"Aku punya obat untuk menyembuhkan dia?" tanya Jiu Cui-
jing.
"Kau punya, hanya kau yang punya," sahut Bing-gwat-sim.
"Obat apakah itu?"
"Sebuah rahasia."
"Rahasia? Rahasia apa?"
"Rahasia Bulu merak."
Terkancing mulut Jiu Cui-jing.
"Bukan  maksud  kami  hendak  mengancam  dan  menekan 
kau, kami hanya ingin barter."
"Dengan apa kau hendak barter?"
"Juga sebuah rahasia, rahasia tentang Bulu merak."
ooooOOoooo
Malam telah tiba, lampu pun menyala.
Rumah  itu  amat  tenang  dan  bersih  serba  rapi,  ini 
menandakan bahwa Jiu Cui-jing seorang pengagum seni, seni 
dekorasi, perabotnya serba antik dan mewah. Sayang sekali 
para tamunya ini tiada yang punya hasrat menikmati dekorasi 
rumahnya yang megah ini.
Begitu masuk  rumah, Bing-gwat-sim  lantas bicara ke  titik 
persoalan, "Sebenarnya aku juga tahu,  Khong-jiok-ling (bulu 
merak)  sudah  hilang  sejak  moyangmu  pada  generasi  Jiu 
Hong-go."
Inipun  sebuah  rahasia,  rahasia  yang  tidak  diketahui  oleh 
insan persilatan mana pun di dunia ini.
Pertama  kali  melihat  Jiu  Cui-jing  terkesiap,  katanya, 
"Darimana kau tahu?"
Bing-gwat-sim  berkata,  "Karena  Jiu  Hong-go  pernah 
membawa  sketsa  gambar  Khong-jiok-ling  mencari  seorang, 
minta bantuannya untuk membikin sebuah Khong-jiok-ling."
Sketsa gambar Khong-jiok-ling itu sendiri juga merupakan 
suatu rahasia, karena dalam sketsa itu dilukiskan bentuk dan 
rahasia pembuatan Khong-jiok-ling.
Tiada orang tahu Khong-jiok-ling ada lebih dulu atau sketsa 
gambar  merak  itu  ada  lebih  dulu?  Tapi  siapa  pun  akan 
berpendapat  dengan  adanya  sketsa  gambar  merak  itu, 
dengan mudah akan bisa dibuat pula sebuah atau berapa saja 
yang dikehendaki Khong-jiok-ling yang sama.
"Tapi cara berpikir demikian sebetulnya keliru," ujar Bing-
gwat-sim.
"Darimana kau tahu kalau cara berpikir begitu salah?"
"Menciptakan Am-gi yang menggunakan peralatan rahasia 
merupakan ilmu yang rumit, tinggi dan mendalam. Bukan saja 
penciptanya harus mempunyai jari-jari tangan yang tahu cara 
bagaimana mencampur kadar logam dan seluk-beluk tentang 
Am-gi yang akan dibuatnya."
"Yang  dicari  Jiu  Hong-go  sudah  tentu  adalah  seorang 
pandai besi yang ahli, malah pandai besi nomor satu di jagat 
ini," ujar Bing-gwat-sim.
Jiu Cui-jing berkata, "Pandai besi nomor satu sejagat pada 
masa itu, konon justru seorang perempuan, yaitu Ji-hujin dari 
keluarga Tong dari Sujwan.
"Racun  dan  Am-gi keluarga Tong  konon  sudah menjagoi 
dunia  selama  empat  ratus  tahun,  kepandaiannya  sudah 
menjadi tradisi yang diturunkan kepada menantu, tidak kepada 
putri kandung sendiri. Ji-hujin adalah menantu tertua keluarga 
Tong masa itu, karya sulamannya dan buatan Am-ginya waktu 
itu diagulkan sebagai kepandaian tunggal yang tiada taranya, 
maka waktu itu dia dijuluki Siang-coat."
Bing-gwat-sim  berkata,  "Namun  Ji-hujin  berjerih-payah 
selama  enam  tahun  hingga  rambut  kepalanya  pun  ubanan 
karena terlalu banyak memeras otak, namun tidak mampu dia 
membikin sebuah Khong-jiok-ling yang mirip aslinya."
Jiu  Cui-jing  mengawasinya,  menunggu  ceritanya  lebih 
lanjut.
Bing-gwat-sim  mengeluarkan  sebuah  bumbung  bundar 
mengkilap  kuning  emas,  lalu  melanjutkan,  "Selama  enam 
tahun, walau dia berhasil membuat empat pasang Khong-jiok-
ling, luarnya dan susunan peralatan di dalamnya meski mirip 
dengan gambar aslinya, sayang sekali hasil karyanya itu tidak 
digdaya seperti Khong-jiok-ling yang tulen, karena Khong-jiok-
ling  yang  tulen  mempunyai  kekuatan  hebat  yang  tidak 
mungkin bisa diterima oleh nalar manusia lumrah, kekuatan 
magis."
"Itukah  salah  satu  di  antaranya?"  tanya  Jiu  Cui-jing 
mengawasi bumbung kuning di tangan Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim mengangguk sambil mengiakan.
"Belakangan  ini  di  kalangan  Kangouw  muncul  seorang 
yang menamakan diri Merak."
"Bulu merak miliknya itu juga salah satu di antaranya."
"Kaukah yang memberikan kepadanya?"
"Secara  tidak  langsung  kuberikan  kepadanya,  namun 
secara kebetulan saja kubiarkan dia menemukan."
"Karena  kau  sengaja  supaya  orang-orang  Kangouw  tahu 
rahasia tentang hilangnya bulu merak itu."
Bing-gwat-sim mengaku.
Jika Khong-jiok-ling muncul di tangan orang, sudah tentu 
bulu  merak  itu  sudah tidak  berada di  perkampungan  merak 
pula.  "Kenapa  kau  berbuat  demikian?"  tanya  Jiu  Cui-jing. 
"Karena sejak mula aku curiga akan satu hal." 
"Hal apa yang kau curigai?"
"Bulu merak merupakan urat jantung kehidupan, kejayaan 
perkampungan  merak,  para  Cengcu  Khong-jiok-san-ceng 
turun-temurun  beberapa  generasi  semuanya  adalah  orang 
teliti, tabah dan cakap, maka……."
"Maka kau tidak percaya bahwa Khong-jiok-ling itu hilang."
Bing-gwat-sim mengangguk, "Konon bulu merak itu hilang 
dari tangan Jiu It-hong, ayah kandung Jiu Hong-go, Jiu It-hong 
berbakat  besar,  berilmu  tinggi  serba  pandai,  bagaimana 
mungkin dia melakukan kecerobohan yang berakibat fatal ini? 
Dia sengaja berbuat demikian, mungkin hanya untuk menguji 
sampai dimana taraf reaksi putranya."
Walau  analisanya  masuk  akal,  namun  tak  mungkin  bisa 
dibuktikan.  Maka  dia  berkata  lebih  lanjut,  "Sengaja  aku 
membocorkan rahasia ini, supaya musuh-musuh Khong-jiok-
san-ceng  yang  sudah  turun-temurun  itu  berlomba  datang 
menyerbu kemari."
"Yang datang tetap tiada yang bisa hidup dan keluar dari 
sini," dingin suara Jiu Cui-jing, bangga namun juga sinis.
"Oleh karana itu aku yakin bahwa dugaanku tidak meleset, 
Khong-jiok-ling pasti masih berada di tanganmu."
Jiu Cui-jing tutup mulut, namun sepasang matanya setajam 
mata burung elang menatap wajah Bing-gwat-sim.
Bing-gwat-sim segera menambahkan, "Kemudian Jiu Hong-
go tidak menemui Ji-hujin lagi, karena dia sudah menemukan 
pula Khong-jiok-ling yang asli."
Lama Jiu Cui-jing menepekur, katanya kemudian perlahan, 
"Semestinya dia tidak perlu menemui Ji-hujin."
"Tapi  Jiu  Hong-go  percaya  kepada  Ji-hujin,  sebelum  Ji-
hujin  menikah,  mereka  sudah  lama  berhubungan  sebagai 
kawan."
Jiu  Cui-jing  tertawa  dingin,  jengeknya,  "Memang  tidak 
sedikit  orang  yang mau menjual kawan sendiri dalam dunia 
ini."
"Tapi  Ji-hujin  tidak  mengingkari  persahabatan  mereka, 
kecuali beberapa tertua dari keluarga Tong yang lurus, tiada 
orang lain tahu akan rahsia ini."
Makin mencorong cahaya mata Jiu Cui-jing, katanya, "Dan 
kau? Pernah apa pula kau dengan keluarga Tong?"
Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Waktu aku membeberkan 
rahasia ini, memang aku sudah siap membeber pula rahasia 
diriku."  Lalu  perlahan  dia  menyambung,  "Aku  adalah  putri 
sulung  keluarga  Tong  angkatan  tertua,  nama  asliku  adalah 
Tong Lam."
"Anak  keturunan  keluarga  Tong  kenapa  sudi  hidup  di 
kalangan pelacuran?"
"Walau keluarga Tong kami menggunakan racun dan Am-
gi,  namun  peraturan  keluarga  kami  jauh  lebih  ketat,  lebih 
keras dan disiplin dibanding tujuh perguruan besar dari aliran 
lurus, putra-putri keluarga Tong, selamanya suka mencampuri 
urusan Bu-lim yang tidak semestinya," suaranya tenang tapi 
tegas. "Tapi kami sudah bertekad untuk  melakukan sesuatu 
yang menggemparkan."
"Apa tujuan kalian?"
"Kelaliman, hanya itu tujuan kami."
"Menentang kelaliman?"
"Betul, menentang kelaliman."
"Kami tidak berani melanggar peraturan keluarga, supaya 
gerakan  kita  leluasa,  terpaksa  aku  bersembunyi  dalam 
kalangan  pelacuran,  selama  tiga  tahun  ini,  kami  sudah 
menghimpun  suatu  kekuatan  besar  untuk  menentang 
kelaliman, sayang sekali sejauh ini kekuatan kita pun belum 
memadai."
Yan  Lam-hwi  tiba-tiba  menimbrung,  "Karena  organisasi 
lawan  lebih  ketat  dan  keras,  kekuatan  mereka  pun  lebih 
besar."
"Siapa pemimpin mereka?" tanya Jiu Cui-jing.
"Seorang yang pantas dibunuh."
"Dia itulah penyakit hatimu."
Yan Lam-hwi diam, diam artinya mengakui.
"Kau  hendak  memakai  Khong-jiok-ling  milikku  untuk 
membunuhnya?"
"Kelaliman  ditumpas  dengan  kelaliman,  pembunuhan 
dicegah dengan membunuh."
Jiu Cui-jing menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat pula, 
mendadak dia berkata, "Bukalah Hiat-to di kakiku, mari ikuti 
aku."
Setelah  melewati  gambar  dinding  besar  dan  indah  itu, 
mereka  menerobos  hutan  bambu  serta  rumpun  kembang 
anggrek, melewati jembatan bambu sembilan liku, maju lebih 
jauh pula, sinar pelita mulai jarang-jarang. Taman yang gelap 
terasa  sepi  lengang  dan  seram,  sehingga  sinar  api  pun 
menjadi  guram  gelap.  Dibanding  gedung-gedung  berloteng 
yang  megah  dan  angker  di  bilangan  depan,  di  sini  seperti 
berada di dunia yang lain.
Rumah besar di sini juga serba gelap, dingin lembab dan 
menggiriskan. Di dalam rumah  dipasang  ratusan dian, sinar 
api yang kelap-kelip seumpama api setan, di belakang setiap 
dian berdiri sebuah Ling-pay, di atas Ling-pay tertulis nama-
nama  almarhum,  nama  tokoh  besar  yang  belum  lama  ini 
masih  malang  melintang  di  Kangouw.  Melihat  deretan  Ling-
pay ini, sikap Bing-gwat-sim kelihatan serius dan khidmat.
Dia tahu mereka adalah para korban yang mati di bawah 
Khong-jiok-ling,  dia  mengharap  di  sini  akan  ditambah  lagi 
sebuah Ling-pay dengan satu nama, "Kongcu Gi".
"Leluhur  kita  kuatir  bila  anak  cucunya  terlalu  ganas 
membunuh  manusia,  maka  di  sini  didirikan  tempat 
penyimpanan  perabuan  mereka,  supaya  arwah  mereka 
tenteram dan masuk surga."
Maka  selanjutnya  mereka  mulai  memasuki  urat  nadi 
Khong-jiok-san-ceng,  mereka  masuk  lewat  sebuah  lorong, 
lorong  yang  berbelak-belok,  terali  besi  yang  mereka  lewati 
entah ada berapa lapis.
Tanpa  bersuara  mereka  terus  beranjak  di  belakangnya, 
seolah-olah  mereka  sedang  memasuki  sebuah  kuburan 
raksasa peninggalan raja-raja pada dinasti ribuan tahun yang 
lampau, gelap dingin, lembab juga serba misterius.
Pintu besi terakhir ternyata terbuat dari papan baja setebal 
tiga kaki, beratnya ada laksaan kati.
Di atas pintu ini terdapat tiga belas lubang kunci.
"Semula tiga belas kunci berada di tangan tiga belas orang, 
tapi sekarang teman yang patut dipercaya betul-betul makin 
jarang.  Maka  sekarang  mereka  tinggal  enam  orang,  semua 
adalah orang-orang tua yang sudah beruban, di antaranya ada 
keturunan  dekat  atau  famili  keluarga  Khong-jiok-san-ceng 
sendiri,  ada  pula  sesepuh  dunia  persilatan  yang  sudah 
kenamaan  di  Bu-lim.  Asal-usul  dan  kedudukan  mereka 
berbeda,  namun  persahabatan  mereka  serta  loyalitasnya 
terhadap  Khong-jiok-san-ceng  cukup  membuat  Jiu  Cui-jing 
percaya  kepada  mereka.  Demikian  pula  kungfu  kalian  lebih 
meyakinkan lagi," Jiu Cui-jing menjelaskan.
Cukup  Jiu  Cui-jing  menepuk  tangannya  dua  kali,  enam 
orang segera muncul seperti gerakan setan, pendatang yang 
paling cepat ternyata bermata tajam bagai mata elang, gerak-
geriknya juga seringan dan setangkas elang, mukanya yang 
sudah tergembleng di bawah hujan dan terik matahari penuh 
dihiasi  codet  bekas  bacokan  yang  malang  melintang  tidak 
keruan, kalau tidak salah, dia bukan lain adalah Put-si-sin-eng 
Kongsun To yang dahulu pernah menggetarkan padang pasir 
di luar perbatasan.
Kunci terikat pada rantai di atas badannya, kunci terakhir 
ternyata berada di tangan Jiu Cui-jing.
Dengan   cermat   Bing-gwat-sim   memperhatikan   dia 
membuka kunci terakhir, waktu dia menoleh pula, bayangan 
keenam  orang  itu  sudah  tidak  kelihatan,  seumpama  setan 
dedemit  yang  sengaja  diutus  dari  neraka  oleh  para  leluhur 
keluarga Jiu yang berkuasa di perkampungan ini.
Di belakang pintu besi tebal ternyata adalah sebuah rumah 
batu, dindingnya sudah lumutan, di sini tersulut enam lentera.
Cahaya  api  guram  dingin  dan  menyeramkan,  di  empat 
penjuru terdapat rak senjata, seperti pajangan saja terdapat 
berbagai  jenis  senjata  tajam,  di  antaranya  malah  ada  yang 
belum  pernah  terlihat  oleh  Yan  Lam-hwi,  entah  itu  senjata 
yang pernah digunakan leluhur keluarga Jiu atau gaman yang 
dipakai  musuh  mereka,  bahwa  senjata  itu  masih  utuh  dan 
tersimpan di sini, namun jiwa raga mereka sudah tiada, tulang-
belulangnya pun sudah tak tersisa lagi.
Jiu Cui-jing mendorong sebuah batu raksasa pula, di dalam 
dinding batu ternyata tersembunyi sebuah almari besi, apakah 
Khong-jiok-ling tersimpan di dalam almari besi ini?
Semua menahan napas, mengawasinya membuka  almari 
besi itu, lalu dengan laku hormat mengeluarkan sebuah kotak 
kayu  cendana  yang  berukir  indah  dan  kuno.  Tiada  yang 
menduga bahwa yang tersimpan di dalam kotak kayu bukan 
Khong-jiok-ling,  tapi  adalah  selembar  kulit  tipis  yang  sudah 
kuning seperti malam.
Bing-gwat-sim  tidak  ingin  menyimpan  rasa  kecewanya, 
katanya sambil mengerut alis, "Apakah ini?"
Sikap  Jiu  Cui-jing  serius  dan  hormat,  sahutnya  kereng, 
"Inilah wajah seorang."
Bing-gwat-sim  terkesiap,  tanyanya,  "Apakah  kulit  yang 
dibeset dari wajah seseorang?"
Jiu  Cui-jing  manggut-manggut,  sorot  matanya  diliputi 
kedukaan, katanya rawan, "Karena orang ini kehilangan suatu 
barang  yang  amat  penting,  merasa  malu  untuk  hidup  lebih 
lanjut, sebelum bunuh diri dia meninggalkan pesan, menyuruh 
orang membeset kulit mukanya sebagai peringatan bagi anak 
keturunannya kelak."
Dia tidak menjelaskan nama orang itu namun semua tahu 
siapa  yang  dia  maksud.  Bahwa  Jiu  It-hong  dikabarkan 
mendadak mati, peristiwa ini pernah menimbulkan rasa curiga 
kaum persilatan masa itu, sampai sekarang baru rahasia itu 
dibongkar oleh Jiu Cui-jing.
Merinding  sekujur  badan  Bing-gwat-sim,  agak  lama 
kemudian  baru  dia  menghela  napas  panjang,  katanya, 
"Peristiwa ini sebetulnya tidak perlu kau beberkan di hadapan 
kita."
"Sebetulnya memang pantang untuk kubeberkan," ucap Jiu 
Cui-jing  dengan  suara  berat,  "tapi  aku  ingin  supaya  kalian 
percaya, bahwa sejak lama Khong-jiok-ling sudah tidak berada 
di Khong-jiok-san-ceng."
Bing-gwat-sim  bertanya,  "Tapi  bagaimana  dengan  orang-
orang yang mati di perkampungan merak ini."
"Membunuh orang banyak caranya," Jiu Cui-jing menukas 
dingin, "tidak pasti harus menggunakan Khong-jiok-ling."
Mengawasi  kulit  manusia  di  dalam  kotak  kayu  cendana, 
terbayang  dalam  benak  Bing-gwat-sim  bagaimana  orang  itu 
gugur secara ksatria untuk menebus dosa kesalahannya, lalu 
timbul  penyesalan  dalam  hatinya,  semestinya  dirinya  tidak 
kemari saja. Demikian pula Yan Lam-hwi, dia kelihatan juga 
amat menyesal.
Pada saat itulah terdengar suara "Blam" yang cukup keras, 
pintu  besi  setebal  itu  telah  menutup  sendiri.  Menyusul 
terdengar  pula  suara  "Klik,  klik,  klik"  secara  beruntun  tiga 
belas  kali,  tiga  belas  lubang  kunci  di  sebelah  luar  ternyata 
sudah digembok.
Berubah air muka Bing-gwat-sim.
Yan Lam-hwi juga menghela napas, katanya, "Bukan saja 
tidak  pantas  kami  kemari,  juga  tidak  patut  tahu  rahasia  ini, 
lebih  tidak  pantas  lagi  secara  sembrono  main  terobos  di 
hadapan arwah para Cianpwe yang menghuni tempat ini, kami 
memang patut mampus."
Jiu Cui-ing mendengarkan dengan tenang, tiada perubahan 
di wajahnya.
Yan Lam-hwi berkata pula, "Tapi jiwaku ini sudah menjadi 
milik Pho Ang-soat, Pho Ang-soat tidak pantas ikut mati sini."
"Aku  juga  tidak  harus  mati,"  jengek  Jui  Cui-jing  tiba-tiba. 
Yan Lam-hwi melotot dengan kaget. Bing-gwat-sim menyela, 
"Ini bukan kehendakmu?" 
"Bukan," sahut Jiu Cui-jing tegas.
Bing-gwat-sim  makin  kaget,  serunya,  "Lalu  siapa  yang 
mengunci  pintu  dari  luar?  Tempat  serahasia  ini,  orang  luar 
mana bisa masuk kemari?"
"Sedikitnya  masih  ada  enam  orang,"  sahut  Jiu  Cui-jing. 
"Tapi mereka adalah sahabatmu."
"Aku pernah bilang, tidak sedikit manusia di dunia ini yang 
mau menjual kawan."
Sekarang  baru  Pho  Ang-soat  bersuara,  "Satu  di  antara 
keenam orang itu pasti adalah pengkhianat."
"Siapa yang kau maksud?" tanya Bing-gwat-sim.
Pho  Ang-soat  tidak  menjawab,  malah  bertanya  pada  Jiu 
Cui-jing,  "Yang  membuka  kunci  pertama  apakah  Kongsun 
To?"
Jiu Cui-jing mengangguk, mulutnya mengiakan.
Baru sekarang Bing-gwat-sim bertanya, "Apakah Put-si-sin-
eng  (elang  sakti yang  tidak  pernah mati)  Kongsun To  yang 
sudah hampir mati beberapa kali itu?"
Jiu Cui-jing mengiakan saja.
Yan  Lam-hwi  bertanya,  "Lawan  duelnya  yang  terakhir 
bukankah Kongcu Gi?"
"Betul," sahut Jiu Cui-jing.
Yan  Lam-hwi  memandang  Bing-gwat-sim,  Bing-gwat-sim 
menatap Pho Ang-soat, ketiga orang ini terkancing mulutnya. 
Soal ini tidak perlu ditanyakan lagi.
Bahwa Kongsun To lolos dari tangan Kongcu Gi, kejadian 
itu memang sudah dianggap kejadian ajaib dunia persilatan. 
Baru  sekarang  mereka  sadar  kejadian  itu  bukan  lagi  ajaib, 
karena  Kongcu  Gi  sengaja  mengampuni  jiwa  Kongsun  To, 
sekaligus  merangkulnya  untuk  dijadikan  kambrat  di  dalam 
melaksanakan tipu dayanya.
Sekarang persoalan terpenting satu-satunya adalah adakah 
jalan keluar kedua dari tempat ini?
"Tidak ada," jawaban Jiu Cui-jing cekak tapi jelas, gudang 
harta mana mungkin dibuatkan pintu kedua?
Setelah menghela napas panjang pula, sekujur tubuh Bing-
gwat-sim  terasa  lemas  lunglai,  arwahnya  seolah-olah 
meninggalkan jazad kasarnya.
Kamar  ini  ditutup  oleh  daun  pintu  besi  setebal  tiga  kaki 
dengan  dinding tebal  enam kaki,  peduli manusia mana  pun 
yang terkurung di dalam kamar batu seperti ini, satu hal yang 
masih bisa mereka lakukan adalah menunggu kematian.
Mendadak Yan Lam-hwi bertanya pula, "Apakah di sini ada 
arak?"
"Ada,"  sahut  Jiu  Cui-jing.  "Hanya  seguci,  seguci  arak 
beracun."
"Arak beracun juga mending daripada tiada arak?" ujar Yan 
Lam-hwi  tertawa.  Bagi  seorang  yang  kerjanya  hanya 
menunggu  kematian,  apa  salahnya  minum  arak  beracun? 
Maka  Yan  Lam-hwi  menemukan  guci  arak  itu,  dengan 
bernafsu  dia  membuka  tutupnya  yang  tersegel,  mendadak 
sinar golok berkelebat, guci arak itupun hancur.
Pho  Ang-soat  berkata  dingin,  "Jangan  lupa  jiwamu  ini 
milikku, mau mati akulah yang harus turun tangan."
"Kapan  kau  akan  turun  tangan?"  tanya  Yan  Lam-hwi. 
"Kalau  betul-betul  sudah  putus  asa,"  sahut  Pho  Ang-soat. 
"Sekarang masih adakah harapan hidup bagi kita?" 
"Bila manusia masih hidup, maka harapan itu tetap ada." 
Yan Lam-hwi tertawa lebar, serunya, "Bagus, baiklah, selama 
aku masih hidup, tidak akan kulupakan nasehatmu ini."
Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi, perhatiannya tertuju 
ke  rak-rak  senjata  yang berada  di  empat  penjuru  itu,  entah 
apa  sebabnya  dia  kelihatan  tertarik  sekali.  Perlahan  dia 
beranjak ke sana, setiap senjata pasti diperiksa dan ditelitinya 
dengan seksama.
ooooOOoooo
Kamar  batu  yang  lembab  basah  ini  lambat-laun  terasa 
pengap  dan  gerah,  Jiu  Cui-jing  meniup  padam  tiga  lentera, 
mendadak dilihatnya Pho Ang-soat menarik keluar sebatang 
Cu-coat-pian (ruyung ruas bambu)  dari rak  senjata. Ruyung 
tiga ruas seperti bambu ini terbuat dari baja murni, bobotnya 
teramat  berat,  namun  bentuknya  kelihatan  tidak  seberat 
bobotnya.
Lama  Pho  Ang-soat  menimang-nimang  ruyung  itu, 
tanyanya kemudian, "Darimanakah senjata ini?"
Jiu Cui-jing tidak lantas menjawab,  dari dalam almari dia 
mencari sejilid buku catatan yang cukup tebal, setelah meniup 
debunya, mulai dia membalik halaman demi halaman sampai 
belasan  lembar,  baru  perlahan  dia  bersuara,  "Itulah 
peninggalan Hay Tang-kay."
"Hay Tang-kay dari Pi-lik-tong di Kanglam?" Pho Ang-soat 
menegas.
Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, "Senjata api dari Pi-lik-
tong  menjagoi  segala  macam  senjata  rahasia  di  dunia  ini, 
namun sejak Khong-jiok-ling muncul dalam percaturan dunia 
persilatan,  perbawa  mereka  semakin  pudar  dan  menurun, 
karena itu Hay Tang-kay mengumpulkan kambrat-kambratnya 
menyerbu  kemari,  maksudnya  hendak  menghancurkan 
Khong-jiok-san-ceng,  sayang  sekali  sebelum  dia  bertindak, 
jiwanya sudah melayang oleh bulu merak."
Mendadak  bercahaya  mata  Pho  Ang-soat,  tanyanya 
menegas,  "Dia  belum  turun  tangan  sudah  mati  di  bawah 
Khong-jiok-ling."
Jiu  Cui-jing  manggut-manggut,  katanya,  "Kejadian  meski 
sudah seratus tahun yang lampau, namun di dalam buku ini 
peristiwa itu dicatat dengan jelas."
Bing-gwat-sim  berkata,  "Pernah  juga  aku  mendengar 
tentang Bu-lim Cianpwe ini, kuingat nama julukannya adalah 
Pi-lik-pian (ruyung geledek)."
Perlahan  Pho  Ang-soat  mengangguk,  kembali  dia  mulai 
beranjak menyusuri dinding. Tangan kanan memegang golok, 
tangan kiri menggenggam ruyung, namun matanya terpejam, 
gayanya berjalan meski lucu, rona mukanya justru setenang 
padri  agung  yang  sedang  semadi.  Semua  menahan  napas, 
mengawasi  gerak-geriknya,  keheningan  mencekam  seluruh 
kamar batu ini.
Mendadak  sinar  golok  berkelebat  pula,  cahayanya 
kelihatan lebih terang dari tabasan di waktu menghancurkan 
guci di tangan Yan Lam-hwi tadi. Jelas untuk bacokan kali ini 
Pho Ang-soat telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, walau 
matanya  terpejam,  goloknya  ternyata  tepat  menusuk  celah-
celah  batu  di  atas  dinding.  Dia  tidak  melihat  dengan  mata, 
namun melihat dengan hati, dengan perasaan, dengan insting. 
Sekali  tusuk,  seluruh  batang  goloknya  ternyata  amblas  ke 
dalam dinding.
Pho  Ang-soat  menarik  napas  panjang,  golok  segera 
dicabut,  setelah  dia  ganti  Cu-coat-pian  di  tangan  kirinya 
sekarang yang menusuk, amblas pula ke lubang dimana tadi 
goloknya membuat lubang di atas dinding.
Pada saat itulah terdengar ledakan menggelegar, Cu-coat-
pian ternyata meledak di dalam celah-celah dinding. Dinding 
yang dibangun dengan batu-batu persegi sebesar enam kaki 
itu ternyata berguguran dan ambruk oleh getaran dahsyat dari 
ledakan itu.
Lekas  sekali  keadaan  kembali  menjadi  tenang,  sepi 
lengang,  dinding  yang  semula  rapi  kini  sudah  ambrol  dan 
bolong.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, dengan 
suara tawar dia berkata, "Senjata api buatan Pi-lik-tong dari 
Kanglam memang nyata tiada bandingannya di dunia."
Jiu   Cui-jing,   Bing-gwat-sim   dan   Yan   Lam-hwi 
mengawasinya  diam  saja,  sorot  mata  mereka  diliputi  rasa 
kagum dan hormat.
"Darimana  kau  tahu  kalau  di  dalam  Cu-coat-pian  ada 
tersimpan bahan peledak?"
"Aku tidak tahu," sahut Pho Ang-soat. "Aku hanya merasa 
bobotnya tidak semestinya seringan itu, oleh karena itu aku 
menduga  di  dalamnya  tentu  kosong,  kebetulan  aku  teringat 
pula pada nama Hay Tang-kay."
Pertempuran  besar  yang  terjadi  waktu  Hay  Tang-kay 
bersama  kawan-kawannya  menyerbu  Khong-jiok-san-ceng 
memang terkenal sebagai pertempuran paling besar di Bu-lim 
kala itu. Seluruhnya ada tujuh puluh dua pertempuran dahsyat 
yang terkenal di kalangan persilatan masa itu, paling sedikit 
ada tujuh kali terjadi di Khong-jiok-san-ceng.
Kenyataan  sampai  sekarang  Khong-jiok-san-ceng  masih 
berdiri sampai sekarang, masih jaya dan digdaya. Akan tetapi 
begitu mereka keluar dari lubang bekas ledakan itu,  segera 
mereka melihat Khong-jiok-san-ceng yang tak pernah ambruk 
meski sudah mengalami beberapa kali bencana ini sekarang 
sudah menjadi puing-puing yang rata dengan bumi, sembilan 
lapis bangunan beruntun, tiga puluh enam gedung berloteng 
seluas  delapan  puluh  li,  seluruhnya  sudah  terbakar  habis 
tinggal puing-puing saja yang masih mengepulkan asap.
Aliran  darah  masih  belum  kering,  Jiu  Cui-jing  sekarang 
sedang berdiri di antara genangan darah tak jauh dari puing-
puing itu.
Bangunan  seluas  delapan  puluh  li  jauhnya  yang  sudah 
bertahan  selama  tiga  puluh  turunan  dengan  lima  ratus  jiwa 
manusia, kini sudah hancur lebur. Hancur secara aneh, lenyap 
secara mesterius.
Jiu  Cui-jing  tidak  bergerak,  juga  tidak  mengucurkan  air 
mata,  dendam  kesumat  ini  sudah  tidak  bisa  ditawarkan 
dengan  hanya  cucuran  air  mata.  Sekarang  yang  terpikir 
hanyalah ingin mengucurkan darah.
Sayang  dia  tidak  melihat  dan  tidak  tahu  siapa  penyebab 
bencana ini.
Cuaca  buruk,  tanah  seluas  ribuan  li  kecuali  mereka 
berempat, seolah-olah tiada kehidupan lain.
Yan Lam-hwi berdiri jauh di sana, sikapnya kelihatan lebih 
menderita dan duka daripada Jiu Cui-jing.
Sudah  lama  Pho  Ang-soat  menatapnya,  katanya  dingin, 
"Kau  sedang  menyesal  dan  bertobat,  semua  adalah  gara-
garamu sehingga bencana ini terjadi?"
Yan Lam-hwi manggut-manggut, beberapa kali ingin bicara 
namun  selalu  batal,  kontradiksi  dalam  sanubarinya  sedang 
bergelut  dengan  batinnya  sehingga  dia  merasa  amat 
menderita.  Akhirnya  dia  tidak  tahan  dan  tercetuslah 
perkataannya, "Inilah yang ketiga."
"Yang ketiga?" Pho Ang-soat menegas.
"Pertama  di  Hong  hong-kip,  kedua,  di  taman  kembang 
keluarga Ni dan sekarang adalah yang ketiga," Yan Lam-hwi 
bicara  cepat  karena  dia  sudah  berkeputusan  untuk 
membeberkan segala rahasia ini secara terbuka.
"Di dunia sekarang ini, orang yang memiliki kungfu paling 
tinggi bukan kau, tapi adalah Kongcu Gi," dia bicara secara 
jujur,  "golokmu  memang  sudah  hampir  mencapai  tiada 
taranya, tapi ini mempunyai satu ciri."
"Dan kau?" Pho Ang-soat balas bertanya.
"Yang kuyakinkan adalah Sim-kiam (hati pedang), Gi-kiam 
(arti pedang), dimana hati mempunyai selera, apa pun tiada 
yang dapat membendungnya. Itulah salah satu jenis puncak 
kesempurnaan  dari  ilmu  pedang,  jika  latihan  berhasil 
mencapai  taraf  yang  tiada  taranya,  maka  ilmunya  itu  tidak 
akan mendapat tandingan di seluruh jagat."
"Dan kau gagal melatihnya?"
"Ilmu  pedang  itu  laksana  sebuah  pintu  yang  mempunyai 
tiga  belas  kunci...  jelas  aku  sudah  memperoleh  seluruh 
kuncinya, tapi setelah aku membuka kunci kedua belas, kunci 
terakhir  justru  tidak  kutemukan,"  dengan  tertawa  getir  Yan 
Lam-hwi berkata lebih lanjut, "oleh karena itu, setiap kali turun 
tangan,  aku  selalu  merasa  tenaga  tidak  memadai  dengan 
hasrat  keinginan.  Ada  kalanya  sekali  tusuk  jelas  telak 
mengenai  sasaran,  namun  pada  detik  terakhir  ternyata 
meleset hampir satu dim."
"Bagaimana dengan Kongcu Gi?" tanya Pho Ang-soat.
"Bukan saja kungfunya sudah sempurna, malah tiada titik 
kelemahan  yang  dapat  dibuat  sasaran.  Di  kolong  langit  ini, 
mungkin hanya ada dua benda yang dapat menandingi dia."
"Pertama ialah Khong-jiok-ling?" Pho Ang-soat menegas.
"Kedua ialah Thian-te-kiau-ceng-im-yang-tay-pi-bu."
Dalam  buku  ini  tercatat  tujuh  jenis  kungfu  yang  paling 
hebat,  jahat  dan  lihai  sejak  zaman  dulu  hingga  sekarang. 
Konon waktu buku ini selesai ditulis, dari langit hujan darah, 
tengah malam setan pun menjerit tangis, penulisnya setelah 
mengakhiri huruf terakhir juga mati dengan tumpah darah.
Sudah tentu Pho Ang-soat juga pernah mendengar legenda 
ini.
"Tapi  setelah  buku  itu  berhasil  ditulis  lantas  lenyap  tak 
keruan  parannya,  bahwasanya  tiada  kaum  persilatan  di 
Kangouw yang pernah melihat atau membacanya."
Yan Lam-hwi berkata, "Memang sudah lama buku ini putus 
turunan,  artinya  tidak  keruan  parannya,  tapi  belakangan  ini 
memang betul-betul telah muncul."
"Muncul dimana?" Pho Ang-soat menegas.
"Di Hong-hong-kip."
Setahun yang lalu dia pun pernah ke Hong-hong-kip untuk 
mencari  buku  itu,  kebetulan  waktu  itu  Pho  Ang-soat  juga 
berada di sana.
"Waktu  itu  aku  juga  mengira  kehadiranmu  di  sana  juga 
lantaran  buku  itu,  maka  aku  beranggapan  bahwa  kau  juga 
sudah  mau  diperalat  serta  menjadi  antek  Kongcu  Gi,  maka 
aku tidak segan turun tangan kepadamu."
Tapi dia yang kalah, kalau dia ingin membunuh Pho Ang-
soat,  Pho  Ang-soat  justru  tidak  membunuhnya,  karena  itu 
terjadilah rangkaian cerita yang berkepanjangan ini.
"Setelah pertempuran dengan kau itu, hati luluh semangat 
lumpuh,  dua  jam  kemudian  baru  aku  putar  balik  ke  Hong-
hong-kip."
Waktu itu Hong-hong-kip ternyata sudah menjadi kota mati, 
Kongcu Gi telah menyikat dan membantai seluruh penghuni
kota  kecil  itu,  agaknya  dia  pun  tidak  berhasil,  sehingga 
terjadilah peristiwa kedua yang mengerikan.
"Pagi  hari  itu,  empat  di  antara  Ni-si-jit-kiat  (tujuh  ksatria 
keluarga  Ni)  juga  berada  di  Hong-hong-kip,  mereka  datang 
secara  terburu-buru  dan  pergi  dengan  tergesa-gesa, 
sebetulnya  tidak  menarik  perhatian  orang  lain,  namun  aku 
tidak tahan untuk tidak menemui mereka, ingin aku mencari 
berita,  tak  nyana  karena  kedatanganku,  terjadi  perubahan 
pada  taman  besar  yang  tersohor  sejak  tiga  belas  turunan 
kakek-moyang mereka, taman itu telah hancur-lebur menjadi 
tempat  yang  tak  berguna  lagi."  Sesaat  dia  berpikir,  lalu 
menambahkan, "Pada hari itu juga, pertama kali aku bertemu 
dengan  Bing-gwat-sim,  waktu  itu  dia  baru  pindah  ke  sana 
belum genap lima hari."
Mengepal kedua tinju Pho Ang-soat, agak lama kemudian 
dia  berkata  perlahan,  "Walau  sampai  sekarang  kau  sendiri 
belum  pernah  melihat  buku  Tay-pi-bu  itu,  namun  akibatnya 
justru teramat fatal, entah berapa jiwa dan harta telah hancur 
karenanya."
Yan Lam-hwi juga mengepal tinju, desisnya geram, "Oleh 
karena  itu  aku  harus  mengganyang  Kongcu  Gi,  untuk 
membalaskan sakit hati para korban itu."
"Karena itu pula dia pun harus membunuhmu."
Mereka tidak melanjutkan pembicaraan ini, karena Jiu Cui-
jing sudah beranjak perlahan mendekat. Wajahnya tetap tidak 
menunjukkan  perasaan  apa-apa,  demikian  pula  sepasang 
matanya  yang  semula  tajam  berkilat  kelihatan  hambar  dan 
lengang.
Berdiri  di  hadapan  mereka,  lama  dia  diam  saja  seperti 
patung, lalu dengan suara seperti mengigau berkata, "Seluruh
warga  keluarga  Jiu  sudah  mati,  namun  mayat  mereka 
seluruhnya lengkap, hanya kurang satu saja."
"Kongsun To?" Pho Ang-soat menegas.