi pasti tidak
menduga bahwa mereka cukup lama berada di dalam kamar
batu ini, lebih tidak menduga bahwa Pho Ang-soat akan
terkubur hidup-hidup di sini.
Ketajaman telinga Pho Ang-soat serta reaksinya memang
hebat, siapa pun bila melakukan suatu aksi di sebelah atas,
pasti tidak dapat mengelabuinya. Lalu siapa bakal menduga
bahwa saat itu dia sedang sibuk menyambut kelahiran dua
nyawa cilik mungil sekaligus? Siapa pula yang mau
memikirkan bahwa di dalam sini ada jerit tangis orok yang
baru lahir? Banyak kejadian di dunia ini memang jarang
terduga sebelumnya, kejadian nyata kadang-kadang justru
lebih menakjubkan daripada dongeng.
Anak-anak mulai menangis lagi.
Telapak tangan Pho Ang-soat berkeringat, mendadak dia
teringat dia bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Sesuatu
yang sebetulnya tidak sudi dia lakukan meski jiwanya harus
berkorban. Tapi sekarang dia harus melakukan, dia dipaksa
oleh keadaan untuk melakukan.
Tio Ping seorang kawakan Kangouw, setiap orang kawakan
yang sering berkelana di Kangouw pasti banyak membekal
barang-barang penting untuk memberikan pertolongan
 
darurat. Menguras barang milik seorang yang sudah mati, bila
dipikir sebetulnya Pho Ang-soat sudah muntah-muntah,
apalagi sekarang dia sendiri yang harus melakukan, tapi
kenyataan sekarang dia sedang melakukannya.
Dia mengeluarkan sebuah obor kecil, segulung tali panjang,
sekeping belerang untuk mengusir setan atau ular, sebotol
obat untuk luka pukulan dan bacokan, Jinsom yang sudah
pernah dikunyah, serenceng kunci, sekuntum kembang
mutiara, beberapa keping uang emas, beberapa lembar cek
dan sepucuk surat.
Mutiara dan emas adalah benda-benda berharga yang
sering diperebutkan secara tidak halal oleh manusia
umumnya, malah tidak segan-segan sementara orang
mempertaruhkan jiwa raga sendiri untuk merebut barang-
barang itu, namun sekarang benda berharga ini tidak berharga
lagi.
Bukankah inipun semacam sindiran?
Kondisi yang lemah setelah kelahiran, bayi-bayi itupun
perlu air susu ibu, siapa pun pasti tahu Co Giok-cin sekarang
memerlukan Jinsom itu Tanpa bicara Pho Ang-soat melolos
golok memotong bagian yang sudah terkunyah. Pertama kali
ini dia mencabut goloknya hanya untuk suatu benda yang
tidak bernyawa, namun untuk kedua kalinya Co Giok-cin
melihat goloknya
Agaknya sekarang dia tidak peduli lagi, garis pemisah
antara hubungannya dengan Co Giok-cin agaknya sudah
putus sejak terjadinya kelahiran dua insan di dunia ini.
Sekarang antara kedua orang ini sudah terjalin suatu ikatan
batin yang tak teraba, tak terlihat.
 
Co Giok-cin tidak menyinggung hal ini, tanpa bersuara dia
terima Jinsom itu, matanya menatap kembang mutiara itu.
Itulah sekuntum Bo-tan, setiap mutiara mulus dan bercahaya,
berkat keahlian si pembuat, meski di tempat gelap juga
kelihatan betapa indah dan antiknya.
Matanya bercahaya pula, betapapun dia seorang
perempuan. Daya tarik mutu manikan memang tak bisa
ditahan oleh perempuan mana pun.
Sesaat Pho Ang-soat bimbang, akhirnya dia
mengangsurkan kepadanya.
Mungkin dia tidak harus berbuat demikian, tapi dalam
keadaan seperti sekarang kenapa dia tidak memberi
kesempatan supaya dia merasakan ketenteraman, riang dan
senang? Meski rasa senang itu hanya sedikit, hanya sekejap.
Co Giok-cin tertawa lebar, tawanya mirip tawa bocah
mendapat permen yang sudah lama dia dambakan.
Di tengah isak tangisnya, kedua orok itu akhirnya tertidur
pula.
"Kau pun harus tidur," bujuk Pho Ang-soat.
"Aku tidak mengantuk."
"Asal kau pejamkan mata, pasti bisa tertidur."
Pho Ang-soat tahu dia amat lelah, lelah dalam kondisi yang
lemah, dia banyak kehilangan darah, mengalami berbagai
kejadian yang menakutkan lagi.
 
Akhirnya pelupuk matanya terpejam juga, dia tenggelam
dalam tidur pulas di kegelapan yang manis dan tenteram.
Diam-diam Pho Ang-soat mengawasi mereka, ibu dan
anaknya yang sedang tidur nyenyak, adalah gambaran
bahagia yang amat mengesankan, lukisan yang indah, tapi
sekarang .... Dia menggigit bibir, bertekad untuk tidak
mengucurkan air mata.
Dia memasang obor, pemandangan yang terlihat pertama
adalah tulisan di sampul surat itu.
"Kepada yang terhormat, Yan Lam-hwi adikku, dari Gi."
Gi? Kongcu Gi? Apakah Kongcu Gi titip surat ini supaya
diserahkan kepada Yan Lam-hwi?
Adikku? Sebetulnya ada hubungan apakah di antara
mereka?
Pho Ang-soat menekan keinginannya, melempit surat dan
disimpan dalam kantong bajunya.
Tio Ping tidak punya kesempatan menyerahkan surat ini,
selanjutnya dia mengharap dirinya masih ada kesempatan
bertemu dengan Yan Lam-hwi. Namun dia juga tahu harapan
ini terlalu kecil.
Bagi Pho Ang-soat, kecuali surat dan Jinsom itu, barang-
barang yang dia temukan dari badan Tio Ping hakikatnya tidak
berharga. Karena dia melalaikan satu hal dari badan lelaki
seperti Tio Ping, semestinya tidak pantas menemukan
kembang mutiara, bila dia teringat akan hal ini, ternyata sudah
terlambat.
 
Ibu dan kedua anaknya masih tidur nyenyak, dalam
kegelapan mendadak terdengar suatu suara yang aneh, suara
gaib.
Lekas Pho Ang-soat menyalakan obor, maka tampak
olehnya beberepa ekor ular menerobos ke pojok kiri yang
gelap sana, agaknya mereka tidak tahan mencium bau
belerang.
Kamar batu di bawah tanah ini sudah pasti tiada lubang
anginnya lagi, maka hawa di sini makin pengap dan kotor,
sehingga bau belerang terlalu menusuk hidung.
Seketika Pho Ang-soat menemukan satu hal yang
menakutkan, mungkin sebelum mereka mati kelaparan,
mereka sudah mati tercekik karena kehabisan hawa.
Terutama anak-anak, anak-anak belum mempunyai daya
tahan untuk menyesuaikan diri dalam keadaan seperti ini.
Pada saat itu pula mendadak dia menemukan sesuatu
kejadian, kejadian yang mengobarkan semangatnya.
Beberapa ekor ular itu setelah menerobos ke pojok kiri sana
lantas lenyap, berarti di tempat ini pasti ada jalan keluar.
Di atas dinding batu di pojok kiri sana ternyata memang
ada celah-celah retakan dinding, entah sebelum ini memang
sudah ada atau retak karena terjadinya getaran dahsyat tadi?
Dia bukan ular, dia tidak tahu bagian luar dinding ini di
permukaan tanah atau terpendam di dalam bumi. Tapi setelah
ada setitik harapan, maka dia tidak akan mengabaikannya,
maka dia mencabut goloknya.
Waktu Co Giok-cin bangun, sudah lama Pho Ang-soat
menggali dinding, lubang di dinding sudah semakin besar,
 
umpama seekor kucing besar juga sudah bisa keluar masuk.
Sayang sekali mereka bukan kucing juga bukan tikus.
Anak-anak bangun dan menangis, setelah menangis, pulas
pula. Co Giok-cin membuka baju luarnya dan digelar di lantai,
perlahan dia turunkan kedua anaknya yang pulas, lalu
meronta berdiri secara diam-diam.
Pho Ang-soat sedang istirahat, napasnya agak memburu,
pakaiannya basah-kuyup, bagi orang yang sudah tidur
mungkin tidak
merasakan, tapi tenaganya sudah terkuras terlalu banyak,
udara yang pengap membuat napasnya megap-megap,
hampir dia tidak tahan lagi.
Dia harus lekas meloloskan diri, maka dia kerahkan tenaga,
bekerja lebih keras dan cepat, mendadak "Trang", goloknya
gumpil sedikit karena terbentur batu. Golok ini sudah menjadi
salah satu anggota badannya, salah satu bagian dari jiwa
raganya, tapi kedua tangannya tidak pernah berhenti.
Co Giok-cin menggigit sekerat Jinsom, tanpa bersuara dia
angsurkan ke depannya.
Pho Ang-soat menggeleng, katanya, "Anak-anak harus
menetek, kau lebih memerlukan dari aku."
Pilu suara Co Giok-cin, "Tapi jika kau ambruk, siapa pula
yang bisa hidup?"
Pho Ang-soat mengertak gigi, goloknya gumpil pula. Air
mata Co Giok-cin bercucuran.
 
Semula senjata ini tiada bandingannya di seluruh jagat,
cukup membuat siapa pun berubah air mukanya, nyali
pendekar ciut, tapi sekarang kenyataan dia tidak lebih kuat
dari pacul atau linggis. Sungguh tragedi yang amat kejam,
tragedi yang mengenaskan? Sudah tentu Pho Ang-soat
merasakan hal ini, kenyataan memang sudah hampir ambruk.
Tiba-tiba kedua tangan Co Giok-cin terulur maju, di kedua
telapak tangannya berisi sumber air abadi. Pho Ang-soat
membuka mulut, air abadi lantas meluncur ke dalam perutnya,
rasa harum dan manis yang tak bisa dilukiskan merasuk ke
dalam sanubarinya. Air abadi itu adalah air susu Co Giok-cin.
Padahal Pho Ang-soat sudah bersumpah tidak akan
mengucurkan air mata, namun sekarang air matanya sudah
tidak terbendung lagi.
Pada saat itulah, dari celah-celah lubang itu ada sesuatu
benda menjulur masuk, ternyata itulah sebilah pedang,
pedang merah segar. Di ujung pedang terikat secarik kain, di
atasnya tertulis huruf darah, "Aku belum mati, kau pun tak
boleh mati".
Kedua orok itu menangis lagi, suara tangisnya yang keras
bergema, melambangkan kehidupan yang menggelora.
ooooOOoooo
Sinar surya menerangi jagat raya.
Akhirnya kedua orok itu melihat sinar matahari.
 
Terbit secercah harapan dalam benak Pho Ang-soat,
semoga anak yang hidup dalam kegelapan bisa tumbuh
dewasa di bawah cahaya matahari.
"Sebetulnya aku sudah pergi, aku sudah pergi tiga kali."
"Tapi tiga kali pula kau kembali."
"Aku sendiri tidak tahu kenapa aku kembali, semula aku
kira kalian tidak mungkin berada di dalam," Yan Lam-hwi
tertawa, "tak pernah terbayang olehku meski dalam mimpi,
bahwa suatu ketika Pho Ang-soat juga akan terkubur hidup-
hidup." Tawanya ramah dan riang, bukan tawa sinis, karena
hatinya benar-benar sedang gembira. Katanya pula, "Terakhir
kali sebenarnya aku sudah bertekad akan pergi."
"Kenapa kau tidak segera pergi?"
"Karena mendadak aku mendengar suatu suara yang amat
aneh, suara seperti seorang yang lagi tersedak."
"Suara golok gumpil yag beradu dengan batu di dalam
tanah."
"Golok siapa?"
"Golokku."
Berdiri alis Yan Lam-hwi, mulutnya ternganga, dengan
terbelalak kaget dia mengawasi Pho Ang-soat, lebih kaget bila
mendadak dia melihat bumi di bawah kakinya merekah.
Pho Ang-soat malah tertawa, katanya, "Golokku kan juga
sama seperti golok lain, golok biasa."
"Bagaimana tanganmu?" tanya Yan Lam-hwi.
 
"Tanganku masih utuh," sahut Pho Ang-soat.
"Asal tanganmu masih utuh, golok yang gumpil sekalipun
tetap dapat membunuh orang."
Seketika sirna tawa Pho Ang-soat, "Orangnya?"
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya tertawa getir,
"Orangnya masih ada, sayang aku tidak tahu dimana mereka."
Di kejauhan sana ada sebuah kereta kuda, namun tiada
orang.
"Kau datang naik kereta itu?" tanya Pho Ang-soat.
"Tiga kali aku mondar-mandir naik kereta. Aku tidak suka
jalan kaki, kalau bisa naik kereta, aku pasti tak pernah jalan."
"Hanya karena tidak suka jalan, bukan karena kakimu?"
tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menatapnya, tiba-tiba menghela napas,
"Kenapa aku selalu tak bisa mengelabui engkau?"
Kedua orok itu dibungkus dengan baju luar Pho Ang-soat,
sejauh ini Yan Lam-hwi tetap menekan rasa ingin tahunya, dia
tidak bertanya hal ini, karena Pho Ang-soat juga tidak
menyinggungnya. Dia tahu watak Pho Ang-soat, suatu hal bila
tak ingin atau pernah dia singgung kepadamu, lebih baik kau
pura-pura tidak tahu saja.
Dengan tersenyum manis Co Giok-cin menyapa
kepadanya, "Paman Yan, kenapa kau tidak melihat anak
kami?"
 
Sungguh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, tanyanya bingung,
"Anak kalian?"
Co Giok-cin melirik ke arah Pho Ang-soat, katanya,
"Apakah dia tidak memberitahu kepadamu?"
"Memberitahu apa kepadaku?"
Makin manis senyum Co Giok-cin, katanya, "Anak ini yang
satu she Jiu, yang lain she Pho, yang laki mewarisi marga
keluarga Jiu, bernama Jiu Sian-jing. Yang perempuan ini lahir
lebih dulu, dia bernama Pho Siau-an." Sorot matanya
menampilkan rasa bangsa dan puas, hal ini sudah kami
bicarakan bersama-sama, kami sudah..." Dengan jengah
akhirnya dia menunduk malu.
Yan Lam-hwi menatapnya, lalu mengawasi Pho Ang-soat
pula, rasa kaget yang terbayang di wajahnya lebih besar
dibanding waktu dia mendengar suara golok gumpil tadi.
Dengan kalem Pho Ang-soat menoleh, lalu menarik
kencang popok orok-orok itu, katanya, "Kenapa kalian tidak
naik kereta lebih duhulu."
Co Giok-cin sudah naik dan duduk di dalam kereta, Yan
Lam-hwi dan Pho Ang-soat baru berjalan menghampiri. Kedua
orang ini cukup lama tidak buka suara, akhirnya Pho Ang-soat
bertanya, "Kau tidak mengira bukan?"
Terpaksa Yan Lam-hwi mengunjuk tawa, katanya, "Masih
banyak kejadian di dunia ini yang sering membuatku tidak
mengira."
"Kau menentang?"
 
"Kurasa kau punya alasan, mungkin ..."
"Jika sang waktu bisa berputar balik, aku akan tetap
berbuat demikian, anak-anak itu tidak boleh tidak punya ayah,
apa pun seseorang harus menjadi ayahnya."
Lebar tawa Yan Lam-hwi, katanya, "Kecuali kau, sungguh
tak bisa terpikir olehku, siapa yang setimpal menjadi ayah
kedua orok ini." Langkahnya lambat, gaya berjalannya seperti
berubah mirip Pho Ang-soat, malah sering terbatuk-batuk.
Mendadak Pho Ang-soat berhenti, menatap dengan tajam,
lalu katanya, "Ada berapa banyak lukamu?"
"Tidak banyak."
Mendadak Pho Ang-soat turun tangan menarik pakaiannya,
dadanya yang bidang dan kekar, ternyata terdapat dua jalur
luka. Luka merekah berwarna ungu, mirip gores lukisan yang
dibubuhi warna.
Memicing mata Pho Ang-soat, katanya, "Inilah Thian-coat-
te-biat Toa-jik-yang-jiu?"
"Oya," Yan Lam-hwi bersuara dalam mulut.
"Pahamu terkena Toh-kut-ting atau Soh-hun-ciam?"
Yan Lam-hwi tertawa getir, ujarnya, "Jika Soh-hun-ciam,
apakah sekarang aku masih bisa berdiri?"
"Ada orang Sing-siok-hay barat datang kemari?"
"Hanya datang satu."
 
"Yang datang To-jing-cu atau Bu-jing-cu?" tanya Pho Ang-
soat.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Terluka di tangan
To-jing-cu akhirnya pasti mampus."
"Toh-ku-ting itu masih menancap di pahamu?"
"Sekarang pahaku hanya bolong satu," ujar Yan Lam-hwi,
waktu tangannya merogoh kantong, sebuah senjata rahasia
yang kemilau sudah berada di telapak tangannya, kalau
seluruh senjata rahasia yang ada di dunia ini dipilih sepuluh di
antaranya yang paling ganas dan menakutkan, maka Toh-kut-
ting ini pasti satu di antaranya.
Ternyata Yan Lam-hwi masih tertawa-tawa, katanya,
"Untung nasibku masih mujur, dia menimpukkan tiga belas
Toh-kut-ting, aku hanya kena satu, untungnya aku hanya
terluka kulit daging, tidak mengenai Hiat-to atau sendi tulang,
maka lariku masih lebih cepat dari
mereka, kalau tidak, umpama To-jing-cu tidak
membunuhku, Nyo Bu-ki juga pasti merenggut nyawaku."
Ternyata tawanya masih kelihatan riang, "Boleh kuberitahu
satu rahasia kepadamu, kemampuan untuk membunuh orang
memang aku bukan tandinganmu, tapi kepandaian untuk
melarikan diri, aku yakin nomor satu di dunia ini."
Tangan Pho Ang-soat juga sedang merogoh saku, setelah
dia bicara habis, di ujung jarinya terselip sepucuk surat,
katanya, "Bacalah setelah duduk di dalam kereta."
"Siapa pegang kendali?"
"Aku."
 
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, "Seingatku dulu kau tidak
pernah menjadi kusir."
"Sekarang aku sudah pandai."
"Kapan kau belajar menjadi kusir?"
Pho Ang-soat menatapnya, lalu balas bertanya, "Apakah
dulu kau sudah pandai melarikan diri?"
Yan Lam-hwi berpikir sejenak, lalu menggeleng kepala.
"Sejak kapan kau belajar melarikan diri?"
"Bila dipaksa untuk melarikan diri."
Pho Ang-soat menutup rapat mulutnya, dia yakin Yan Lam-
hwi sudah maklum akan maksudnya. Seorang bila keadaan
memaksa harus melakukan sesuatu, maka dia bisa
melakukannya.
ooooOOoooo
Surat itu cukup panjang, semuanya ada tiga lembar.
Sebelum naik kereta Yan Lam-hwi sudah merobek sampul
suratnya, biasanya dia memang terburu napsu.
Ternyata Pho Ang-soat amat tabah dan sabar, dia tidak
bertanya apa yang tertulis dalam surat itu.
Agaknya surat itu membawa berita yang amat menarik,
karena sambil membaca, Yan Lam-hwi tertawa riang Tawa
riang yang mengandung cemoohan. Mendadak dia berkata,
"Agaknya Kongcu Gi seorang yang amat baik, perhatiannya
terhadapku teramat besar."
 
Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.
"Dia membujukku supaya lekas meninggalkan engkau,
karena sekarang kau sudah dipandang sebagai penyakit
menular yang amat jahat, siapa pun tersentuh olehmu pasti
dia tertimpa bencana dan akhirnya sekarat." Yan Lam-hwi
tertawa lebar, "Malah dia pun mencantumkan sebuah daftar."
"Sebuah daftar?"
"Daftar nama-nama orang yang ingin membunuh kita,
dalam daftar ini, orang-orang yang ingin membunuh kau satu
orang lebih banyak dari yang ingin membunuh aku."
"Hanya seorang kan tidak banyak."
"Umumnya memang tidak dianggap banyak, tapi juga tidak
sedikit, cuma harus dilihat siapa seorang yang kelebihan ini,"
mimik tawanya kelihatan tidak senang, "Kalau kunilai secara
obyektif, orang yang ingin membunuh kau ini bahwasanya
tidak boleh dihitung satu."
"Dihitung berapa?"
"Sedikitnya dihitung sepuluh orang."
"Apakah Bu-jing-cu dari Sing -siok-hay?"
"Kalau dibanding dengan orang yang satu ini, paling
banyak Bu-jing-cu hanya boleh dianggap bocah yang baru
pandai membunuh orang."
"Siapakah orang itu?"
 
Yan Lam-hwi sudah duduk di atas kereta, pintu ditutup
seperti takut dirinya terjungkal jatuh, katanya, "Orang ini juga
menggunakan golok, golok istimewa."
"Golok apa?" tanya Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi menutup pintu lebih rapat, lalu sepatah demi
sepatah dia menyebut nama golok itu, "Thian-ong-cam-kui-to."
Kabin kereta itu cukup lebar, Co Giok-cin merebahkan
putrinya dipangkuannya, putranya dia peluk dengan kedua
tangan, mata menatap Yan Lam-hwi, akhirnya tak tahan dia
bertanya, "Sebetulnya golok macam apakah Thian-ong-cam-
kui-to itu!"
Yan Lam-hwi tertawa paksa, katanya, "Terus terang,
bahwasanya golok itu tidak boleh dianggap sebatang golok."
"Dianggap sepuluh batang?" Co Giok-cin menegas.
Yan Lam-hwi tidak langsung menjawab, dia malah balas
bertanya, "Kau pernah melihat pisau Siau Si-bu?"
Co Giok-cin berpikir sejenak, katanya sambil mengangguk,
"Aku pernah melihat orangnya, dia selalu membersihkan kuku
jarinya dengan pisau."
"Sidikitnya harus ada lima ratus batang pisau seperti itu,
baru bisa dibuat sebatang Thian-ong cam-kui-to."
Co Giok-cin merinding, serunya, "Lima ratus batang pisau?"
"Kau tahu," tanya Yan Lam-hwi, "berapa banyak orang
yang mati dalam segebrak oleh goloknya?"
"Dua? Tiga? Lima?" tanya Co Giok cin.
 
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Dalam segebrak
pernah sekaligus dia membunuh dua puluh tujuh orang, batok
kepala setiap korbannya terbelah dua."
Berubah air muka Co Giok-cin, orok dipeluknya lebih
kencang, sorot matanya menatap keluar jendela, katanya
dengan tersenyum menyengir, "Apakah kau sengaja hendak
menakuti aku?"
Yan Lam-hwi tertawa getir, katanya, "Jika kau pernah
melihat golok itu, pasti kau akan maklum apakah aku sengaja
membuatmu takut atau tidak." Mendadak dia menoleh,
katanya pula dengan tertawa, "Tapi kau pasti tidak akan bisa
melihatnya, semoga Thian yang Maha kuasa melindungimu,
apa pun jangan sampai kau melihatnya."
Co Giok-cin tidak bertanya lagi, karena dia sudah melihat
suatu kejadian aneh, katanya, "Coba lihat di sana, ada sebuah
roda kereta."
Roda kereta sebetulnya tiada yang lucu atau
mengherankan, tapi kenapa roda kereta yang satu ini bisa
menggelinding sendiri ke depan?
Tak tahan Yan Lam-hwi melongok keluar, seketika berubah
air mukanya, serunya, "Itu roda kereta ini."
Belum habis dia bicara, kereta sudah mendoyong ke
pinggir, terus menerjang miring keluar jalan raya.
Kembali Co Giok-cin menjerit, "Coba lihat. Kenapa di depan
ada kuda buntung?"
Kuda buntung? Mana ada kuda buntung di dunia ini, aneh
bin ajaib, kenyataan yang mengerikan, karena kuda buntung
 
Back
Top