radiaku
New member
menusuk ke perut orang, namun kenyataannya hanya
menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu
pula Ni Hwi juga menyadari bahwa tusukan pisaunya gagal,
maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke atas.
Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting
ke udara dari semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di
tengah udara sudah bersalto. Sekali bersalto disusul salto
yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu. Begitu
ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung
pula ke belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh
lima tombak.
Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena
Pho Ang-soat tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh,
dengan sebelah kakinya dia berdiri di pucuk sebatang dahan
yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih menerocos
bagai burung berkicau.
Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga
tidak rendah.
"Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu
meninggalkan engkau, karena hakikatnya kau bukan laki-laki,
bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga tidak normal,"
caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana
jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu
merah, warna merah yang ganjil, jari-jari tangannya
tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok, tapi
dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita
batinnya sekarang tidak lagi separah dan seberat apa yang
dipikirnya.
menyerempet pinggir kulitnya. Sedetik itu
pula Ni Hwi juga menyadari bahwa tusukan pisaunya gagal,
maka kakinya menjejak, tubuhnya pun sudah melejit ke atas.
Seperti ular berbisa yang sembarang waktu mampu melenting
ke udara dari semak rumput, baru saja tubuhnya melejit di
tengah udara sudah bersalto. Sekali bersalto disusul salto
yang kedua, ujung kakinya sudah menutul atap gardu. Begitu
ujung kakinya meminjam tenaga, tubuhnya sudah melambung
pula ke belakang, kini sudah berada di pucuk pohon sejauh
lima tombak.
Sebetulnya Ni Hwi ingin menyingkir lebih jauh, tapi karena
Pho Ang-soat tidak mengejar, maka dia tidak berlari lebih jauh,
dengan sebelah kakinya dia berdiri di pucuk sebatang dahan
yang memantul enteng, mulutnya ternyata masih menerocos
bagai burung berkicau.
Ginkangnya memang tinggi, cara dia memaki orang juga
tidak rendah.
"Baru sekarang aku tahu kenapa cewekmu dulu itu
meninggalkan engkau, karena hakikatnya kau bukan laki-laki,
bukan saja kakimu cacad, jiwamu ternyata juga tidak normal,"
caci-makinya tidak kasar, namun setiap patah katanya laksana
jarum yang menusuk ke hulu hati Pho Ang-soat.
Wajah Pho Ang-soat yang merah mendadak bersemu
merah, warna merah yang ganjil, jari-jari tangannya
tergenggam kencang. Hampir saja dia mencabut golok, tapi
dia tidak bergerak, karena mendadak dia menyadari derita
batinnya sekarang tidak lagi separah dan seberat apa yang
dipikirnya.