cersil- Peristiwa Bulu Merak

"Lho, kenapa?"
"Karena letak yang paling menakutkan dari pedang ini
bukan pada mata pedangnya, tapi terletak pada sarung
pedangnya."
Kongsun To tidak mengerti, "Apakah sarung pedang lebih
tajam dari mata pedang?"
Yan Lam-hwi mengelus sarung pedangnya yang merah,
katanya, "Tahukah kau dengan apa aku mewarnai sarung
pedangku ini?"
Kongsun To tidak tahu.
"Dengan getah mawar darah."
Agaknya Kongsun To juga tidak tahu apa itu mawar darah,
bahwasanya belum pernah dia mendengar jenis kembang ini.
Maka Yan Lam-hwi menerangkan, "Mawar darah adalah
kembang mawar yang selalu kusiram dengan lima jenis darah
beracun."
"Lima jenis darah beracun? Jenis panca bisa apakah itu?"
"Jit-jun-im-coa, Pek-coat-bu-siong, Jian-lian-ham-hian, Jik-
hwe-tok-koat."
"Dan satu lagi?"
"Satu lagi ialah darah dari durjana yang khianat."
Kali ini Kongsun To ternyata tidak bisa tertawa lagi.
 
Yan Lam-hwi berkata lebih lanjut, "Lima jenis kejahatan
itulah yang akan ditumpas oleh pedang mawar, jika
berhadapan dengan orang yang berbakti, pembesar setia,
ksatria dan pahlawan bangsa, pedang ini justru tidak mampu
dikembangkan."
"Lalu perbawa sarung pedang?" tanya Kongsun To.
Yan Lam-hwi tidak menyangkal, "Bila berhadapan dengan
kelima bisa, sukma kembang dari mawar darah akan hidup di
atas pedang." Dia menatap Kongsun To, lalu meneruskan,
"Bila kau salah satu dari panca bisa itu, kau akan mencium
suatu aroma wangi secara aneh, maka sukma kembang dari
mawar darah secara di luar sadarmu akan mencabut
sukmamu."
Kongsun To tertawa lebar, codet bekas bacokan di
mukanya tampak berkerut laksana ulat yang meringkel, seperti
ular yang saling lilit.
"Kau tidak percaya?" Yan Lam-hwi mengancam.
"Kalau pedangmu ada sukma kembang, gantolanku juga
ada."
"Ada apa?"
"Setan gentayangan perenggut sukma," gelak tawanya
berderai seram, wajahnya menyeringai sadis, "Entah berapa
banyak setan gentayangan hasil gantolanku ini, kini
seluruhnya sedang menunggu aku mencarikan korban
pengganti mereka, supaya mereka lekas menitis kembali."
"Aku percaya, aku pun bisa membayangkan, yang paling
mereka harapkan untuk ditemukan adalah sukmamu."
 
"Kenapa tidak segera kau turun tangan?" tantang Kongsun
To. "Sekarang aku sudah turun tangan."
Tawa Kongsun To seketika sirna, ular-ular di kulit mukanya
itu seperti mendadak dicekik lehernya, dan sekali betot
jiwanya seketika melayang.
Pedang Yan Lam-hwi memang sudah mulai bergerak,
gerakannya amat lambat, gerakannya seperti membawa irama
yang aneh menakjubkan, seolah-olah kelopak kembang
mawar yang bertaburan ditiup angin musim semi.
Gerakan pedang ini bukan saja tidak tepat, juga tidak
punya kecepatan yang menggiriskan, seluruhnya tidak
memperlihatkan setitik pun perbawanya yang mampu
membunuh jiwa orang.
Kongsun To tertawa dingin, gantolannya menyerang,
serangannya cepat dan tepat. Pertempuran besar kecil
menentukan mati-hidup selama beberapa tahun ini
menjadikan dia menyederhanakan gantolannya, maka setiap
kali menyerang dia yakin berhasil.
Tapi sekali ini, serangan gantolannya itu justru tergulung ke
dalam irama pedang mawar yang mengandung nada aneh
mengalun, seumpama kulit kerang yang tajam tergulung
ombak dan tenggelam di dalam lautan. Bila ombak menyurut,
maka perbawa serangannya pun sirna tak berbekas. Maka
hidungnya lantas mengendus serangkum bau wangi yang
magis, pandangannya mendadak berubah serba merah segar,
kecuali warna merah yang menyala itu, tiada warna lain,
seperti tabir merah yang mendadak terbentang di depan
matanya.
 
Jantungnya bergetar, dengan gantolan di tangan, dia
menyingkap tabir merah itu, lalu menusuknya agar berlubang
bolong, namun reaksinya sudah terlalu lamban, gerakannya
berat. Ketika tabir merah itu sirna, pedang mawar sudah
mengancam tenggorokannya.
Baru sekarang dia merasa tenggorokannya mendadak
kering, mulutnya getir, rasa letih juga merangsang sekujur
badan, begitu lelahnya sampai badan lemas dan hampir
muntah-muntah.
"Trang", gantolannya jatuh di tanah.
Nyo Bu-ki menarik napas panjang, jelas barusan dia pun
seperti mengalami sendiri apa yang dirasakan oleh Kongsun
To, akan tekanan misterius yang terpancar dari pedang
mawar. Empat puluh tahun dia belajar dan meyakinkan
pedang, ternyata tidak tahu dan tak mampu melihat jelas ilmu
pedang apa yang dikembangkan Yan Lam-hwi.
Orang baju putih juga menghembus napas pendek,
gumamnya, "Inikah Sin-kiam (pedang hati)? Betul-betul
tumbuh sukma kembang di atas pedang?"
Yan Lam-hwi berkata, "Belum lagi tumbuh, hanya siuman
sekilas saja," ujar Yan Lam-hwi.
"Jika betul-betul tumbuh?" tanya orang baju hijau.
Sikap Yan Lam-hwi tampak serius, katanya perlahan,
"Sukma kembang hidup, keinginan pun pasti tercapai,
umpama harus mati, aku pun boleh berlega hati."
Orang baju hijau berkata, "Bila sukma kembang tumbuh,
pasti ada orang mati?"
 
"Ya, pasti mati."
"Siapa yang mati?"
"Sedikitnya ada dua orang, yang satu aku, seorang lagi
adalah dia tidak melanjutkan, orang baju hijau juga tidak
mendesak.
Kedua orang ini mendadak menampilkan rona aneh di
muka mereka, mendadak keduanya tertawa bersama.
Yan Lam-hwi tertawa gembira, pedang mawar tetap
mengancam tenggorokan Kongsun To, dia tahu, segera dia
akan bertemu dan melihat Co Ciok-cin.
"Siapkan kereta dan kedua, suruh orangmu mengantar
nona Co naik kereta, lalu antar kami keluar."
Syarat yang diajukan diterima oleh Kongsun To.
Dengan tersenyum lebar Bing-gwat-sim berdiri, dalam hati
dia menghela napas, syukur sekali mereka tidak gagal.
Siau Si-bu tetap membersihkan kuku jarinya, jari-jari
tangannya tetap tenang, tidak goyah, sorot matanya yang
semula dingin ternyata sudah menampilkan rasa gelisah.
Karena Pho Ang-soat terus mengawasinya, di waktu Yan
Lam-hwi bergebrak, sorot matanya tidak berkedip, berpaling
pun tidak. Kecuali sepasang tangan pemuda ini, seolah-olah
tiada sesuatu persoalan di dunia ini yang patut dipandangnya.
Otot hijau sudah merongkol di punggung tangan Siau Si-bu,
seakan-akan dia sudah mengerahkan banyak tenaga baru
mempertahankan ketenangan kedua tangannya itu. Gerak-
 
geriknya masih lamban, gayanya pun tidak berubah, bisa
berbuat seperti apa yang dilakukan sekarang sebetulnya juga
bukan soal sepele.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Tanganmu amat tenang
dan mantap."
"Selamanya tidak pernah goyah," tawar suara Siau Si-bu.
"Gerakanmu pasti juga cepat, dan lagi begitu pisau lepas dari
tangan, kemampuan pisau itu sendiri masih mengandung
perubahan."
"Kau bisa melihatnya?"
"Kulihat kau melempar pisau dengan tiga jari tanganmu,
maka di atas mata pisaumu itu kau tinggalkan tenaga pusaran,
aku juga dapat melihat kau melempar pisau dengan tangan
kiri mengarah ke samping baru menyerang sasaran."
"Bagaimana kau bisa melihatnya?"
"Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirimu amat
besar tenaganya."
"Pandangan tajam, patut dipuji," dingin nada Siau Si-bu,
namun wajahnya tampak kelam.
"Pisau bagus," puji Pho Ang-soat.
"Memang pisau bagus," jumawa sikap Siau Si-bu.
"Walau pisaumu bagus, tapi masih bukan tandingan Yap
Kay."
Gerak-gerik Siau Si-bu mendadak berhenti.
 
Akhirnya Pho Ang-soat pun berdiri, katanya, "Bila pisau
terbang Yap Kay disambitkan, di dunia ini paling hanya
seorang yang dapat menggagalkannya."
Merongkol pula otot di punggung tangan Siau Si-bu,
desisnya tajam, "Bagaimana pisauku?"
Tawar suara Pho Ang-soat, "Dalam rumah ini sedikitnya
ada tiga orang yang dapat menggagalkan serangan pisaumu."
"Kau salah satu di antaranya?"
"Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?" tegas
jawaban Pho Ang-soat, perlahan dia membalik badan, tanpa
berpaling dia beranjak keluar.
Siau Si-bu mengawasi dia keluar, ternyata dia tidak
bergerak, juga tidak bicara. Pisau masih berada di tangan,
namun pisaunya pasti tidak sembarangan disambitkan.
Dia tertawa dingin sambil mengawasi tapak kaki di atas
tanah.
Tapak yang ditinggalkan kaki Pho Ang-soat cukup dalam,
waktu dia melangkah keluar dari pintu itu, seluruh kekuatan
badannya telah terpusatkan. Karena dia harus memusatkan
seluruh tenaganya, bersiap menyambut timpukan pisau Siau
Si-bu, tapi pisau Siau Si-bu tidak disambitkan.
Ketika Pho Ang-soat berada di luar pintu, dia menengadah
menghela napas panjang, kelihatannya dia amat kecewa,
bukan saja kecewa, juga mendelu.
Mendadak disadarinya bahwa pemuda ini jauh lebih
menakutkan dari musuh mana pun yang pernah dihadapinya.
 
Tadi dia sudah tahu gaya mempermainkan pisau orang, maka
dia memancingnya supaya pemuda ini turun tangan. Kalau
sekarang dia turun tangan, dia yakin dirinya masih mampu
menyambut serangannya.
Siapa tahu ketenangan pemuda ini ternyata jauh lebih
mantap dari pisau di tangannya itu, lebih menakutkan pula.
"Tiga tahun lagi, bila dia turun tangan, apakah aku masih
mampu menyambut serangannya?" batin Pho Ang-soat.
Di depan berkumandang ringkik kuda, pekarangan kecil ini
masih dalam suasana tenang, mendadak gemuruh emosi Pho
Ang-soat, ingin rasanya dia berbalik membunuh pemuda itu.
Tapi dia tidak berpaling, perlahan dia melangkah keluar.
Yang berjalan paling depan adalah Yan Lam-hwi dan
Kongsun To, pedang mawar masih mengancam tenggorokan
Kongsun To, Yan Lam-hwi menghadap, ke arahnya,
selangkah demi selangkah mundur ke belakang.
Kongsun To justru tidak mau berhadapan muka, matanya
dipejamkan, keadaannya seperti seorang yang menggiring si
buta dengan sebatang bambu.
Tapi si buta yang satu ini sungguh amat berbahaya, sedikit
lena pun tidak boleh, karena sekilas saja akibatnya bisa fatal,
maka dia tidak boleh mengendorkan kewaspadaan.
Yang terakhir keluar dari kamar semadi adalah Bing-gwat-
sim, baru saja hendak mempercepat langkah menyusul Pho
Ang-soat, mendadak Nyo Bu-ki muncul di sampingnya,
katanya, "Tahukah kau tempat apa di belakang tembok itu?"
Bing-gwat-sim menggeleng.
 
Nyo Bu-ki tertawa, katanya, "Segera juga kau akan tahu."
Melihat orang ini tertawa, tangan Bing-gwat-sim berkeringat
dingin.
Nyo Bu-ki malah menyurut mundur, dengan tersenyum dia
mengangguk, pada saat itulah dari balik tembok pendek sana
sekaligus muncul sembilan orang. Sembilan orang tiga belas
jenis Am-gi, setiap jenis sedikitnya ada tiga buah, suara
jepretan gendewa atau bekerjanya alat-alat rahasia seperti
berpadu, tiga puluhan bintik sinar dingin selebat hujan
memberondong datang.
Reaksi Bing-gwat-sim tidak lamban, begitu jepretan
gendewa berbunyi, dia pun sudah mengembangkan
Ginkangnya.
Tabir cahaya golok datang laksana kilat cepatnya telah
membantu merontokkan sebagian besar Am-gi yang
menyerang. Bing-gwat-sim kembangkan gerakannya berkelit
ke kiri, sehingga sisa Am-gi yang masih menyambar tiada
yang mengenai tubuhnya, baru saja dia menghela napas lega,
sebilah pedang tahu-tahu sudah menusuk ketiak kanannya,
hampir dia tidak merasakan sakit sama sekali.
Mata pedang dingin dan runcing, dia hanya merasa
tubuhnya mendadak menjadi dingin, dilihatnya Pho Ang-soat
yang pucat itu mendadak menampilkan mimik yang aneh dan
lucu, mendadak tangannya diulur menarik dirinya. Kejap lain
dia sudah jatuh ke dalam pelukan Pho Ang-soat.
Nyo Bu-ki menggunakan sebatang pedang Siong-bun-ko-
kiam, pedangnya itu sekarang sudah terlolos dari sarungnya,
ujung pedang masih meneteskan darah. Matanya menatap
 
darah di ujung pedangnya, wajahnya mendadak berubah tidak
berekspresi sama sekali.
Sekali sergap pasti kena.
Dia sudah memperhitungkan bahwa Pho Ang-soat pasti
mencabut golok sudah diperhitungkan ke arah mana Bing-
gwat-sim akan menyingkir, maka di sanalah pedangnya sudah
menunggu, setiap gerakan, setiap posisi yang paling ruwet
sekalipun sudah berada dalam perhitungannya yang cermat,
dia sudah memperhitungkan satu kali tusuk pasti kena.
Sembilan orang yang barusan muncul dari balik tembok
pendek kini sudah tidak kelihatan lagi, Pho Ang-soat tidak
mengejar mereka, hanya memandang dingin kepada Nyo Bu-
ki.
Yan Lam-hwi juga sudah berhenti, tangannya yang
memegang pedang tampak gemetar.
Mendadak Nyo Bu-ki berkata, "Lebih baik kau berhati-hati,
jangan kau melukainya, jika dia mati, Co Giok-cin juga pasti
akan mati."
Yan Lam-hwi mengertak gigi, desisnya, "Kau ini seorang
jago pedang yang kenamaan, tempat ini adalah biara
tetirahmu, dengan cara keji dan kotor kau membokong serta
melukai seorang perempuan, sebetulnya kau ini barang apa?"
Tawar suara Nyo Bu-ki, "Aku adalah Nyo Bu-ki, aku ingin
membunuhnya."
Orang baju hijau berdiri jauh di samping pintu kamar
semadi, katanya setelah menghela napas, "Jika ingin
 
membunuh orang, selalu tanpa pantangan, Nyo Bu-ki ternyata
memang Nyo Bu-ki."
Kata Nyo Bu-ki pula, "Kalau sekarang aku tidak
membunuhnya, kesempatan baik ini terabaikan begini saja,
kelak mungkin tiada kesempatan kedua."
Pho Ang-soat menatapnya, satu tangan menggenggam
golok, tangan yang lain memeluk Bing-gwat-sim yang pingsan,
terasa olehnya badan Bing-gwat-sim sudah mulai dingin.
"Kalian ingin menuntut balas kematiannya?" Nyo Bu-ki
menantang.
Sepatah kata pun Pho Ang-soat tidak bicara, dia mulai
mundur ke belakang.
Yan Lam-hwi mengawasi Bing-gwat-sim dalam pelukan
Pho Ang-soat, lalu menatap Kongsun To yang terancam di
ujung pedangnya.
Kongsun To tetap memejamkan mata, mukanya yang
penuh codet mirip selembar topeng.
Mendadak Yan Lam-hwi juga mulai mundur.
Ternyata Nyo Bu-ki tidak merasa heran, katanya tawar,
"Kereta kuda sudah disiapkan, Co Giok-cin sudah menunggu
di atas kereta, semoga kalian selamat sepanjang jalan."
Yan Lam-hwi berseru, "Kau tidak kuatir setelah naik kereta
aku akan membunuh Kongsun To?"
Nyo Bu-ki berkata, "Kenapa aku harus takut? Mati hidup
Kongsun To ada sangkut-paut apa dengan diriku?" Mendadak
 
dia membalik tubuh terus beranjak ke arah kamar semadi,
waktu tiba di depan pintu dia menarik orang baju hijau,
katanya pula, "Hayolah kita bermain catur lagi."
Orang baju hijau segera mengangguk, katanya sambil
tersenyum, "Aku kemari memang ingin main catur."
Kereta kuda memang sudah lengkap tersedia.
Seorang nyonya muda yang hamil, tengah duduk di pojok
sambil menunduk sesenggukan.
Pho Ang-soat membawa Bing-gwat-sim naik ke atas kereta,
pedang mawar masih mengancam tenggorokan Kongsun To.
"Buka matamu," hardik Yan Lam-hwi beringas.
Kongsun To segera membuka mata.
Yan Lam-hwi menatapnya, katanya penuh kebencian,
"Sebetulnya ingin aku membunuhmu."
"Tapi kau tidak akan turun tangan," kalem suara Kongsun
To, "karena kau adalah Yan Lam-hwi yang boleh dipercaya."
Lama Yan Lam-hwi menatapnya pula, mendadak kakinya
melayang menendang perutnya.
"Huk", Kongsun To segera meliuk badan, perlahan
badannya menjungkir roboh seperti udang kepanasan. Air
mata, ingus dan keringat dingin bercucuran bersama.
Tanpa memandangnya lagi Yan Lam-hwi berputar
menghadap sais kereta, katanya, "Lajukan kereta ke depan,
sekejap pun tidak boleh berhenti, jika kau berani main gila,
jangan kau lupa bahwa pedangku berada di belakangmu."
 
Kabin kereta besar dan luas, tempat duduknya juga empuk,
sais yang pegang kendali juga ahli pada bidangnya, kereta
kuda ini memang cukup menyenangkan, siapa pun yang
duduk di dalam kereta ini akan merasa nyaman, tapi sekarang
mereka yang berada di dalam kereta tiada yang merasa
gembira.
Mendadak Pho Ang-soat berkata, "Seharusnya aku sudah
membunuh Siau Si-bu."
"Tapi kau tidak turun tangan," kata Yan Lam-hwi. "Karena
aku agak kuatir, maka "Maka kau terlambat."
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, "Kalau mau
membunuh orang, tanpa pantangan kesempatan diabaikan,
selamanya takkan kembali pula." Perkataannya perlahan,
setiap patah katanya seperti dikunyah lebih dulu.
Lama Yan Lam-hwi menepekur, baru kemudian dia
berkata, "Kesempatanku untuk membunuh Kongsun To
mungkin juga susah kucari lagi."
"Untung Bing-gwat-sim belum mati, nona Co juga selamat
tidak kurang apa-apa."
Co Giok-cin yang duduk di pojok tiba-tiba menyeka air
mata, menatapnya, lalu berkata, "Kau inikah Pho Ang-soat?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
Co Giok-cin terharu, "Aku belum pernah melihatmu, tapi
sering kudengar Jiu ... Jiu-toako bicara tentang dirimu, dia
sering bilang kau adalah teman satu-satunya yang dapat
dipercaya, dia pun sering bilang
 
"Bilang apa?"
"Selalu dia berpesan wanti-wanti, bila aku tertimpa suatu
bencana di saat dia tidak mampu melindungi diriku, aku
disuruh mencarimu, maka wajahmu dia lukiskan amat
terperinci." Kepalanya tertunduk serta terisak lagi, "Yang tidak
terduga, sekarang aku masih hidup, dia malah Sampai di sini
isak tangisnya makin keras, lalu mendekam di tempat duduk
dan menangis tergerung-gerung.
Dia seorang perempuan cantik, kecantikannya termasuk
anggun, lembut dan lemah, perempuan jenis inilah yang
gampang menarik belas kasihan orang lain. Walaupun Bing-
gwat-sim pintar dan keras hati, kalau Pho Ang-soat tidak
segera menutuk Hiat-tonya mencegah darah mengalir terlalu
banyak, sekarang mungkin jiwanya sudah melayang.
Mengawasi mereka, Yan Lam-hwi menghela napas, "Apa
pun yang terjadi, jelek-jelek kita sudah bekerja sekuat tenaga
sebagai
pertanggungan jawab kita kepada Jiu-cengcu."
"Tiada pertanggungan jawab," tiba-tiba Pho Ang-soat
berkata.
"Tiada?" Yan Lam-hwi berteriak setengah tidak percaya.
Setajam pisau Pho Ang-soat menatap perempuan di
sampingnya, suaranya dingin, "Nona ini bukan Co Giok-cin,
pasti bukan."
ooooOOoooo
 
Bab 10. Perubahan
Isak tangis mendadak berhenti, Co Giok-cin mengangkat
kepala memandang Pho Ang-soat dengan pandangan kaget,
"Aku bukan Co Giok-cin? Kenapa kau bilang aku bukan Co
Giok-cin?"
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaannya, malah
bertanya tentang persoalan yang tidak pantas dia ketahui,
"Sudah berapa bulan kau hamil?"
Co Giok-cin ragu-ragu, akhirnya menjawab, "Tujuh bulan."
"Kau sudah hamil tujuh bulan, tapi ayahmu baru tahu
hubungan gelapmu ini, memangnya dia buta?"
"Dia tidak buta, dia bukan ayah kandungku," suaranya
mengandung rasa benci dan penasaran. "Aku sudah lama
tahu akan hal ini, aku kenal Jiu Cui-jing juga dia yang
mengatur, karena Jiu Cui-jing adalah tokoh besar dalam
kalangan Kangouw, Cengcu dari Khong-jiok-san-ceng,
seorang yang paling dikagumi oleh Lau-congpiauthau."
"Lau-congpiauthau?" Yan Lam-hwi menimbrung, "Lau Tin-
kok dari Tin-wan Piaukiok? Apakah ayahmu Piausu Tin-wan
Piaukiok?"
"Semula memang betul," sahut Co Giok-cin.
"Dan sekarang?" Yan Lam-hwi mendesak.
"Dia terlalu banyak minum arak, Piaukiok mana pun pasti
tidak mau mempunyai Piausu yang sering mabuk seperti dia."
 
"Jadi Lau Tin-kok telah memecatnya?" Yan Lam-hwi
bertanya.
Co Giok-cin mengangguk, katanya, "Lau-congpiauthau sih
tidak melarang anak buahnya minum arak, tapi setelah minum
arak seorang Piausu sejawatnya dianggap perampok yang
mau membegal, sebelah tangannya dibacok buntung lagi,
bukankah perbuatannya keterlaluan."
"Jadi hendak memperalat hubunganmu dengan Jiu Cui-jing,
untuk memulihkan kedudukannya di Tin-wan Piaukiok?" tanya
Yan Lam-hwi.
"Memang besar keinginannya sampai hampir gila, umpama
aku ini putri kandungnya juga tidak segan-segan dia berbuat
demikian."
"Sayang Jiu Cui-jing tidak sudi berbuat demikian, Lau Tin-
kok juga bukan manusia yang cupat pikiran, mementingkan
hubungan tidak memikirkan kepentingan umum."
"Oleh karena itu walau setiap bulan Jiu Cui-jing menyokong
seratus tahil perak untuk beli arak, dia masih belum puas,
setiap kali mabuk, selalu berusaha menyiksa aku."
"Hingga pagi hari ini kau betul-betul tidak tahan lagi?"
"Aku ini seorang perempuan, namanya saja adalah
putrinya, apa pun yang dia lakukan terhadapku, aku harus
menerima dan menelan kegetiran ini, tapi pagi hari ini..."
"Pagi hari ini apa yang dilakukannya?"
"Dia hendak memukul anak dalam kandunganku supaya
gugur, dia melarang aku melahirkan anak Jiu Cui-jing karena
 
... karena dia sudah mendengar berita buruk dari Khong-jiok-
san-ceng."
Yan Lam-hwi terkesiap, katanya dengan mata terbeliak,
"Peristiwa itu terjadi semalam, tidak mungkin dia bisa tahu
secepat itu."
"Tapi kenyataan dia sudah tahu."
Masam muka Yan Lam-hwi, lebih pucat dari muka Pho
Ang-soat.
Hanya sejenis orang yang bisa memperoleh berita dengan
cepat, berita kilat. Umpama semalam dia tidak ikut meluruk ke
Khong-jiong-san-ceng, tidak menjadi algojo, pasti juga ikut
penjaga atau kurir."
"Jika aku melihat orang sebanyak itu dibantai secara kejam,
setelah pulang pasti juga ingin minum arak sampai mabuk,"
demikian kata Yan Lam-hwi.
Sejak tadi Pho Ang-soat diam saja, mendadak dia
bertanya, "Kau kenal Lau Tin-kok? Dia orang macam apa?"
"Usaha Tin-wan Piaukiok makin besar, cabangnya juga
luas, untuk menjadi seorang Piausu Tin-wan Paukiok
diperlukan ujian yang cukup berat."
"Dia pandai memilih orang."
"Pegawainya semua pilihan, jago-jago kelas satu," sahut
Yan Lam-hwi.
Mengepal jari-jari Pho Ang-soat.
 
Co Giok-cin berkata, "Kungfu ayah angkatku tidak lemah,
jikalau arak tidak membuatnya rusak, bukan mustahil suatu
ketika dia bisa diangkat menjadi Congpiauthau."
Dingin perkataan Pho Ang-soat, "Menjadi Congpiauthau
sukar, membunuh orang mudah."
"Kau kira dia juga salah seorang pembunuhnya?" tanya
Yan Lam-hwi.
"Kalau bukan pembunuh juga pembantu kejahatan."
"Kalau begitu, marilah kita mencarinya."
"Waktu naik kereta tadi sudah kuberi pesan, jalan yang kita
tempuh sekarang juga menuju ke sana," ujar Pho Ang-soat,
lalu dipandangnya Co-Giok-cin, "Karena itu aku harap apa
yang kau katakan semuanya benar."
Co Giok-cin balas menatapnya, pembohong tidak akan
berani balas menatap matanya, juga tidak akan
memperlihatkan sikap yang wajar begini.
Yan Lam-hwi menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat,
seperti ada pendapat yang ingin dia kemukakan. Sebelum dia
buka suara, seorang sudah berkata dengan keras, "Sekarang
jangan kita pulang ke rumah keluarga Co."
Ternyata Bing-gwat-sim sudah siuman, dia terlalu banyak
mengeluarkan darah, badannya teramat lemah, kelihatannya
dia harus mengerahkan sisa tenaganya untuk melontarkan
perkataannya tadi.
 
Yan Lam-hwi meletakkan badannya supaya tidur lebih
enak, lalu bertanya, "Kenapa kita tidak boleh pulang ke rumah
keluarga Co?"
Napas Bing-gwat-sim memburu, katanya, "Karena di sana
sekarang pasti sudah ada perangkap keji." Besar hasratnya
mengemukakan apa yang terkandung dalam hatinya,
sehingga wajahnya yang pucat bersemu merah, "Kongsun To
tentu tidak berpeluk tangan, tentu dia juga menduga bahwa
kita pasti akan pergi ke rumah Co Tang-lay, orang mereka
banyak, semuanya jago-jago lihai, aku sendiri sudah terluka
parah."
Yan Lam-hwi mencegahnya banyak bicara, "Aku mengerti
maksudmu, Pho Ang-soat juga pasti maklum."
"Kalian tidak mengerti," kata Bing-gwat-sim ngotot, "bukan
demi diriku, aku juga tahu dengan kekuatan kalian berdua
mungkin kuat menghadapi mereka, tapi bagaimana dengan
nona Co? Kalian harus menghadapi pedang Nyo Bu-ki,
gantolan Kongsun To, harus waspada pula pada pisau
terbang Siau Si-bu, mana punya kesempatan untuk
melindunginya?"
Pho Ang-soat tidak bersuara, juga tidak memberi reaksi.
Bing-gwat-sim mengawasinya, katanya, "Kali ini kau harus
tunduk pada usulku, sekarang kau harus lekas menghentikan
kereta ini dan putar balik."
"Tidak perlu," pendek jawaban Pho Ang-soat.
"Dan ... kenapa tidak kau dengar usulku?" Bing-gwat-sim
amat menyesal.
 
Wajah Pho Ang-soat tetap kaku, katanya tawar, "Karena
jalan raya ini bukan menuju ke rumah keluarga Co."
Bing-gwat-sim melengak, serunya, "Bukan? Bagaimana
bisa bukan?"
"Karena aku suruh dia membawa kereta ini keluar kota,
mana berani dia menempuh jalan lain?"
Lega hati Bing-gwat-sim, katanya, "Ternyata jalan
pikiranmu sama dengan aku."
Dingin dan keras tegas suara Pho Ang-soat, "Selamanya
aku tidak pernah mempertaruhkan jiwa orang untuk
menempuh bahaya."
"Tapi tadi kau......"
"Tadi aku bilang demikian hanya untuk mencoba dan
menjajaki hati nona Co saja."
Sebelum dia bicara habis, kereta mendadak berhenti, sang
kusir melongok ke belakang dan berkata dengan mengunjuk
tawa berseri, "Sekarang sudah berada di luar kota, kemana
lagi Pho-tayhiap akan pergi?"
Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasi wajah orang yang
berseri itu, tiba-tiba dia bertanya, "Bukankah yang kau latih
kungfu dari Sian-thian-bu-kek-pay?"
Tawa si kusir mendadak kaku, sahutnya, "Hakikatnya
hamba tidak pernah latihan kungfu segala."
 
Back
Top