cersil- Peristiwa Bulu Merak

Nona cilik itu memberi keterangan, "Terpaksa Siocia
minggat, aku tak berhasil menahannya."
"Kau tahu dia pergi kemana?"
"Kalau aku tahu, sudah tentu aku menyusulnya, buat apa
aku berada di sini sendirian."
Kalau dalam rumah ada setan arak, siapa pun takkan sudi
tinggal di sana, maka terpaksa mereka meninggalkan rumah
itu. Tapi mereka harus menemukan Co Giok-cin, dunia seluas
ini kemana mereka harus mencari seorang?
Mendadak Bing-gwat-sim berkata, "Ada satu tempat pasti
dapat menemukan dia."
Yan Lam-hwi segera bertanya, "Di tempat mana?"
"Kalau ayahnya tidak tahu tentang hubungan gelap ini, Jiu
Cui-jing tentu sudah menyediakan suatu tempat untuk
pertemuan mereka secara tetap."
Kalau majikan sebuah toko kain yang berdagang kecil-
kecilan dapat memelihara seorang gundik yang cantik, masih
muda lagi apalagi seorang Cengcu Khong-jiok-san-ceng.
Sayang sekali tempat pertemuan gelap itu pasti amat
rahasia, Jiu Cui-jing biasanya juga bekerja amat teliti dan hati-
hati, kecuali mereka sendiri yang tahu, lalu siapa pula yang
mengetahui?
"Pasti ada orang lain yang tahu."
"Siapa?"
 
"Nona cilik berkuncir itu," Bing-gwat-sim bicara dengan
penuh keyakinan. "Hubungan antara Siocia dengan pelayan
pribadinya ada kalanya seperti hubungan kakak beradik yang
intim, kalau aku yang melakukan perbuatan itu, jelas tidak
akan bisa mengelabui Sing-song." Sing-song adalah nama
nona cilik berkuncir itu.
"Dilihat wajahnya serta lirikan matanya, kelihatan bahwa
nona cilik itu cerdik pandai, tadi dia hanya bersandiwara dan
sengaja ditunjukkan di depan kita, dalam jangka setengah
jam, secara diam-diam dia pasti akan pergi menemuinya.
Inilah rekaan Bing-gwat-sim dalam hati, jadi pikirannya ini
tidak dia utarakan.
Kenyataan memang demikian, setengah jam kemudian
nona cilik itu diam-diam menyelinap keluar dari pintu
belakang, secara sembunyi-sembunyi berlari memasuki
sebuah gang sempit di sebelah kiri. Diam-diam Bing-gwat-sim
menguntitnya, Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga menguntit
Bing-gwat-sim.
"Seorang gadis perawan apa pun tidak leluasa bergerak,
oleh karena itu tempat dimana dia sering mengadakan
pertemuan gelap dengan kekasihnya pasti tempat yang tak
jauh dari rumahnya," dugaan Bing-gwat-sim memang tidak
keliru, tempat itu memang terletak di sebuah gang sempit
yang terletak di ujung jalan raya sebelah timur, tembok tinggi
pintu sempit, dimana ada sebuah pekarangan kecil yang sepi
bersih, di dalam pekarangan tumbuh sepucuk pohon murbai,
di pinggir tembok sana berderet belasan vas kembang dengan
bunga beraneka warna yang sedang mekar.
 
Pintu sempit itu tidak terkunci atau terpalang dari dalam,
hanya dirapatkan saja seperti sengaja menunggu kedatangan
nona cilik ini, setelah longak-longok ke sekelilingnya, lalu
mendorong pintu menyelinap masuk, dari sebelah dalam dia
tutup serta dipalang lagi.
Kembang yang mekar itu seperti berlomba kecantikan
memancarkan bau harum semerbak, daun pohon gemersik
ditiup angin, tiada bayangan orang di dalam pekarangan
bersih ini.
"Kau masuk dulu, kami menunggu di luar."
Bing-gwat-sim tahu kedua lelaki ini pasti tidak mau ikut
terobosan di kamar seorang gadis, karena mereka adalah
lelaki sejati, lelaki tulen, lelaki di antara lelaki.
Mereka mengawasi Bing-gwat-sim melompati tembok terus
masuk ke dalam, menunggu sekian lamanya, harum kembang
merangsang hidung menyegarkan badan.
Pekarangan ini sepi dan lengang, namun mendadak
terdengar sebuah jeritan, itulah jeritan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim bukan jenis perempuan yang mau
sembarangan menjerit kecuali menghadapi sesuatu yang
mengerikan.
Penerangan dalam rumah agak guram, nona cilik yang
menguncir rambutnya tampak mendekam di meja, kuncir
rambutnya yang panjang dan legam itu melingkar di lehernya,
menjerat tenggorokannya, kaki tangannya sudah dingin.
Kaki tangan Bing-gwat-sim juga dingin berkeringat, katanya
gegetun, "Kita datang terlambat."
 
Nona cilik itu sudah mati terjerat lehernya, Co Giok-cin pun
tidak kelihatan bayangannya. Tiada orang yang bisa bunuh diri
dengan menjerat leher dengan kuncir rambutnya sendiri, lalu
siapakah pembunuhnya?
Kedua tangan Yan Lam-hwi saling genggam, desisnya,
"Hubungan rahasia Jiu Cui-jing dengan Co-Giok-cin agaknya
bukan rahasia yang tidak diketahui orang lain."
Karena itu anak buah Kongcu Gi bertindak selangkah lebih
cepat dari mereka.
Wajah Pho Ang-soat masih pucat, namun matanya mulai
membara, dengan teliti dia mencari, dia berharap pembunuh
itu meninggalkan bekas atau sesuatu yang tidak disengaja
karena tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Sedikit
kelalaian musuh merupakan sumber penyelidikan yang
berharga dan itu cukup sebagai bekal yang tidak akan
diabaikan oleh Pho Ang-soat, kali ini hampir saja dia
mengabaikan kesempatan itu, karena kelalaian musuh atau
sumber penyelidikan itu terlampau nyata, seperti sengaja
dipaparkan di depan mata.
Di atas meja rias berdiri sebuah cermin berbentuk hati,
seseorang menggores tiga huruf yang ditulis dengan gincu di
permukaan kaca, tulisannya terlalu kasar, jelas Co Giok-cin
meninggalkan tulisan itu dalam keadaan gugup dan terburu-
buru, sementara penculiknya juga tidak memperhatikan tulisan
tangan di kaca itu.
Kenapa sesuatu yang nyata justru jarang diperhatikan oleh
orang? Padahal gincu itu berwarna merah, merah seperti
darah, tiga huruf itu berbunyi "Jik-yang-koan".
 
Jik-yang-koan adalah nama yang terlalu umum, banyak
biara yang dihuni kawanan Tosu bernama Jik-yang-koan,
kebetulan di kota ini hanya ada satu Jik-yang-koan.
"Darimana dia bisa tahu kalau mereka hendak
membawanya ke Jik-yang-koan?"
"Mungkin secara tidak sengaja dia mencuri dengar
percakapan musuh, atau di antara penculiknya itu ada Tosu
dari Jik-yang-koan, dia dilahirkan di sini, sejak kecil dan
tumbuh dewasa di sini pula, tidak heran kalau dia betul kenal
mereka.
Betul atau tidak, mereka harus ke sana, umpama musuh
mengatur jebakan di sana, mereka juga harus coba meluruk
ke sana.
Di pekarangan luar Jik-yang-koan ternyata juga tumbuh
sepucuk pohon yang rindang, pohon yang sama yang tumbuh
di pekarangan kecil itu, sama tinggi sama besar dan sama
rimbunnya.
Asap dupa tampak mengepul di ruang pemujaan, tiada
bayangan orang, tapi mereka tiba di pekarangan belakang,
mereka mendengar percakapan orang.
Pekarangan yang sepi, suara orang yang dingin, hanya
mengucap dua patah kata, "Silakan masuk."
Suara itu berkumandang dari kamar semadi di sebelah kiri,
orang yang di dalam kamar seperti sengaja sedang menunggu
kedatangan mereka. Agaknya di sini memang ada perangkap,
namun kapan mereka pernah gentar menghadapi perangkap
musuh? Tanpa pikir Pho Ang-soat langsung beranjak ke sana,
 
pintu setengah dirapatkan, hanya sekali dorong lantas
terbuka.
Di dalam kamar ada empat orang.
Asal dia berpendapat harus melakukan tugasnya, asal
golok berada di tangannya, meski di depan ada barisan
berkuda laksaan jumlahnya juga dia tidak akan mundur
selangkah pun, apalagi hanya empat orang.
Keempat orang itu, seorang sedang minum arak, dua orang
sedang main catur, seorang lagi pemuda berbaju merah darah
dengan sebilah pisau kecil sedang mengerik dan
membersihkan kuku jarinya.
Dalam kamar tidak dinyalakan lampu, rona muka pemuda
ini mirip pisau di tangannya, putih semu hijau, warna hijau
itulah yang mengerikan.
Salah satu dari dua orang yang bermain catur, ternyata
memang seorang Tosu, rambut dan jenggotnya sudah
ubanan, namun raut mukanya ternyata masih segar dan
memerah seperti wajah anak kecil. Lawan bermainnya
berpakaian hijau berkaos kaki putih, dandanannya sederhana,
sebentuk cincin yang dipakai di jarinya ternyata adalah sebuah
batu jade dengan permata yang tak ternilai harganya.
Mendadak Pho Ang-soat memicingkan mata, ujung
matanya kedutan, wajahnya yang pucat mendadak bersemu
merah yang ganjil. Karena orang yang sedang minum arak
sambil menundukkan kepala sekarang perlahan mengangkat
kepalanya. Melihat wajah orang ini, kaki tangan Bing-gwat-sim
seketika dingin berkeringat.
 
Seraut wajahnya yang penuh codet bekas bacokan senjata
tajam, mata elang hidung betet, siapa lagi kalau bukan Put-si-
sin-eng Kongsun To. Kongsun To juga sedang mengawasi
mereka, mata elangnya yang mencorong seperti
membayangkan senyum sinis yang sadis, serunya, "Silakan
duduk."
Dalam kamar semadi ini ternyata masih ada tiga kursi
kosong, Pho Ang-soat juga tidak sungkan, langsung dia
berduduk.
Menjelang pertempuran antara mati hidup, kalau bisa
menyimpan sedikit tenaga juga pasti bermanfaat sekali.
Karena itu Yan Lam-hwi dan Bing-gwat-sim juga duduk,
mereka juga insyaf sekarang sudah tiba saatnya detik-detik
yang bakal menentukan antara mati dan hidup.
ooooOOoooo
Bab 9. Satu Bacokan Mempertaruhkan Nyawa
Keheningan mencekam, hanya terdengar hembusan angin
lalu di pekarangan, pemuda yang sedang membersihkan kuku
jarinya tetap berdiri tidak memperlihatkan perubahan mimik
mukanya, yang sedang main catur juga asyik dengan biji-biji
caturnya, jangan kata melirik, mengangkat kepala pun tidak.
Bing-gwat-sim tidak sabar lagi, serunya, "Kedatangan kami
bukan ingin menonton orang main catur."
Kongsun To menjadi juru bicara mereka, katanya, "Aku
tahu kalian mencari diriku, akulah yang mencuci bersih Khong-
jiok-san-ceng dengan darah, kalian tidak salah mencariku."
 
Jari tangan Bing-gwat-sim menggenggam kencang, kuku
jarinya sudah amblas ke kulit dagingnya, katanya, "Dan
mereka bertiga?"
Kongsun To tidak menjawab langsung, tapi dia
memperkenalkan dulu pemuda yang sedang membersihkan
kuku jarinya, "Inilah Si-bu Kongcu dari keluarga Siau di Lok-
yang." Seperti sengaja mau pamer, dia menjelaskan lebih
terperinci, "Maksud dari Si-bu (empat tanpa) adalah pisau
terbangnya tanpa tandingan, membunuh orang tanpa
hitungan, bila sudah bermusuhan tanpa kenal belas kasihan."
"Masih ada satu lagi, tanpa apa?"
"Umpama tidak bermusuhan juga tanpa kenal kasihan,"
Kongsun To menjelaskan lebih lanjut, "dia masih punya
julukan aneh yang cukup panjang yaitu, naik ke langit masuk
ke bumi mencari Siau Li, bertekad bulat membunuh Yap Kay."
Dahulu Li cilik si pisau terbang Li Sun-hoan pernah
menggetarkan dunia, setiap kali pisau terbangnya
disambitkan, selamanya tidak pernah ditimpukkan sia-sia,
kebesaran jiwanya, kecemerlangan namanya, sampai
sekarang belum ada orang yang bisa melampaui, Yap Kay
memperoleh ajaran murninya, mewarisi kepandaianya,
malang melintang di Bu-lim selama tiga puluh tahun, walau
tidak pernah salah membunuh seorang pun, tapi tiada orang
yang berani mengusiknya.
Bing-gwat-sim berkata, "Pemuda yang berdarah dingin ini
bukan saja yakin dapat membunuh Yap Kay, malah dia pun
ingin bertanding dengan Li Sun-hoan?"
"Agaknya memang demikian," ujar Kongsun To.
 
"Besar juga pambeknya," ucap Bing-gwat-sim tertawa.
"Orang yang pambeknya besar, umumnya tidak berkecil
hati."
"Agaknya memang demikian," giliran Bing-gwat-sim
mengiakan.
"Sebetulnya keliru," kata Kongsun To sambil tertawa.
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Makin besar mulut
kepandaiannya makin rendah, bukankah banyak orang-orang
kerdil seperti itu di kalangan Kangouw?"
Gelak tawa Kongsun To seperti bernada mengadu domba,
namun tawa Bing-gwat-sim justru bernada menantang,
ucapannya itu sengaja dia lontarkan kepada Siau Si-bu.
Pemuda jumawa itu justru seperti tidak mendengar
ucapannya, wajahnya tetap dingin kaku seperti tidak ambil
peduli akan ocehan orang lain. Pisau di tangannya bergerak
amat lamban, setiap gerakan dilakukan teramat hati-hati,
seperti kuatir pisau yang tajam itu mengiris luka jari
tangannya. Tangannya kelihatan bersih dan tenang, jari-
jarinya tumbuh panjang terpelihara dan mantap.
Selamanya tidak pernah Pho Ang-soat memperhatikan
tangan orang lain, sekarang dia justru sedang memperhatikan
jari-jari orang, setiap gerakan jari orang diperhatikan dengan
seksama. Mengiris dan membersihkan kuku bukan suatu yang
menarik, tidak patut dibuat tontonan.
Tapi Siau Si-bu kelihatan menjadi tidak tenang karena
diawasi, mendadak dia. berkata dingin, "Melihat orang
mengiris kuku, mendingan kau melihat orang bermain catur."
 
Kongsun To tertawa lebar, serunya, "Apalagi yang sedang
bermain catur adalah juara catur di seluruh negeri periode
tahun ini."
Bing-gwat-sim mengedipkan mata, katanya, "Apakah
Totiang ini pemilik Jik-yang-koan?"
Kongsun To seperti ingin mengadu domba pula, sengaja
dia bertanya, "Dalam biara mana ada Toa-lopan (jurangan)
segala?"
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Koancu (pemimpin biara)
di dalam sebuah biara adalah Toa-lopan, mucikari adalah Toa-
lopannya para pelacur. Nama Toa-lopan, siapa pun boleh saja
menggunakannya."
Tojin rambut putih sedang memegang sebuah biji catur,
sebelum meletakkan biji caturnya, mendadak dia mengangkat
kepala, tertawa kepadanya, katanya, "Betul aku adalah Toa-
lopan tempat ini."
Bing-gwat-sim tertawa manis, katanya, "Bagaimana
dagangan di sini belakangan ini?"
"Ya, masih mending, cukup lumayan, sembarangan waktu
selalu ada saja nyonya-nyonya pikun atau lelaki goblok
bergerombol atau perseorangan yang datang bersembahyang
di sini, tidak jarang mereka memberi derma untuk keperluan
biara kami, terutama setiap hari raya di musim semi, wah,
keuntungan yang masuk sungguh luar biasa," nada bicaranya
betul-betul mirip seorang juragan.
 
Bing-gwat-sim tertawa riang, katanya, "Toa-lopan umumnya
memang suka berkelakar, suka humor, siapa nyana Toa-lopan
yang satu ini juga amat jenaka."
Tojin ubanan berkata, "Yah, aku ini memang seorang yang
tidak punya pantangan." Dia pun tertawa riang.
Tawa Bing-gwat-sim justru mendadak seperti dipaksakan,
"Tanpa pantangan? Toa-lopan, kau she apa?"
"Aku she Nyo," sahut Tojin ubanan.
"Nyo Bu-ki?" seru Bing-gwat-sim.
"Agaknya benar."
Bing-gwat-sim tidak bisa tertawa lagi. Dia tahu tentang
orang ini.
Tiga puluh tahun yang lalu, Nyo Bu-ki pernah sejajar
dengan Butong Ciangbun, dan ternama bersama Pa-san
Tocu, sebagai salah satu dari Jit-toa-khiam-khek (tujuh jago
besar ilmu pedang) tanpa aliran. Dia juga tahu empat kata
pameo untuk menjuluki Tojin yang satu ini, pertama berbunyi
'tanpa pantangan' dan diakhiri dengan 'tanpa pantangan' pula.
Jarang orang tahu keempat patah pameo itu. 'Tanpa
pantangan, tertawa membunuh orang, kalau ingin membunuh
orang, tanpa pantangan'.
Konon bila orang ini bersikap dingin kepadamu, dia malah
menganggap kau sebagai sahabat, bila dia ramah-tamah dan
tertawa sopan kepadamu, umumnya hanya ada satu maksud,
yaitu dia hendak membunuhmu. Konon bila dia mau
membunuh orang, bukan saja tanpa pantangan, peduli famili
atau saudara kandung sendiri juga tidak terkecuali, umpama
 
naik ke langit masuk ke bumi juga kau akan dikejar sampai
jiwamu melayang.
Tadi dia sudah tertawa, sekarang juga masih tertawa. Lalu
kapan dia siap turun tangan? Maka Bing-gwat-sim
mengawasinya, sekejap pun tidak berani lena.
Tak nyana Nyo Bu-ki malah menoleh pula, "Tak", biji catur
yang dipegangnya itu ditaruh di papan catur, namun begitu biji
catur itu dia taruh, lekas sekali dia mengebaskan lengan
bajunya menyapu minggir semua biji-biji catur itu, serunya
sambil menghela napas, "Kenyataan kau memang seorang
juara, Pinto mengaku kalah saja."
Lelaki setengah umur berbaju hijau dan berkaos putih
berkata, "Permainan kali ini karena terpencar perhatianmu
oleh gangguan orang, mana boleh mengaku kalah begitu
saja?"
Nyo Bu-ki berkata, "Sekali salah langkah, seluruhnya
berantakan, kenapa tidak boleh dianggap kalah?" Lalu dia
menghela napas serta menambahkan, "Apalagi main catur
seperti juga latihan pedang, pikiran harus konsentrasi, tidak
boleh membagi perhatian, bila pikiran terpencar, mana boleh
diagulkan sebagai jago kosen?"
Kongsun To tertawa, katanya, "Untunglah meski Totiang
waktu main catur dapat diganggu konsentrasinya, namun di
kala main pedang pasti akan penuh keyakinan."
Nyo Bu-ki berkata tawar, "Syukurlah memang demikian,
maka Pinto sampai sekarang masih dapat mencari hidup di
dunia ini."
 
Laki-laki baju hijau menghela napas, katanya, "Celakanya
meski dalam bermain catur aku dapat mencurahkan seluruh
perhatian, bila bertanding pedang justru pikiranku tidak
keruan."
Bing-gwat-sim bertanya, "Kau she apa?"
"Tidak boleh tahu, tidak boleh tahu," kata orang baju hijau.
"Kenapa tidak boleh dikatakan?" Bing-gwat-sim menegas.
"Karena aku sebenarnya seorang keroco, aku hanya
seorang kacung catur belaka."
"Kacung catur? Kacung catur siapa?"
Yan Lam-hwi tertawa, selanya, "Majikan kacung sudah
tentu adalah Kongcu."
Orang baju hijau itu seperti baru melihatnya, segera dia
tertawa, katanya sambil menjura, "Kiranya Yan-kongcu."
"Sayang aku bukan Kongcumu."
"Apakah belakangan ini Kongcu masih sering bermain
catur?"
"Menyelamatkan jiwa juga masih terburu-buru, mana ada
tempo bermain catur?"
"Cayhe justru ingin main catur, jiwa pun boleh dikorbankan,
buat apa harus melarikan diri?"
Yan Lam-hwi tertawa lebar, orang baju hijau tersenyum,
ternyata kedua orang ini sebelumnya sudah kenal satu
 
dengan yang lain. Kalau begini tampang si kacung, lalu orang
macam apa pula sang majikan (Kongcu)?
"Apakah kongcumu belakangan ini masih sering main
catur?" Yan Lam-hwi bertanya.
"Sudah tidak pernah lagi."
"Dia tidak main catur lagi, tentu bukan untuk
menyelamatkan jiwa, sebaliknya dia menuntut jiwa orang lain."
Orang baju hijau tertawa lebar, Yan Lam-hwi tersenyum,
apakah orang yang mereka perbincangkan ini Kongcu Gi?
Apakah Yan Lam-hwi dan Kongcu Gi sebetulnya juga teman?
Orang baju hijau menjura pula, katanya, "Silakan Kongcu
duduk lagi, Cayhe mohon diri."
"Kenapa kau tidak duduk lagi?"
"Aku datang untuk main catur, bila catur tidak bisa
dimainkan, buat apa aku tinggal?"
"Buat membunuh orang?"
"Membunuh orang? Siapa yang mau membunuh orang?"
"Aku," mendadak Yan Lam-hwi menarik muka, matanya
menatap dingin kepada Kongsun To, "Orang yang ingin
kubunuh adalah kau."
Sedikitpun Kongsun To tidak merasa di luar dugaan, dia
menghela napas malah, katanya, "Kenapa setiap orang ingin
membunuh aku?"
 
"Karena terlalu banyak manusia yang jadi korban
keganasanmu."
"Orang yang ingin membunuh aku juga tidak sedikit, namun
sampai sekarang aku masih hidup, masih segar bugar, masih
panjang umur."
"Ya kau sudah terlalui tua, mungkin hari inilah saat tibanya
kematianmu."
"Hari ini memang saat kematian, namun entah saat
kematian siapa?" Kongsun To bicara dengan nada memelas,
sikapnya tetap tenang, namun nada bicaranya mengandung
hasutan, membakar amarah orang, membangkitkan emosi
lawan, sengaja menyakiti hati orang. Mungkin karena dia
pandai membawa diri dan berbuat demikian, maka sampai
sekarang dia masih hidup. Atau mungkin pula dia seorang
yang semestinya sudah mati puluhan kali, tapi tetap hidup,
maka dalam menghadapi kematian dia tetap berlaku tenang
dan tabah.
Jelas Yan Lam-hwi bukan tandingannya dalam hal ini,
perlahan dia melolos pedang dari balik bajunya. Jong-hwi-
kiam (Pedang mawar).
Pedang mawar adalah pedang lemas, biasanya melilit
pinggang di dalam balik pakaiannya, sarung pedangnya yang
juga lemas entah terbuat dari anyaman apa dan diwarnai
dengan apa pula? Yang jelas warnanya juga merah, merah
seperti sekuntum mawar merah yang mekar, merah laksana
darah musuh.
Melihat pedang ini, terunjuk rasa kagum dan hormat
Kongsun To dari sinar matanya, katanya, "Aku tahu tentang
 
pedang ini, digembleng ratusan kali, ditempa ribuan kali pula,
bisa lemas dapat kaku, senjata tajam yang jarang ada di
dunia."
"Aku juga tahu gantolanmu," ucap Yan Lam-hwi.
Cakar elang memang menakutkan, namun senjata elang
yang paling ampuh justru bukan cakarnya, tapi paruhnya.
Gantolan yang dipakai Kongsun To dinamakan paruh elang,
entah bentuk, bobot dan cara penggunaannya jauh berbeda
dengan gantolan yang sering terlihat di kalangan Kangouw.
Yan Lam-hwi tahu orang bersenjata paruh elang, namun
dia belum pernah melihatnya.
"Mana gantolanmu?" tanyanya.
Kongsun To tertawa, katanya, "Kapan kau pernah melihat
seorang memetik kembang dengan gantolan?"
"Memetik kembang?" Yan Lam-hwi menegas. "Apakah
mawar bukan kembang?"
Orang baju hijau mendadak menyelutuk, "Jika kau ingin
memetik mawar, maka jangan kau lupa kalau mawar ada
durinya, bukan saja dapat menusuk tangan, juga dapat
menusuk hati orang."
Kongsun To berkata, "Aku sudah tidak punya hati untuk
ditusuk."
"Tapi tanganmu masih ada dan tanganmu boleh ditusuk,"
orang baju hijau mendesak.
"Kalau dia melukai tanganku, akan kulukai hatinya."
 
"Dengan apa kau hendak melukai hatinya?"
"Dengan orang."
"Orang? Siapa?"
"Co Giok-cin."
"Jadi kalau dia melukai kau, kau akan membunuh Co Giok-
cin?"
Kongsun To mengangguk, katanya, "Co Giok-cin tidak
boleh mati, maka aku pun belum saatnya mampus, hanya dia
saja yang boleh mati."
Orang baju hijau berkata, "Dalam duel nanti, kau sudah
menempatkan diri pada posisi yang tidak terkalahkan?"
"Memangnya perlu diragukan?" ujar Kongsun To sambil
mengawasi Yan Lam-hwi dengan tersenyum, "Oleh karena itu
sekarang kau harus mengerti, hari ini saat kematian siapa?"
"Saat kematianmu," bentak Yan Lim-hwi, suaranya lebih
dingin, "Orang mati takkan bisa membunuh orang, aku ingin
mempertahankan jiwa Co Giok-cin, maka jiwamu harus
melayang lebih dulu."
Kongsun To menghela napas, katanya, "Agaknya kau
belum jelas duduk persoalannya, karena tadi aku sudah
mengucapkan sepatah kata, kau tidak mendengar."
"Aku sudah mendengar," orang baju hijau berkata.
"Apa yang kukatakan?" tanya Kongsun To.
 
"Tadi kau bilang, begitu kau melihat darah, Co Giok-cin
akan segera kau bunuh," orang baju hijau menjelaskan.
"Kepada siapa tadi aku bilang?"
"Aku tidak kenal siapa dia, hanya tahu kau memanggilnya
Jari telunjuk."
"Dimana dia sekarang?"
"Sudah pergi membawa Co Giok-cin."
"Kemana mereka?"
"Aku tidak tahu."
"Siapa yang tahu?"
"Agaknya tiada yang tahu," ujar orang baju hijau.
"Memang tiada seorang pun yang tahu," Kongsun To
tersenyum mengawasi Yan Lam-hwi. "Sekarang apakah kau
sudah paham seluruhnya."
Yan Lam-hwi mengangguk, ternyata sikapnya tetap tenang
dan wajar.
Maka Kongsun To bertanya, "Hari ini saat kematian siapa?"
"Saat kematianmu," Yan Lam-hwi menjawab tegas.
Kongsun To menggeleng kepala dengan tersenyum getir,
"Agaknya bukan saja orang ini keras kepala, kukuh dan juga
goblok, ternyata sejauh ini dia masih belum mengerti."
"Kaulah yang belum mengerti, karena dihitung seribu kali,
diulang selaksa kali, kau tetap melupakan satu hal."
 
"Ah, apa begitu?"
"Kau lupa aku tidak boleh mati dan tidak ingin mati, apalagi
jika aku mati, Co Giok-cin tetap tidak bisa tertolong, karena itu
kenapa aku harus mandah kau bunuh? Kenapa tidak aku saja
yang membunuhmu?"
Kongsun To melenggong, katanya kemudian, "Kalau kedua
pihak sama-sama tidak boleh mati, coba katakan, lalu
bagaimana baiknya?"
"Keluarkan gantolanmu, lawanlah pedangku, dalam
sepuluh jurus, jika aku tidak bisa mengalahkan engkau, akan
kuserahkan satu jiwa kepadamu."
"Jiwa siapa?"
"Jiwaku."
"Bagus, kalau kau dapat mengalahkan aku, aku berikan
berikan satu jiwa kepadamu?"
"Sudah tentu, imbalan harus setimpal."
"Jiwa siapa yang kau kehendaki? Jiwa Co Giok-cin?"
"Akan kusaksikan kau menyerahkan dia di hadapanku
dengan laku hormat dan sopan."
Kongsun To menepekur sebentar, lalu tanyanya kepada
orang baju hijau, "Apakah perkataan ini langsung diucapkan
oleh mulut Yan Lam-hwi?"
Orang baju hijau mengangguk sambil mengiakan. "Apakah
Yan Lam-hwi seorang yang dapat dipercaya?"
 
"Sepatah katanya senilai ribuan tahil emas, mati pun dia
tidak menyesal."
Tiba-tiba Kongsun To tertawa, tertawa lebar, "Sebenarnya
obrolan panjang lebarku ini memang menunggu
pernyataannya ini." Ketika gelak tawanya terhenti, gantolan
pun sudah berada di tangannya.
Gantolan yang mengkilap terang, seterang mata elang,
setajam paruh elang, walau bobotnya cukup berat, namun
gerak perubahannya teramat lincah dan enteng.
Kongsun To tersenyum, katanya, "Tahukah kau dimana
kegunaan gantolanku ini?"
"Coba terangkan," tantang Yan Lam-hwi.
Kongsun To mengelus pucuk gantolannya yang runcing,
katanya, "Walau bobot gantolan ini cukup berat, di dalam
rumah juga dapat dimainkan secara wajar, entah bagaimana
dengan pedangmu?"
"Jika aku terdesak keluar kamar ini, anggaplah aku yang
kalah."
Kongsun To tertawa lebar, serunya, "Bagus, tidak lekas kau
cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?"
"Tidak perlu."
"Tidak perlu?"
"Pedang di dalam sarung juga dapat membunuh orang, lalu
kenapa harus dicabut? Setelah tercabut, kemungkinan malah
tidak bisa untuk membunuh orang."
 
Back
Top