cersil- Peristiwa Bulu Merak

Pho Ang-soat tidak menghiraukan jawabannya, tanyanya
pula, "Tio Bu-kek, Tio Bu-liang bersaudara apakah ayah dan
pamanmu? Atau gurumu?"
Si kusir menatapnya dengan terbelalak kaget, seperti
mendadak melihat setan yang menakutkan. Dia memang
mahir sebagai kusir, sejak tadi duduk tenang memegang
kendali, bukan saja tidak melakukan gerakan apa pun, dia pun
tunduk pada perintah, sungguh dia tidak habis mengerti,
makhluk aneh yang bermuka pucat ini, bagaimana bisa
membongkar asal-usulnya.
Pho Ang-soat berkata, "Kulit dagingmu mengkilap, pori-
porimu kelihatan lembut berhimpit, sehingga mirip sesuatu
barang yang direndam dalam minyak, hanya seorang yang
pernah meyakinkan Khikang tunggal dari Sian-thian-bu-kek-
pay saja baru memperlihatkan gejala-gejala kulit tangan yang
berbeda."
Tajam benar pandangan makhluk aneh ini, akhirnya si kusir
menghela napas, katanya tertawa getir, "Cayhe Tio Ping, Tio
Bu-kek adalah ayahku."
"Bukankah kau masih punya nama lain dan biasa dipanggil
Jari telunjuk?" tanya Pho Ang-soat pula.
Terpaksa Tio Ping mengangguk, dia insyaf di hadapan
makhluk aneh ini hakikatnya dia tidak bisa berbohong lagi.
Pho Ang-soat berkata, "Menilai keluarga dan asal-usulmu,
ternyata kau melakukan kejahatan yang memalukan,
sepantasnya aku mewakili Sian-thian-bu-kek membersihkan
nama baik perguruannya."
 
Berubah air muka Tio Ping, katanya tergagap, "Tapi
aku….."
Pho Ang-soat tidak memberi kesempatan dia bicara, "Jika
kau bukan putra tunggal Tio Bu-kek, sekarang kau sudah
mampus di bawah kereta."
Dia duduk di dalam kereta, tidak bergerak. Jari-jari yang
paling lincah pada tangan setiap orang adalah jari telunjuk.
Seorang yang duduk di dalam kereta tidak bergerak,
bagaimana mungkin bisa membunuh Tio Ping yang lincah
seperti Jari telunjuk? Akhirnya Tio Ping insyaf akan hal ini,
maka tubuhnya sudah siap melambung.
Pho Ang-soat berkata, "Hari ini aku tidak membunuhmu,
aku hanya menuntut supaya kau tinggalkan jari tanganmu
yang sering kau gunakan membunuh orang."
Mendadak Tio Ping tertawa lebar, katanya, "Maaf saja, jari
tanganku masih berguna, mana bisa kuberikan kepadamu."
Mendadak sinar golok berkelebat, darah pun muncrat.
Berbareng tubuh Tio Ping juga melambung pergi,
mendadak dilihatnya sebuah tangan berlompatan darah
melayang jatuh dari tengah udara.
Dia masih belum tahu bahwa kurungan tangan itu adalah
tangannya sendiri, sambaran golok teramat cepat, dia masih
belum merasakan sakit, dia malah sedang tertawa.
Bila tangan itu sudah jatuh di tanah, baru dia sadar bahwa
tangannya sudah kurang satu. Gelak tawa berubah jeritan,
orangnya juga terbanting keras.
 
Sinar golok lenyap, golok sudah masuk ke sarung, Pho
Ang-soat tetap duduk di dalam kereta, tidak tampak bergerak.
Pergelangan tangan yang buntung dimasukkan ke dalam
lengan baju, dengan tangan yang masih utuh Tio Ping
berpegang pada sisi kereta serta meronta berdiri, lalu
menatapnya.
"Tidak lekas kau enyah," desis Pho Ang-soat.
Tio Ping mengertak gigi, katanya, "Aku tidak akan pergi,
aku ingin melihat golokmu."
"Golokku bukan untuk tontonan."
"Tanganku sudah buntung, berilah kesempatan padaku
untuk melihat golokmu."
Lama Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia pun
berkata, "Baik, lihatlah."
Golok berkelebat, rambut bertebaran. Itulah rambut Tio
Ping.
Setelah dia melihat rambut itu berserakan di tanah, sinar
golok pun telah lenyap. Golok sudah kembali ke dalam
sarung, dia tetap tidak melihat golok itu.
Saking ketakutan, kulit daging mukanya mendadak berkerut
dan kedutan, dia menyurut mundur dengan sempoyongan,
mulutnya memekik histeris, "Kau bukan manusia, kau iblis
laknat, yang kau pakai juga golok setan..."
Golok yang hitam, mata yang hitam pula.
 
Co Giok-cin juga sedang mengawasi golok itu, lama dia
melamun, sorot matanya menampilkan ketakutan dan ngeri.
Golok hitam ini seolah-olah sudah bersenyawa dengan Pho
Ang-soat, seperti salah satu anggota badannya saja.
Co Giok-cin coba bertanya, "Pernahkah kau meletakkan
golokmu ini?"
"Tidak."
"Bolehkah aku melihatnya?"
"Tidak boleh."
"Pernah kau perlihatkan kepada orang lain?" tanya Co
Giok-cin. "Apa betul itu golok iblis?"
Pho Ang-soat berkata, "Iblisnya tidak di dalam golok, tapi di
dalam hati, hanya orang yang hatinya ada iblis, maka dia tidak
akan luput dari sambaran golokku ini."
Tiada orang bergerak, kereta itupun berhenti.
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, "Agaknya
sekarang kita tiada tempat tujuan tertentu lagi."
"Ada saja," sahut Pho Ang-soat.
"Kemana?"
"Kembali ke Khong-jiok-san-ceng."
Yan Lam-hwi tercengang, katanya, "Kembali ke Khong-jiok-
san-ceng? Masih ada apa di sana?"
"Masih ada kamar rahasia di bawah tanah."
 
Yan Lam-hwi segera maklum, katanya, "Maksudmu Bing-
gwat-sim harus bersembunyi di sana untuk menyembuhkan
luka-lukanya?"
"Tiada orang menyangka dia berada di sana, di sana hanya
ada jalan buntu, tempat yang mematikan."
"Ya, tempat yang mematikan untuk bertahan hidup?"
"Begitulah."
"Kita tetap naik kereta ini?"
"Kereta kuda tidak akan membocorkan rahasia, juga tidak
akan menjual jiwa kita."
"Benar, hanya manusia menjual manusia, maka kau
mengusir Tio Ping. Sekarang siapa yang akan pegang
kendali?"
"Engkau."
Dinding kamar bawah tanah itu meski berlubang oleh
ledakan dahsyat itu, tempat lain masih tetap kokoh dan kuat,
masih rapi dan tiada perubahan.
"Sekarang jalan keluar masuk satu-satunya kamar rahasia
hanyalah lubang ini."
"Ya, hanya boleh keluar, tidak boleh masuk."
"Lho, kenapa?" tanya Lam-hwi.
"Karena Bing-gwat-sim masih punya Khong-jiok-ling."
"Khong-jiok-ling miliknya masih berguna?"
 
"Siapa bilang tidak berguna."
"Asal dia memegang Khong-jiok-ling dan berjaga di sini,
siapa pun takkan berani masuk."
"Ya, pasti tidak ada yang berani."
"Bagaimanapun aku tetap mengharap tiada orang lain
kemari." Co Giok-cin tidak tahan, dia bertanya, "Apakah kalian
hendak meninggalkan dia di sini seorang diri?"
"Tidak," sahut Pho Ang-soat pendek. "Siapa yang akan
menemani dia?"
"Kau."
"Dan Kalian? Kalian mau pergi kemana?"
"Pergi membunuh orang," desis Pho Ang-soat.
"Membunuh orang-orang yang membunuh orang itu?"
tanya Co Giok-cin.
"Kongsun To pasti akan menuntut balas, aku pun tidak
akan membiarkan dia hidup."
Co Giok-cin mengawasi golok di tangannya, katanya,
"Orang yang membunuh orang bukankah di dalam hatinya
juga dirangsang iblis?"
"Benar."
"Apakah dia pasti tidak akan mampu terhindar dari
sambaran golokmu?"
"Pasti tidak."
 
Mendadak Co Giok-cin berlutut, air matanya bercucuran,
"Aku mohon kepadamu, bawalah jantung hatinya kembali, aku
ingin bersembahyang kepada arwah ayah anak yang berada
dalam kandunganku."
Pho Ang-soat menatapnya, katanya mendadak, "Aku bisa
melaksanakan hal itu, kau sebaliknya tidak pantas berkata
demikian."
"Kenapa?"
"Karena omongan itupun mengandung hawa membunuh."
"Kau kuatir orok dalam kandunganku ketularan hawa
membunuh itu?"
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Bocah yang punya
hawa membunuh, setelah dewasa pasti gemar membunuh
orang."
Gemeratak gigi Co Giok-cin, katanya pula, "Kuharap dia
bisa membunuh orang, membunuh kan lebih baik daripada
dibunuh."
"Kau lupa satu hal."
"Katakan!"
"Orang yang membunuh orang, cepat atau lambat akhirnya
juga dibunuh orang."
ooooOOoooo
 
Kamar batu di bawah tanah itu bukan saja gelap, juga
lembab, meja kursi terbuat dari batu, keras dan dingin.
Bing-gwat-sim ternyata duduk dengan enak, karena
sebelum pergi, kasur bantal di dalam kereta sudah
dipindahkan ke dalam kamar baru ini. Co Giok-cin juga
kebagian tempat duduk yang empuk.
Setelah Pho Ang-soat pergi, tak tertahan dia menghela
napas, "Sungguh tak nyana dia adalah seorang yang teliti dan
cermat."
Bing-gwat-sim berkata, "Dia memang orang aneh, Yan
Lam-hwi juga aneh, tapi mereka adalah manusia, manusia
jantan, laki-laki sejati."
"Kelihatannya mereka amat baik terhadapmu," tanya Co
Giok-cin.
Bing-gwat-sim tertawa dipaksakan, katanya, "Aku juga baik
terhadap mereka."
"Tapi akhirnya kau harus menentukan pilihanmu, seorang
perempuan tak mungkin sekaligus menikah dengan dua laki-
laki."
"Aku sudah memilih."
"Siapa yang kau pilih?"
"Aku memilih diriku sendiri," tawar suara Bing-gwat-sim,
seorang perempuan memang tidak boleh sekaligus kawin
dengan dua pria, tapi kan boleh tidak kawin dengan
keduanya."
 
Co Giok-cin segera tutup mulut, dia tahu Bing-gwat-sim
tidak ingin membicarakan soal jodoh lagi.
Bing-gwat-sim mengelus Khong-jiok-ling di tangannya, jari-
jari tangannya dingin, lebih dingin dari bumbung emas itu,
hatinya sedang dirundung gejolak perasaan. Apakah karena
percakapannya dengan Co Giok-cin barusan sehingga
mengorek isi hatinya?
Agak lama kemudian mendadak Co Giok-cin bertanya,
"Apakah yang kau pegang itu benar-benar Khong-jiok-ling?"
"Bukan yang asli."
"Bolehkah aku melihatnya?"
"Tidak boleh."
"Kenapa?"
"Walau Khong-jiok-ling ini bukan yang asli, tapi dia juga alat
untuk membunuh orang, tetap punya hawa untuk membunuh
orang, aku tidak ingin orok dalam kandunganmu ketularan
hawa membunuh."
Co Ciok-cin mengawasinya, mendadak tertawa, katanya,
"Kau kenapa aku tertawa?"
"Entahlah."
"Mendadak kusadari nadamu bicara amat mirip Pho Ang-
soat, maka...."
"Maka kenapa?"
 
"Jika kau harus menikah, kupikir kau pasti menikah dengan
dia." Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Untung aku tidak pasti
harus menikah."
"Tapi aku harus menikah."
"Kenapa?"
"Karena anak dalam kandunganku, aku aku tidak akan
membiarkan dia lahir tanpa ayah."
"Siapa yang kau pilih untuk menjadi ayahnya?"
"Sudah tentu harus seorang lelaki sejati, seorang lelaki
yang mampu melindungi kami."
"Lelaki seperti Pho Ang-soat begitu?"
Ternyata Co Giok-cin tidak menyangkal.
"Tahukah kau, dia itu tidak punya belas kasihan."
Co Giok-cin tertawa sendu, katanya, "Punya atau tidak
belas kasihan, memangnya siapa yang dapat membedakan?"
"Kita tetap naik kereta ini?"
"Ya."
"Siapa pegang kendali?"
"Engkau."
"Kenapa aku lagi?"
"Karena aku tidak bisa."
 
"Kenapa setiap patah katamu selalu membuatku
melenggong?"
"Karena aku selalu bicara jujur."
Terpaksa Yan Lam-hwi naik ke atas kereta, mengayun
cemeti, katanya, "Coba saksikan ini, bukan tugas berat atau
sukar. Siapa pun bisa, kenapa kau tidak belajar?"
"Kalau setiap orang bisa, setiap orang bisa pegang kendali
keretaku, buat apa aku belajar."
Kembali Yan Lam-hwi melenggong, "Ucapanmu memang
selalu jujur, selalu masuk akal, aku jadi ingin suatu ketika
berbohong ala kadarnya."
"Kenapa?"
"Karena omongan jujur kedengarannya tidak seenak dan
senikmat omongan bualan."
Kereta itu bergerak maju, lama sekali menempuh
perjalanan, Pho Ang-soat masih terus terpekur, mendadak dia
bertanya, "Kau kenal orang yang menemani Nyo Bu-ki
bermain catur itu?"
Yan Lam-hwi manggut-manggut, katanya, "Dia bernama Ku
Ki (catur sewaan), salah seorang panglima besar Kongcu Gi."
"Konon pembantunya ada empat tokoh besar, yaitu yang
dinamai dengan harpa, catur, menulis dan menggambarkan."
"Bukan empat, tapi lima orang tokoh besar, yaitu Gi Khim,
Ku Ki, Ong Su, Go Hoat dan Siau Kiam."
"Kau pernah melihat kelima orang itu?"
 
"Pernah kulihat tiga, waktu itu Kongcu Gi belum
menemukan Gi Khim dan Siau Kiam."
"Waktu itu kapan?"
Yan Lam-hwi tutup mulut.
"Bukankah di saat kau sering bertemu dengan Kongcu Gi?"
Yan Lam-hwi tetap tutup mulut.
"Kau tahu rahasianya, siapa-siapa jago kosen yang
dikuasainya kau juga hapal, jadi sebelum ini kalian sering
berhubungan?"
Yan Lam-hwi tidak menyangkal, memang tidak bisa
menyangkal. "Sebetulnya pernah apa di antara kalian?"
"Orang lain selalu bilang setiap patah katamu bagai emas,
kenapa hari ini aku menjadi bosan mendengar ocehanmu."
"Karena kau tidak bisa berbohong, juga tidak berani bicara
jujur."
"Sekarang yang ingin kubicarakan adalah kau, bukan aku."
"Yang ingin kubicarakan justru dirimu."
"Apakah kita tak bisa berbincang persoalan lain? Sampai
sekarang aku masih belum tahu kemana tujuanmu?"
"Kau tahu, untuk membunuh manusia, sudah tentu harus
mencarinya ke tempat dimana dia mengatur perangkapnya."
"Maksudmu ke rumah Co Tang-lay?"
"Dahulu memang."
 
"Sekarang bukan?"
"Orang yang sudah mati takkan punya rumah."
"Jadi Co Tang-lay sekarang sudah mati?"
"Oleh karena itu tempat itu hanyalah sebuah perangkap
belaka."
"Aku jadi mengharap semoga orang-orang buruan itu
sekarang masih berada di sana."
"Pantasnya mereka belum pergi, untuk menjadi seorang
pemburu, pelajaran pertama yang harus dihapalkan adalah
bersabar."
Co Tang-lay memang sudah mati, mayatnya sudah kaku,
sudah dingin.
Ini bukan kejadian di luar dugaan, bila membunuh untuk
mencari sesuap nasi, pelajaran pertama yang harus diresapi
adalah menutup mulutnya. Bila kau pernah sekali ikut aksi
mereka, sembarang waktu kemungkinan mulutmu bakal
ditutup oleh mereka.
Dalam anggapan mereka, jiwa seseorang tidak lebih
berharga dari seekor anjing liar. Begitulah keadaan Co Tang-
lay sekarang, keadaannya lebih mengenaskan dari kematian
seekor anjing liar di bawah pohon.
Pho Ang-soat mengawasi dari kejauhan, sorot matanya
diliputi rasa duka dan kasihan. Nyawa memang berharga,
kenapa manusia justru banyak yang tidak bisa menghargai
nyawa?
 
Dia merasa simpati kepada orang yang menjadi korban ini,
mungkin karena dahulu dia pun hampir musnah karena "arak".
Arak itu tidak jelek, persoalannya terletak pada awakmu
sendiri, jika kau suka tenggelam dalam air kata-kata yang
berlimpah, tak bisa membangkitkan semangat juang sendiri,
maka tiada manusia di dunia ini yang bisa menolongmu.
Kesan sanubari Yan Lam-hwi mungkin tidak sedalam dia,
dia masih muda, hatinya masih diliputi cita-cita, angan-angan
muluk. Maka dia ingin bertanya, "Perangkapnya di sini, mana
pemburunya?"
Pho Ang-soat masih diam.
Dari pojok rumah mendadak terdengar sebuah bentakan,
"Lihat pisau!"
Selarik sinar pisau laksana sambaran kilat meluncur lurus
ke punggungnya.
Pho Ang-soat tidak berkelit, tidak bergerak. Yang bergerak
hanya goloknya. "Ting", kembang api pun berpijar, selarik
sinar pisau melambung tinggi ke angkasa, kelihatannya
seperti menembus tiga lapis mega dan lenyap ditelan
angkasa.
Golok Pho Ang-soat kembali ke sarungnya.
Yan Lam-hwi menghela napas lega, katanya, "Gelagatnya
paling sedikit masih kurang seorang."
"Aku sudah tahu, dia telah belajar bersabar."
Setelah berlangsung percakapan ini, maka tampak sinar
golok melayang jatuh, waktu jatuh, sinar yang semula satu
 
berubah menjadi dua, seperti batu meteor jatuh di tanah.
Itulah sebilah pisau, pisau terbang.
Mata pisau beradu dengan mata golok, kekuatan benturan
yang keras menyebabkan pisau kecil itu mencelat ke udara
mencapai puluhan tombak. Pisau terbang sepanjang empat
dim sekarang telah putus menjadi dua keping.
Siapa dapat membayangkan atau mengukur betapa
dahsyat kekuatan dan kecepatan luncuran pisau terbang itu?
Tapi Pho Ang-soat mengayun golok ke belakang, pisau
terbang itu telah dipukulnya mencelat dan jatuh. Pisau terbuat
baja yang tajam luar biasa ternyata telah ditabasnya putus
menjadi dua.
Di belakang rumah seorang menghela napas, katanya,
"Memang ilmu golok yang tiada keduanya di dunia, kau
memang tidak membual."
Perlahan Pho Ang-soat membalik badan, katanya, "Kenapa
kau belum pergi?"
Begitu dia membalik, lantas melihat Siau Si-bu, Siau Si-bu
beranjak keluar dengan tangan kosong, katanya dingin, "Di
antara empat 'tanpa' Siau-kongcu, tiada 'tanpa tahu malu',
umpama aku harus pergi juga aku akan pergi secara terang-
terangan." Tangannya sudah tidak memegang pisau, bagai
gadis belia yang mendadak bertelanjang bulat, sehingga
tangannya kerepotan bergerak naik turun entah harus
diletakkan dimana. Akan tetapi dia tidak lari.
Pho Ang-soat menatapnya, katanya, "Kau hanya punya
sebatang pisau?"
 
"Hari ini yang kuhadapi adalah kau, maka aku hanya
membawa sebatang pisau."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu pisau pertama juga pisau terakhir, maka
serangan pisauku tadi harus menggunakan seluruh
kemampuan, setakar tenagaku."
"Terlebih dulu kau menempatkan dirimu pada posisi yang
mematikan, sehingga waktu turun tangan tidak menghiraukan
segala akibatnya?"
"Ya, demikian," kata Siau Si-bu, "apalagi serangan pisauku
itu pasti dan harus mengenai sasaran, jika sekali tidak kena,
diulang seribu kali juga tidak berguna."
Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia mengulap
tangan, katanya, "Ucapanmu memang bagus, baiklah, kau
boleh pergi."
"Kau membebaskan aku?" tanya Siau Si-bu.
"Kali ini aku tidak akan membunuhmu, karena kau
mengucapkan dua patah kata."
"Dua patah kata apa?"
"Lihat pisau."
Sebelum pisau terbang disambitkan, bersuara memberi
peringatan jelas ini bukan sepak terjang menusia rendah,
manusia hina dina.
"Golokku hanya membunuh manusia yang hatinya disetir
iblis, pisaumu juga ada setannya, tapi hatimu bersih."
 
Tangan Siau Si-bu mendadak saling genggam, sorot
matanya mendadak menampilkan rona aneh, agak lama
kemudian baru dia berkata perlahan, "Jika aku tidak
mengatakan kedua patah kata tadi, apakah kau mampu
mematahkan pisau terbangku tadi?"
"Kau menyesal?"
"Bukan menyesal, tapi hanya ingin tahu duduk perkara
sebenarnya saja."
Pho Ang-soat menatapnya pula, pandangannya penuh
selidik, katanya dingin, "Kalau kau tidak mengucap kedua
patah kata tadi, sekarang kau sudah mati."
Sepatah kata tidak bicara lagi, Siau Si-bu segera putar
badan beranjak pergi, bukan saja langkahnya cepat, dia pun
tidak menoleh.
Di pojok belakang rumah seorang menghela napas,
katanya, "Umpama dia tidak menyesal, kau justru yang akan
menyesal."
Seorang berjalan keluar dengan langkah perlahan, berbaju
hijau berkaos kaki putih, siapa lagi kalau bukan Ku Ki.
"Aku harus menyesal? Apa yang harus kusesalkan?"
Ku Ki berkata, "Menyesal karena kau tidak membunuhnya."
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang. Dua
kesempatan dia dapat membunuh pemuda angkuh itu, tapi
dua kesempatan baik itu dia abaikan begitu saja.
 
Ku Ki berkata, "Kesempatan baik diabaikan, selamanya
tidak akan terulang lagi, jika ingin membunuh orang,
sebaiknya tidak tanpa pantangan." Setelah tertawa dia
menambahkan, "Kali ini kau tidak membunuhnya, lain kali
mungkin kau yang akan mati di tangannya."
Pho Ang-soat mengawasinya, katanya tertawa dingin, "Dan
kau? Pantas tidak sekali ini aku membunuhmu?"
"Itu harus dinilai. Aku akan melihat apakah kau akan
menggasak bagian tanganku atau ingin mencaplok naga di
pojok kananku? Kunilai pula kau pegang biji putih atau biji
hitam?"
Pho Ang-soat tidak paham, dia tidak pernah main catur.
Hanya orang yang suka iseng saja yang suka main catur, bila
iseng Pho Ang-soat selalu mencabut golok.
Maka Ku Ki terpaksa tertawa sendiri, katanya, "Maksudku,
kau tidak akan bisa membunuhku, kau hanya bisa membunuh
caturku, karena aku hanya pandai main catur, apalagi
permainan inipun sudah kalian mainkan sebelumnya,
hakikatnya kau tidak mampu mencaplok biji-biji caturku."
Dengan tersenyum dia menjura hormat, lalu berjalan
lenggang-kangkung lewat di samping Pho Ang-soat. Dia tahu
Pho Ang-soat tidak akan membunuhnya, karena sedikit pun
dia tidak bersiaga, siapa pun bisa membunuhnya, tapi Pho
Ang-soat tidak termasuk "siapa pun", Pho Ang-soat tetap Pho
Ang-soat.
Yan Lam-hwi mengawasi dia berlalu, mendadak dia
tertawa, katanya, "Agaknya langkahmu kali ini tidak meleset."
 
"Tapi hari ini beruntun aku dikalahkan tiga babak," ujar Ku
Ki.
"Dikalahkan Nyo Bu-ki?" tanya Yan Lam-hwi.
"Hanya dia yang dapat mengalahkan aku."
"Kenapa?"
"Karena main catur dia pun mirip membunuh manusia,
tanpa pantangan, aku sebaliknya punya ganjalan hati, ada
sesuatu yang kukuatirkan."
"Apa yang kau kuatirkan?"
"Aku kuatir kalah."
Hanya orang yang takut kalah saja setiap main catur akan
selalu kalah dengan penasaran, makin kuatir kalah makin
sering kalah, semakin kalah semakin takut main.
Hanya orang yang hatinya diliputi ketakutan baru akan
membunuh orang yang tidak pantas dibunuh, takut terhadap
keadilan, takut terhadap kebenaran.
ooooOOoooo
Malam telah larut.
Malam selalu datang tanpa terasa, tabir malam tahu-tahu
telah menyelimuti jagat raya.
Ku-ki beranjak keluar pintu, mendadak dia menoleh,
katanya, "Kuanjurkan kalian tidak usah lama-lama di sini."
 
"Di sini sudah tiada orang?" tanya Yan Lam-hwi.
"Yang hidup sudah tiada, yang mati ditinggalkan."
"Kongsun To dan lain-lain tidak berada di sini?"
"Bahwasanya mereka tidak pernah kemari, karena mereka
tergesa-gesa hendak pergi ke suatu tempat."
"Kemana?"
"Darimana tadi kalian datang, ke sanalah mereka pergi."
Yan Lam-hwi masih ingin bertanya, dia sudah keluar pintu,
Yan Lam-hwi mengejar keluar pintu, bayangannya sudah tidak
kelihatan.
Terdengar suaranya berkumandang di kejauhan, "Konon di
kala Merak mati, Bing-gwat-sim juga akan mengiringinya
tenggelam, tenggelam ke dalam bumi, tenggelam ke lautan ..."
ooooOOoooo
Bab 11. Dimana-Mana Terang Bulan
Larut malam, jagat raya gelap gulita.
Malam ini tiada rembulan (Bing-gwat), apakah Bing-gwat
telah mati malam ini?
Yan Lam-hwi membedal kudanya, Pho Ang-soat justru
duduk diam di sampingnya. Kereta yang bagus, kabin kereta
yang berat. "Kenapa kita harus naik kereta."
 
Back
Top