"Aku punya obat untuk menyembuhkan dia?" tanya Jiu Cui-
jing.
"Kau punya, hanya kau yang punya," sahut Bing-gwat-sim.
"Obat apakah itu?"
"Sebuah rahasia."
"Rahasia? Rahasia apa?"
"Rahasia Bulu merak."
Terkancing mulut Jiu Cui-jing.
"Bukan maksud kami hendak mengancam dan menekan
kau, kami hanya ingin barter."
"Dengan apa kau hendak barter?"
"Juga sebuah rahasia, rahasia tentang Bulu merak."
ooooOOoooo
Malam telah tiba, lampu pun menyala.
Rumah itu amat tenang dan bersih serba rapi, ini
menandakan bahwa Jiu Cui-jing seorang pengagum seni, seni
dekorasi, perabotnya serba antik dan mewah. Sayang sekali
para tamunya ini tiada yang punya hasrat menikmati dekorasi
rumahnya yang megah ini.
Begitu masuk rumah, Bing-gwat-sim lantas bicara ke titik
persoalan, "Sebenarnya aku juga tahu, Khong-jiok-ling (bulu
merak) sudah hilang sejak moyangmu pada generasi Jiu
Hong-go."
Inipun sebuah rahasia, rahasia yang tidak diketahui oleh
insan persilatan mana pun di dunia ini.
Pertama kali melihat Jiu Cui-jing terkesiap, katanya,
"Darimana kau tahu?"
Bing-gwat-sim berkata, "Karena Jiu Hong-go pernah
membawa sketsa gambar Khong-jiok-ling mencari seorang,
minta bantuannya untuk membikin sebuah Khong-jiok-ling."
Sketsa gambar Khong-jiok-ling itu sendiri juga merupakan
suatu rahasia, karena dalam sketsa itu dilukiskan bentuk dan
rahasia pembuatan Khong-jiok-ling.
Tiada orang tahu Khong-jiok-ling ada lebih dulu atau sketsa
gambar merak itu ada lebih dulu? Tapi siapa pun akan
berpendapat dengan adanya sketsa gambar merak itu,
dengan mudah akan bisa dibuat pula sebuah atau berapa saja
yang dikehendaki Khong-jiok-ling yang sama.
"Tapi cara berpikir demikian sebetulnya keliru," ujar Bing-
gwat-sim.
"Darimana kau tahu kalau cara berpikir begitu salah?"
"Menciptakan Am-gi yang menggunakan peralatan rahasia
merupakan ilmu yang rumit, tinggi dan mendalam. Bukan saja
penciptanya harus mempunyai jari-jari tangan yang tahu cara
bagaimana mencampur kadar logam dan seluk-beluk tentang
Am-gi yang akan dibuatnya."
"Yang dicari Jiu Hong-go sudah tentu adalah seorang
pandai besi yang ahli, malah pandai besi nomor satu di jagat
ini," ujar Bing-gwat-sim.
Jiu Cui-jing berkata, "Pandai besi nomor satu sejagat pada
masa itu, konon justru seorang perempuan, yaitu Ji-hujin dari
keluarga Tong dari Sujwan.
"Racun dan Am-gi keluarga Tong konon sudah menjagoi
dunia selama empat ratus tahun, kepandaiannya sudah
menjadi tradisi yang diturunkan kepada menantu, tidak kepada
putri kandung sendiri. Ji-hujin adalah menantu tertua keluarga
Tong masa itu, karya sulamannya dan buatan Am-ginya waktu
itu diagulkan sebagai kepandaian tunggal yang tiada taranya,
maka waktu itu dia dijuluki Siang-coat."
Bing-gwat-sim berkata, "Namun Ji-hujin berjerih-payah
selama enam tahun hingga rambut kepalanya pun ubanan
karena terlalu banyak memeras otak, namun tidak mampu dia
membikin sebuah Khong-jiok-ling yang mirip aslinya."
Jiu Cui-jing mengawasinya, menunggu ceritanya lebih
lanjut.
Bing-gwat-sim mengeluarkan sebuah bumbung bundar
mengkilap kuning emas, lalu melanjutkan, "Selama enam
tahun, walau dia berhasil membuat empat pasang Khong-jiok-
ling, luarnya dan susunan peralatan di dalamnya meski mirip
dengan gambar aslinya, sayang sekali hasil karyanya itu tidak
digdaya seperti Khong-jiok-ling yang tulen, karena Khong-jiok-
ling yang tulen mempunyai kekuatan hebat yang tidak
mungkin bisa diterima oleh nalar manusia lumrah, kekuatan
magis."
"Itukah salah satu di antaranya?" tanya Jiu Cui-jing
mengawasi bumbung kuning di tangan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim mengangguk sambil mengiakan.
"Belakangan ini di kalangan Kangouw muncul seorang
yang menamakan diri Merak."
"Bulu merak miliknya itu juga salah satu di antaranya."
"Kaukah yang memberikan kepadanya?"
"Secara tidak langsung kuberikan kepadanya, namun
secara kebetulan saja kubiarkan dia menemukan."
"Karena kau sengaja supaya orang-orang Kangouw tahu
rahasia tentang hilangnya bulu merak itu."
Bing-gwat-sim mengaku.
Jika Khong-jiok-ling muncul di tangan orang, sudah tentu
bulu merak itu sudah tidak berada di perkampungan merak
pula. "Kenapa kau berbuat demikian?" tanya Jiu Cui-jing.
"Karena sejak mula aku curiga akan satu hal."
"Hal apa yang kau curigai?"
"Bulu merak merupakan urat jantung kehidupan, kejayaan
perkampungan merak, para Cengcu Khong-jiok-san-ceng
turun-temurun beberapa generasi semuanya adalah orang
teliti, tabah dan cakap, maka……."
"Maka kau tidak percaya bahwa Khong-jiok-ling itu hilang."
Bing-gwat-sim mengangguk, "Konon bulu merak itu hilang
dari tangan Jiu It-hong, ayah kandung Jiu Hong-go, Jiu It-hong
berbakat besar, berilmu tinggi serba pandai, bagaimana
mungkin dia melakukan kecerobohan yang berakibat fatal ini?
Dia sengaja berbuat demikian, mungkin hanya untuk menguji
sampai dimana taraf reaksi putranya."
Walau analisanya masuk akal, namun tak mungkin bisa
dibuktikan. Maka dia berkata lebih lanjut, "Sengaja aku
membocorkan rahasia ini, supaya musuh-musuh Khong-jiok-
san-ceng yang sudah turun-temurun itu berlomba datang
menyerbu kemari."
"Yang datang tetap tiada yang bisa hidup dan keluar dari
sini," dingin suara Jiu Cui-jing, bangga namun juga sinis.
"Oleh karana itu aku yakin bahwa dugaanku tidak meleset,
Khong-jiok-ling pasti masih berada di tanganmu."
Jiu Cui-jing tutup mulut, namun sepasang matanya setajam
mata burung elang menatap wajah Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim segera menambahkan, "Kemudian Jiu Hong-
go tidak menemui Ji-hujin lagi, karena dia sudah menemukan
pula Khong-jiok-ling yang asli."
Lama Jiu Cui-jing menepekur, katanya kemudian perlahan,
"Semestinya dia tidak perlu menemui Ji-hujin."
"Tapi Jiu Hong-go percaya kepada Ji-hujin, sebelum Ji-
hujin menikah, mereka sudah lama berhubungan sebagai
kawan."
Jiu Cui-jing tertawa dingin, jengeknya, "Memang tidak
sedikit orang yang mau menjual kawan sendiri dalam dunia
ini."
"Tapi Ji-hujin tidak mengingkari persahabatan mereka,
kecuali beberapa tertua dari keluarga Tong yang lurus, tiada
orang lain tahu akan rahsia ini."
Makin mencorong cahaya mata Jiu Cui-jing, katanya, "Dan
kau? Pernah apa pula kau dengan keluarga Tong?"
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Waktu aku membeberkan
rahasia ini, memang aku sudah siap membeber pula rahasia
diriku." Lalu perlahan dia menyambung, "Aku adalah putri
sulung keluarga Tong angkatan tertua, nama asliku adalah
Tong Lam."
"Anak keturunan keluarga Tong kenapa sudi hidup di
kalangan pelacuran?"
"Walau keluarga Tong kami menggunakan racun dan Am-
gi, namun peraturan keluarga kami jauh lebih ketat, lebih
keras dan disiplin dibanding tujuh perguruan besar dari aliran
lurus, putra-putri keluarga Tong, selamanya suka mencampuri
urusan Bu-lim yang tidak semestinya," suaranya tenang tapi
tegas. "Tapi kami sudah bertekad untuk melakukan sesuatu
yang menggemparkan."
"Apa tujuan kalian?"
"Kelaliman, hanya itu tujuan kami."
"Menentang kelaliman?"
"Betul, menentang kelaliman."
"Kami tidak berani melanggar peraturan keluarga, supaya
gerakan kita leluasa, terpaksa aku bersembunyi dalam
kalangan pelacuran, selama tiga tahun ini, kami sudah
menghimpun suatu kekuatan besar untuk menentang
kelaliman, sayang sekali sejauh ini kekuatan kita pun belum
memadai."
Yan Lam-hwi tiba-tiba menimbrung, "Karena organisasi
lawan lebih ketat dan keras, kekuatan mereka pun lebih
besar."
"Siapa pemimpin mereka?" tanya Jiu Cui-jing.
"Seorang yang pantas dibunuh."
"Dia itulah penyakit hatimu."
Yan Lam-hwi diam, diam artinya mengakui.
"Kau hendak memakai Khong-jiok-ling milikku untuk
membunuhnya?"
"Kelaliman ditumpas dengan kelaliman, pembunuhan
dicegah dengan membunuh."
Jiu Cui-jing menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat pula,
mendadak dia berkata, "Bukalah Hiat-to di kakiku, mari ikuti
aku."
Setelah melewati gambar dinding besar dan indah itu,
mereka menerobos hutan bambu serta rumpun kembang
anggrek, melewati jembatan bambu sembilan liku, maju lebih
jauh pula, sinar pelita mulai jarang-jarang. Taman yang gelap
terasa sepi lengang dan seram, sehingga sinar api pun
menjadi guram gelap. Dibanding gedung-gedung berloteng
yang megah dan angker di bilangan depan, di sini seperti
berada di dunia yang lain.
Rumah besar di sini juga serba gelap, dingin lembab dan
menggiriskan. Di dalam rumah dipasang ratusan dian, sinar
api yang kelap-kelip seumpama api setan, di belakang setiap
dian berdiri sebuah Ling-pay, di atas Ling-pay tertulis nama-
nama almarhum, nama tokoh besar yang belum lama ini
masih malang melintang di Kangouw. Melihat deretan Ling-
pay ini, sikap Bing-gwat-sim kelihatan serius dan khidmat.
Dia tahu mereka adalah para korban yang mati di bawah
Khong-jiok-ling, dia mengharap di sini akan ditambah lagi
sebuah Ling-pay dengan satu nama, "Kongcu Gi".
"Leluhur kita kuatir bila anak cucunya terlalu ganas
membunuh manusia, maka di sini didirikan tempat
penyimpanan perabuan mereka, supaya arwah mereka
tenteram dan masuk surga."
Maka selanjutnya mereka mulai memasuki urat nadi
Khong-jiok-san-ceng, mereka masuk lewat sebuah lorong,
lorong yang berbelak-belok, terali besi yang mereka lewati
entah ada berapa lapis.
Tanpa bersuara mereka terus beranjak di belakangnya,
seolah-olah mereka sedang memasuki sebuah kuburan
raksasa peninggalan raja-raja pada dinasti ribuan tahun yang
lampau, gelap dingin, lembab juga serba misterius.
Pintu besi terakhir ternyata terbuat dari papan baja setebal
tiga kaki, beratnya ada laksaan kati.
Di atas pintu ini terdapat tiga belas lubang kunci.
"Semula tiga belas kunci berada di tangan tiga belas orang,
tapi sekarang teman yang patut dipercaya betul-betul makin
jarang. Maka sekarang mereka tinggal enam orang, semua
adalah orang-orang tua yang sudah beruban, di antaranya ada
keturunan dekat atau famili keluarga Khong-jiok-san-ceng
sendiri, ada pula sesepuh dunia persilatan yang sudah
kenamaan di Bu-lim. Asal-usul dan kedudukan mereka
berbeda, namun persahabatan mereka serta loyalitasnya
terhadap Khong-jiok-san-ceng cukup membuat Jiu Cui-jing
percaya kepada mereka. Demikian pula kungfu kalian lebih
meyakinkan lagi," Jiu Cui-jing menjelaskan.
Cukup Jiu Cui-jing menepuk tangannya dua kali, enam
orang segera muncul seperti gerakan setan, pendatang yang
paling cepat ternyata bermata tajam bagai mata elang, gerak-
geriknya juga seringan dan setangkas elang, mukanya yang
sudah tergembleng di bawah hujan dan terik matahari penuh
dihiasi codet bekas bacokan yang malang melintang tidak
keruan, kalau tidak salah, dia bukan lain adalah Put-si-sin-eng
Kongsun To yang dahulu pernah menggetarkan padang pasir
di luar perbatasan.
Kunci terikat pada rantai di atas badannya, kunci terakhir
ternyata berada di tangan Jiu Cui-jing.
Dengan cermat Bing-gwat-sim memperhatikan dia
membuka kunci terakhir, waktu dia menoleh pula, bayangan
keenam orang itu sudah tidak kelihatan, seumpama setan
dedemit yang sengaja diutus dari neraka oleh para leluhur
keluarga Jiu yang berkuasa di perkampungan ini.
Di belakang pintu besi tebal ternyata adalah sebuah rumah
batu, dindingnya sudah lumutan, di sini tersulut enam lentera.
Cahaya api guram dingin dan menyeramkan, di empat
penjuru terdapat rak senjata, seperti pajangan saja terdapat
berbagai jenis senjata tajam, di antaranya malah ada yang
belum pernah terlihat oleh Yan Lam-hwi, entah itu senjata
yang pernah digunakan leluhur keluarga Jiu atau gaman yang
dipakai musuh mereka, bahwa senjata itu masih utuh dan
tersimpan di sini, namun jiwa raga mereka sudah tiada, tulang-
belulangnya pun sudah tak tersisa lagi.
Jiu Cui-jing mendorong sebuah batu raksasa pula, di dalam
dinding batu ternyata tersembunyi sebuah almari besi, apakah
Khong-jiok-ling tersimpan di dalam almari besi ini?
Semua menahan napas, mengawasinya membuka almari
besi itu, lalu dengan laku hormat mengeluarkan sebuah kotak
kayu cendana yang berukir indah dan kuno. Tiada yang
menduga bahwa yang tersimpan di dalam kotak kayu bukan
Khong-jiok-ling, tapi adalah selembar kulit tipis yang sudah
kuning seperti malam.
Bing-gwat-sim tidak ingin menyimpan rasa kecewanya,
katanya sambil mengerut alis, "Apakah ini?"
Sikap Jiu Cui-jing serius dan hormat, sahutnya kereng,
"Inilah wajah seorang."
Bing-gwat-sim terkesiap, tanyanya, "Apakah kulit yang
dibeset dari wajah seseorang?"
Jiu Cui-jing manggut-manggut, sorot matanya diliputi
kedukaan, katanya rawan, "Karena orang ini kehilangan suatu
barang yang amat penting, merasa malu untuk hidup lebih
lanjut, sebelum bunuh diri dia meninggalkan pesan, menyuruh
orang membeset kulit mukanya sebagai peringatan bagi anak
keturunannya kelak."
Dia tidak menjelaskan nama orang itu namun semua tahu
siapa yang dia maksud. Bahwa Jiu It-hong dikabarkan
mendadak mati, peristiwa ini pernah menimbulkan rasa curiga
kaum persilatan masa itu, sampai sekarang baru rahasia itu
dibongkar oleh Jiu Cui-jing.
Merinding sekujur badan Bing-gwat-sim, agak lama
kemudian baru dia menghela napas panjang, katanya,
"Peristiwa ini sebetulnya tidak perlu kau beberkan di hadapan
kita."
"Sebetulnya memang pantang untuk kubeberkan," ucap Jiu
Cui-jing dengan suara berat, "tapi aku ingin supaya kalian
percaya, bahwa sejak lama Khong-jiok-ling sudah tidak berada
di Khong-jiok-san-ceng."
Bing-gwat-sim bertanya, "Tapi bagaimana dengan orang-
orang yang mati di perkampungan merak ini."
"Membunuh orang banyak caranya," Jiu Cui-jing menukas
dingin, "tidak pasti harus menggunakan Khong-jiok-ling."
Mengawasi kulit manusia di dalam kotak kayu cendana,
terbayang dalam benak Bing-gwat-sim bagaimana orang itu
gugur secara ksatria untuk menebus dosa kesalahannya, lalu
timbul penyesalan dalam hatinya, semestinya dirinya tidak
kemari saja. Demikian pula Yan Lam-hwi, dia kelihatan juga
amat menyesal.
Pada saat itulah terdengar suara "Blam" yang cukup keras,
pintu besi setebal itu telah menutup sendiri. Menyusul
terdengar pula suara "Klik, klik, klik" secara beruntun tiga
belas kali, tiga belas lubang kunci di sebelah luar ternyata
sudah digembok.
Berubah air muka Bing-gwat-sim.
Yan Lam-hwi juga menghela napas, katanya, "Bukan saja
tidak pantas kami kemari, juga tidak patut tahu rahasia ini,
lebih tidak pantas lagi secara sembrono main terobos di
hadapan arwah para Cianpwe yang menghuni tempat ini, kami
memang patut mampus."
Jiu Cui-ing mendengarkan dengan tenang, tiada perubahan
di wajahnya.
Yan Lam-hwi berkata pula, "Tapi jiwaku ini sudah menjadi
milik Pho Ang-soat, Pho Ang-soat tidak pantas ikut mati sini."
"Aku juga tidak harus mati," jengek Jui Cui-jing tiba-tiba.
Yan Lam-hwi melotot dengan kaget. Bing-gwat-sim menyela,
"Ini bukan kehendakmu?"
"Bukan," sahut Jiu Cui-jing tegas.
Bing-gwat-sim makin kaget, serunya, "Lalu siapa yang
mengunci pintu dari luar? Tempat serahasia ini, orang luar
mana bisa masuk kemari?"
"Sedikitnya masih ada enam orang," sahut Jiu Cui-jing.
"Tapi mereka adalah sahabatmu."
"Aku pernah bilang, tidak sedikit manusia di dunia ini yang
mau menjual kawan."
Sekarang baru Pho Ang-soat bersuara, "Satu di antara
keenam orang itu pasti adalah pengkhianat."
"Siapa yang kau maksud?" tanya Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat tidak menjawab, malah bertanya pada Jiu
Cui-jing, "Yang membuka kunci pertama apakah Kongsun
To?"
Jiu Cui-jing mengangguk, mulutnya mengiakan.
Baru sekarang Bing-gwat-sim bertanya, "Apakah Put-si-sin-
eng (elang sakti yang tidak pernah mati) Kongsun To yang
sudah hampir mati beberapa kali itu?"
Jiu Cui-jing mengiakan saja.
Yan Lam-hwi bertanya, "Lawan duelnya yang terakhir
bukankah Kongcu Gi?"
"Betul," sahut Jiu Cui-jing.
Yan Lam-hwi memandang Bing-gwat-sim, Bing-gwat-sim
menatap Pho Ang-soat, ketiga orang ini terkancing mulutnya.
Soal ini tidak perlu ditanyakan lagi.
Bahwa Kongsun To lolos dari tangan Kongcu Gi, kejadian
itu memang sudah dianggap kejadian ajaib dunia persilatan.
Baru sekarang mereka sadar kejadian itu bukan lagi ajaib,
karena Kongcu Gi sengaja mengampuni jiwa Kongsun To,
sekaligus merangkulnya untuk dijadikan kambrat di dalam
melaksanakan tipu dayanya.
Sekarang persoalan terpenting satu-satunya adalah adakah
jalan keluar kedua dari tempat ini?
"Tidak ada," jawaban Jiu Cui-jing cekak tapi jelas, gudang
harta mana mungkin dibuatkan pintu kedua?
Setelah menghela napas panjang pula, sekujur tubuh Bing-
gwat-sim terasa lemas lunglai, arwahnya seolah-olah
meninggalkan jazad kasarnya.
Kamar ini ditutup oleh daun pintu besi setebal tiga kaki
dengan dinding tebal enam kaki, peduli manusia mana pun
yang terkurung di dalam kamar batu seperti ini, satu hal yang
masih bisa mereka lakukan adalah menunggu kematian.
Mendadak Yan Lam-hwi bertanya pula, "Apakah di sini ada
arak?"
"Ada," sahut Jiu Cui-jing. "Hanya seguci, seguci arak
beracun."
"Arak beracun juga mending daripada tiada arak?" ujar Yan
Lam-hwi tertawa. Bagi seorang yang kerjanya hanya
menunggu kematian, apa salahnya minum arak beracun?
Maka Yan Lam-hwi menemukan guci arak itu, dengan
bernafsu dia membuka tutupnya yang tersegel, mendadak
sinar golok berkelebat, guci arak itupun hancur.
Pho Ang-soat berkata dingin, "Jangan lupa jiwamu ini
milikku, mau mati akulah yang harus turun tangan."
"Kapan kau akan turun tangan?" tanya Yan Lam-hwi.
"Kalau betul-betul sudah putus asa," sahut Pho Ang-soat.
"Sekarang masih adakah harapan hidup bagi kita?"
"Bila manusia masih hidup, maka harapan itu tetap ada."
Yan Lam-hwi tertawa lebar, serunya, "Bagus, baiklah, selama
aku masih hidup, tidak akan kulupakan nasehatmu ini."
Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi, perhatiannya tertuju
ke rak-rak senjata yang berada di empat penjuru itu, entah
apa sebabnya dia kelihatan tertarik sekali. Perlahan dia
beranjak ke sana, setiap senjata pasti diperiksa dan ditelitinya
dengan seksama.
ooooOOoooo
Kamar batu yang lembab basah ini lambat-laun terasa
pengap dan gerah, Jiu Cui-jing meniup padam tiga lentera,
mendadak dilihatnya Pho Ang-soat menarik keluar sebatang
Cu-coat-pian (ruyung ruas bambu) dari rak senjata. Ruyung
tiga ruas seperti bambu ini terbuat dari baja murni, bobotnya
teramat berat, namun bentuknya kelihatan tidak seberat
bobotnya.
Lama Pho Ang-soat menimang-nimang ruyung itu,
tanyanya kemudian, "Darimanakah senjata ini?"
Jiu Cui-jing tidak lantas menjawab, dari dalam almari dia
mencari sejilid buku catatan yang cukup tebal, setelah meniup
debunya, mulai dia membalik halaman demi halaman sampai
belasan lembar, baru perlahan dia bersuara, "Itulah
peninggalan Hay Tang-kay."
"Hay Tang-kay dari Pi-lik-tong di Kanglam?" Pho Ang-soat
menegas.
Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, "Senjata api dari Pi-lik-
tong menjagoi segala macam senjata rahasia di dunia ini,
namun sejak Khong-jiok-ling muncul dalam percaturan dunia
persilatan, perbawa mereka semakin pudar dan menurun,
karena itu Hay Tang-kay mengumpulkan kambrat-kambratnya
menyerbu kemari, maksudnya hendak menghancurkan
Khong-jiok-san-ceng, sayang sekali sebelum dia bertindak,
jiwanya sudah melayang oleh bulu merak."
Mendadak bercahaya mata Pho Ang-soat, tanyanya
menegas, "Dia belum turun tangan sudah mati di bawah
Khong-jiok-ling."
Jiu Cui-jing manggut-manggut, katanya, "Kejadian meski
sudah seratus tahun yang lampau, namun di dalam buku ini
peristiwa itu dicatat dengan jelas."
Bing-gwat-sim berkata, "Pernah juga aku mendengar
tentang Bu-lim Cianpwe ini, kuingat nama julukannya adalah
Pi-lik-pian (ruyung geledek)."
Perlahan Pho Ang-soat mengangguk, kembali dia mulai
beranjak menyusuri dinding. Tangan kanan memegang golok,
tangan kiri menggenggam ruyung, namun matanya terpejam,
gayanya berjalan meski lucu, rona mukanya justru setenang
padri agung yang sedang semadi. Semua menahan napas,
mengawasi gerak-geriknya, keheningan mencekam seluruh
kamar batu ini.
Mendadak sinar golok berkelebat pula, cahayanya
kelihatan lebih terang dari tabasan di waktu menghancurkan
guci di tangan Yan Lam-hwi tadi. Jelas untuk bacokan kali ini
Pho Ang-soat telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, walau
matanya terpejam, goloknya ternyata tepat menusuk celah-
celah batu di atas dinding. Dia tidak melihat dengan mata,
namun melihat dengan hati, dengan perasaan, dengan insting.
Sekali tusuk, seluruh batang goloknya ternyata amblas ke
dalam dinding.
Pho Ang-soat menarik napas panjang, golok segera
dicabut, setelah dia ganti Cu-coat-pian di tangan kirinya
sekarang yang menusuk, amblas pula ke lubang dimana tadi
goloknya membuat lubang di atas dinding.
Pada saat itulah terdengar ledakan menggelegar, Cu-coat-
pian ternyata meledak di dalam celah-celah dinding. Dinding
yang dibangun dengan batu-batu persegi sebesar enam kaki
itu ternyata berguguran dan ambruk oleh getaran dahsyat dari
ledakan itu.
Lekas sekali keadaan kembali menjadi tenang, sepi
lengang, dinding yang semula rapi kini sudah ambrol dan
bolong.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, dengan
suara tawar dia berkata, "Senjata api buatan Pi-lik-tong dari
Kanglam memang nyata tiada bandingannya di dunia."
Jiu Cui-jing, Bing-gwat-sim dan Yan Lam-hwi
mengawasinya diam saja, sorot mata mereka diliputi rasa
kagum dan hormat.
"Darimana kau tahu kalau di dalam Cu-coat-pian ada
tersimpan bahan peledak?"
"Aku tidak tahu," sahut Pho Ang-soat. "Aku hanya merasa
bobotnya tidak semestinya seringan itu, oleh karena itu aku
menduga di dalamnya tentu kosong, kebetulan aku teringat
pula pada nama Hay Tang-kay."
Pertempuran besar yang terjadi waktu Hay Tang-kay
bersama kawan-kawannya menyerbu Khong-jiok-san-ceng
memang terkenal sebagai pertempuran paling besar di Bu-lim
kala itu. Seluruhnya ada tujuh puluh dua pertempuran dahsyat
yang terkenal di kalangan persilatan masa itu, paling sedikit
ada tujuh kali terjadi di Khong-jiok-san-ceng.
Kenyataan sampai sekarang Khong-jiok-san-ceng masih
berdiri sampai sekarang, masih jaya dan digdaya. Akan tetapi
begitu mereka keluar dari lubang bekas ledakan itu, segera
mereka melihat Khong-jiok-san-ceng yang tak pernah ambruk
meski sudah mengalami beberapa kali bencana ini sekarang
sudah menjadi puing-puing yang rata dengan bumi, sembilan
lapis bangunan beruntun, tiga puluh enam gedung berloteng
seluas delapan puluh li, seluruhnya sudah terbakar habis
tinggal puing-puing saja yang masih mengepulkan asap.
Aliran darah masih belum kering, Jiu Cui-jing sekarang
sedang berdiri di antara genangan darah tak jauh dari puing-
puing itu.
Bangunan seluas delapan puluh li jauhnya yang sudah
bertahan selama tiga puluh turunan dengan lima ratus jiwa
manusia, kini sudah hancur lebur. Hancur secara aneh, lenyap
secara mesterius.
Jiu Cui-jing tidak bergerak, juga tidak mengucurkan air
mata, dendam kesumat ini sudah tidak bisa ditawarkan
dengan hanya cucuran air mata. Sekarang yang terpikir
hanyalah ingin mengucurkan darah.
Sayang dia tidak melihat dan tidak tahu siapa penyebab
bencana ini.
Cuaca buruk, tanah seluas ribuan li kecuali mereka
berempat, seolah-olah tiada kehidupan lain.
Yan Lam-hwi berdiri jauh di sana, sikapnya kelihatan lebih
menderita dan duka daripada Jiu Cui-jing.
Sudah lama Pho Ang-soat menatapnya, katanya dingin,
"Kau sedang menyesal dan bertobat, semua adalah gara-
garamu sehingga bencana ini terjadi?"
Yan Lam-hwi manggut-manggut, beberapa kali ingin bicara
namun selalu batal, kontradiksi dalam sanubarinya sedang
bergelut dengan batinnya sehingga dia merasa amat
menderita. Akhirnya dia tidak tahan dan tercetuslah
perkataannya, "Inilah yang ketiga."
"Yang ketiga?" Pho Ang-soat menegas.
"Pertama di Hong hong-kip, kedua, di taman kembang
keluarga Ni dan sekarang adalah yang ketiga," Yan Lam-hwi
bicara cepat karena dia sudah berkeputusan untuk
membeberkan segala rahasia ini secara terbuka.
"Di dunia sekarang ini, orang yang memiliki kungfu paling
tinggi bukan kau, tapi adalah Kongcu Gi," dia bicara secara
jujur, "golokmu memang sudah hampir mencapai tiada
taranya, tapi ini mempunyai satu ciri."
"Dan kau?" Pho Ang-soat balas bertanya.
"Yang kuyakinkan adalah Sim-kiam (hati pedang), Gi-kiam
(arti pedang), dimana hati mempunyai selera, apa pun tiada
yang dapat membendungnya. Itulah salah satu jenis puncak
kesempurnaan dari ilmu pedang, jika latihan berhasil
mencapai taraf yang tiada taranya, maka ilmunya itu tidak
akan mendapat tandingan di seluruh jagat."
"Dan kau gagal melatihnya?"
"Ilmu pedang itu laksana sebuah pintu yang mempunyai
tiga belas kunci... jelas aku sudah memperoleh seluruh
kuncinya, tapi setelah aku membuka kunci kedua belas, kunci
terakhir justru tidak kutemukan," dengan tertawa getir Yan
Lam-hwi berkata lebih lanjut, "oleh karena itu, setiap kali turun
tangan, aku selalu merasa tenaga tidak memadai dengan
hasrat keinginan. Ada kalanya sekali tusuk jelas telak
mengenai sasaran, namun pada detik terakhir ternyata
meleset hampir satu dim."
"Bagaimana dengan Kongcu Gi?" tanya Pho Ang-soat.
"Bukan saja kungfunya sudah sempurna, malah tiada titik
kelemahan yang dapat dibuat sasaran. Di kolong langit ini,
mungkin hanya ada dua benda yang dapat menandingi dia."
"Pertama ialah Khong-jiok-ling?" Pho Ang-soat menegas.
"Kedua ialah Thian-te-kiau-ceng-im-yang-tay-pi-bu."
Dalam buku ini tercatat tujuh jenis kungfu yang paling
hebat, jahat dan lihai sejak zaman dulu hingga sekarang.
Konon waktu buku ini selesai ditulis, dari langit hujan darah,
tengah malam setan pun menjerit tangis, penulisnya setelah
mengakhiri huruf terakhir juga mati dengan tumpah darah.
Sudah tentu Pho Ang-soat juga pernah mendengar legenda
ini.
"Tapi setelah buku itu berhasil ditulis lantas lenyap tak
keruan parannya, bahwasanya tiada kaum persilatan di
Kangouw yang pernah melihat atau membacanya."
Yan Lam-hwi berkata, "Memang sudah lama buku ini putus
turunan, artinya tidak keruan parannya, tapi belakangan ini
memang betul-betul telah muncul."
"Muncul dimana?" Pho Ang-soat menegas.
"Di Hong-hong-kip."
Setahun yang lalu dia pun pernah ke Hong-hong-kip untuk
mencari buku itu, kebetulan waktu itu Pho Ang-soat juga
berada di sana.
"Waktu itu aku juga mengira kehadiranmu di sana juga
lantaran buku itu, maka aku beranggapan bahwa kau juga
sudah mau diperalat serta menjadi antek Kongcu Gi, maka
aku tidak segan turun tangan kepadamu."
Tapi dia yang kalah, kalau dia ingin membunuh Pho Ang-
soat, Pho Ang-soat justru tidak membunuhnya, karena itu
terjadilah rangkaian cerita yang berkepanjangan ini.
"Setelah pertempuran dengan kau itu, hati luluh semangat
lumpuh, dua jam kemudian baru aku putar balik ke Hong-
hong-kip."
Waktu itu Hong-hong-kip ternyata sudah menjadi kota mati,
Kongcu Gi telah menyikat dan membantai seluruh penghuni
kota kecil itu, agaknya dia pun tidak berhasil, sehingga
terjadilah peristiwa kedua yang mengerikan.
"Pagi hari itu, empat di antara Ni-si-jit-kiat (tujuh ksatria
keluarga Ni) juga berada di Hong-hong-kip, mereka datang
secara terburu-buru dan pergi dengan tergesa-gesa,
sebetulnya tidak menarik perhatian orang lain, namun aku
tidak tahan untuk tidak menemui mereka, ingin aku mencari
berita, tak nyana karena kedatanganku, terjadi perubahan
pada taman besar yang tersohor sejak tiga belas turunan
kakek-moyang mereka, taman itu telah hancur-lebur menjadi
tempat yang tak berguna lagi." Sesaat dia berpikir, lalu
menambahkan, "Pada hari itu juga, pertama kali aku bertemu
dengan Bing-gwat-sim, waktu itu dia baru pindah ke sana
belum genap lima hari."
Mengepal kedua tinju Pho Ang-soat, agak lama kemudian
dia berkata perlahan, "Walau sampai sekarang kau sendiri
belum pernah melihat buku Tay-pi-bu itu, namun akibatnya
justru teramat fatal, entah berapa jiwa dan harta telah hancur
karenanya."
Yan Lam-hwi juga mengepal tinju, desisnya geram, "Oleh
karena itu aku harus mengganyang Kongcu Gi, untuk
membalaskan sakit hati para korban itu."
"Karena itu pula dia pun harus membunuhmu."
Mereka tidak melanjutkan pembicaraan ini, karena Jiu Cui-
jing sudah beranjak perlahan mendekat. Wajahnya tetap tidak
menunjukkan perasaan apa-apa, demikian pula sepasang
matanya yang semula tajam berkilat kelihatan hambar dan
lengang.
Berdiri di hadapan mereka, lama dia diam saja seperti
patung, lalu dengan suara seperti mengigau berkata, "Seluruh
warga keluarga Jiu sudah mati, namun mayat mereka
seluruhnya lengkap, hanya kurang satu saja."
"Kongsun To?" Pho Ang-soat menegas.