cersil- Peristiwa Bulu Merak

Sebat sekali Bing-gwat-sim sudah berada di luar kereta,
dilihatnya seorang laki-laki setengah umur berpakaian hijau
celana putih jatuh di bawah kaki kuda. Bila kaki depan kuda
yang berjingkrak berdiri ini menginjak turun, umpama dia tidak
mati juga pasti terluka parah. Kejap lain kaki kuda itu jelas
sudah hampir menginjak, bukan saja Bing-gwat-sim tidak
berusaha menolong, ternyata bergerak dari tempatnya pun
tidak. Matanya mengawasi Pho Ang-soat, ternyata Pho Ang-
soat sudah berada di atas kereta, mukanya yang pucat tidak
memperlihatkan perasaan hatinya, ternyata sikapnya tidak
menunjukkan bahwa dia bermaksud turun tangan menolong
orang yang rebah miring memeluk lutut itu.
Orang-orang di pinggir jalan menjerit ngeri, akhirnya kaki
kuda itu anjlok ke bawah, lelaki yang jatuh di bawah kaki kuda
jelas meringkal memeluk lutut, siapa pun melihat dengan jelas,
tapi kenyataan dia tidak terinjak oleh sang kuda. Ketika sang
kusir berhasil menenteramkan kuda itu, baru pelan-pelan dia
merangkak bangun, napasnya nampak tersengal.
Walau wajahnya berubah karena ketakutan, namun
kelihatannya tetap biasa saja. Memang dia seorang yang
biasa, seorang sederhana,
tiada tanda-tanda istimewa yang melekat pada tubuhnya.
Tapi waktu Pho Ang-soat mengawasinya, tatapan matanya
kelihatan dingin dan sadis. Dia pernah melihat orang ini, orang
yang kaki dan celananya disembur air teh si gendut alias si Ibu
jari bukan lain adalah lelaki ini.
Tiba-tiba Bing-gwat-sim tertawa, katanya, "Agaknya
nasibmu hari ini kurang baik, tadi celanamu dibuat basah,
sekarang jatuh di jalan raya lagi hingga badan kotor berdebu."
 
Orang itu juga tertawa tawar, katanya, "Hari ini nasibku
memang jelek, tapi yang bernasib lebih jelek dari aku entah
masih berapa banyak? Hari ini aku sial, besok entah berapa
banyak pula orang yang akan lebih sial dari aku, begitulah
kehidupan umat manusia, kenapa nona menganggap
persoalan ini begitu serius?"
ooooOOoooo
Bab 5 Burung Merak .
Kuda tidak melukai orang, kereta itupun tidak terbalik.
Laki-laki yang berdandan secara umum inipun lekas sekali
telah lenyap di kerumunan orang banyak, bagaikan buih yang
lenyap di tengah samudra, yang jelas orang lain tidak akan
menaruh perhatian padanya.
Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat kepala, Bing-gwat-
sim sedang tersenyum sambil mengawasi, senyum yang aneh
tapi juga manis. Namun dia justru seperti dipecut rubuhnya,
mendadak dia putar tubuh masuk kembali ke dalam kabin
kereta.
Bukan saja Bing-gwat-sim sudah melihat jelas rasa kaget
dan deritanya, dia pun merasakan betapa duka-lara yang tak
tersembuhkan di dalam relung hatinya. Kenangan lama yang
sudah lanjut terbawa masa, sudah buyar laksana segumpal
asap di tengah udara, kenapa sekarang kembali muncul di
hadapannya?
Tanpa sadar Bing-gwat-sim mengangkat tangan mengelus
muka sendiri.
 
Topeng jenaka yang dipakainya itu sudah dia tanggalkan
waktu melompat keluar dari kereta, sehingga untuk kedua
kalinya dia melihat wajah aslinya.
Mendadak Bing-gwat-sim merasa benci terhadap diri
sendiri, kenapa wajahnya mirip perempuan itu? Kenapa
memberi penderitaan sedalam itu kepadanya? Sesama
manusia kenapa sering terjadi harus saling menyalahkan dan
saling melukai, semakin besar rasa cinta, semakin besar pula
luka yang dideritanya.
Waktu ujung jarinya mengucek pelupuk matanya, baru dia
sadar bahwa air matanya telah berlinang. Untuk siapa? Untuk
umat manusia yang dungu? Atau untuk pria asing yang
sebatangkara ini? Diam-diam dia mengusap air mata, waktu
dia masuk ke dalam kabin kereta pula, topeng itu sudah
dipakainya lagi, dalam hati dia mengharap dirinya selalu bisa
tersenyum ramah dan jenaka seperti topeng gendut ini, bisa
melupakan duka-lara dan penderitaan di dunia ini, meski itu
bisa diperolehnya hanya sekejap.
Sayang manusia tetap manusia, bukan malaikat atau dewa,
umpama malaikat dan dewa, mungkin juga memiliki
penderitaan mereka sendiri, bahwa mereka tertawa lebar,
bukan mustahil hanya sengaja ditunjukkan kepada umat
manusia, demikian dia menghibur diri dalam hati.
Muka Pho Ang-soat yang pucat masih kelihatan berkerut-
merut, tubuhnya juga kelihatan bergerak, sekuatnya Bing-
gwat-sim menekan rasa sakit hatinya, mendadak dia berkata,
"Orang yang satu tadi, tentu kau pun sudah melihatnya."
"Sudah tentu kulihat."
 
Bing-gwat-sim berkata, "Tapi kau tidak memperhatikan dia
karena dia juga orang awam ..."
Orang biasa seperti buih di permukaan air, bagai sebutir
gabah di dalam beras, siapa pun jarang memperhatikan dia.
Tapi bila air sudah masuk ke tenggorokan, mendadak kau
akan sadar, buih itu sudah berubah menjadi jari hitam, dari
tenggorokan menusuk ke dalam jantungmu.
Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, "Karena itu aku
selalu beranggapan orang semacam ini paling menakutkan,
jikalau tadi dia sendiri memperlihatkan belangnya, mungkin
sampai sekarang kau tetap tidak akan memperhatikan dia."
Pho Ang-soat mengakui hal ini, tapi kenapa orang itu
sengaja berbuat demikian?
Bing-gwat-sim berkata, "Karena dia hendak mencari tahu
jejak kita."
Ibu jari tentu sudah tahu adanya kereta yang berhenti di
seberang jalan dan sedang mengawasi gerak-geriknya, maka
dia sengaja menyembur basah kakinya, dengan tertawa serta
munduk-munduk membersihkan kaki orang, saat itulah dia
memberi kisikan kepadanya. Bahwa lelaki yang basah kakinya
ini sengaja jatuh di bawah kaki kuda, karena dia juga tahu
hanya dengan berbuat demikian baru bisa memaksa
penumpang di kabin kereta keluar.
Bing-gwat-sim tertawa getir, katanya, "Sekarang kita belum
tahu asal-usulnya, dia malah sudah bisa melihat kita, dalam
waktu satu jam tentu dia sudah berhasil menemukan tempat
Yan Lam-hwi."
 
Pho Ang-soat bertanya mendadak, "Tangan hitam juga
bermusuhan dengan Yan Lam-hwi?"
"Tidak," sahut Bing-gwat-sim, "mereka tidak pernah
membunuh orang lantaran permusuhan atau dendam pribadi."
"Lalu untuk apa mereka membunuh orang?"
"Perintah," pendek jawaban Bing-gwat-sim. Begitu perintah
tiba, mereka segera membunuh, siapa pun mereka bunuh.
"Jadi mereka juga mendengar perintah orang?"
"Hanya mendengar perintah seorang."
"Perintah siapa?"
"Perintah Kongcu Gi."
Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat.
"Kalau hanya lima orang anggota tangan hitam, belum
cukup mampu membentuk kekuatan mereka dalam satu
organisasi besar."
Mereka boleh dikata sudah menjaring seluruh pembunuh
bayaran dan manusia-manusia durjana, demikian pula Ngo-
heng-siang-sat dan Kwi-gwa-po jelas masuk dalam anggota
organisasi itu. Padahal penghasilan mereka pribadi sudah
teramat tinggi, untuk menjaring atau menggaruk mereka jelas
tidak mudah.
"Di kolong langit ini, hanya ada satu orang saja yang
menggenggam kekuatan besar ini," Bing-gwat-sim mendesis
lirih.
 
"Kongcu Gi maksudmu?" Pho Ang-soat menegas.
"Ya, hanya dia seorang."
Pho Ang-soat mengawasi jari-jari tangan sendiri yang
menggenggam gagang golok, pelupuk matanya memicing dan
mulai kedutan pula.
Bing-gwat-sim juga berdiam diri, agak lama kemudian baru
bersuara lagi, "Membunuh untuk mencegah pembunuhan, tadi
seharusnya kau sudah membunuh orang itu."
Pho Ang-soat tertawa dingin.
"Aku tahu selamanya kau tidak sembarangan mencabut
golokmu, tapi orang yang satu ini cukup setimpal untuk kau
mencabut senjata."
"Jadi kau beranggapan bahwa dia itulah Bu-bing-cay?"
Perlahan Bing-gwat-sim mengangguk, katanya, "Aku malah
curiga bahwa dia itu si Merak."
"Merak?"
"Merak adalah sejenis burung, burung yang elok dan cantik,
terutama bulunya…"
"Tapi merak yang kau maksud justru bukan burung."
"Ya, yang kumaksud memang bukan burung, tapi manusia,
seorang yang menakutkan," pelupuk matanya ternyata juga
kedutan, suaranya makin perlahan, mengandung perasaan
ngeri, "Malah aku berpendapat bahwa dia orang yang paling
menakutkan di jagat ini."
 
"Kenapa?"
"Karena dia memiliki Bulu merak."
Bulu merak.
Waktu mengucap kedua kata ini, sorot matanya mendadak
menampilkan rasa hormat, takut dan juga ngeri.
Rona muka Pho Ang-soat ternyata juga berubah.
Merak memang punya bulu, seperti kambing punya tanduk,
bukan saja berharga juga kelihatan indah. Tapi Bulu merak
yang dibicarakan di sini bukan bulu merak seekor burung,
bukan bulu benar-benar bulu, tapi Bulu merak yang dimaksud
di sini adalah sejenis Am-gi, senjata rahasia yang indah tapi
juga amat misterius, senjata rahasia yang mengerikan.
Tiada orang yang bisa melukiskan keindahannya, juga
tiada seorang pun di jagat ini yang dapat meluputkan diri dari
serangan Am-gi ini, menangkis pun tidak.
Di kala Am-gi itu disambitkan, keindahannya yang semarak
dan cemerlang begitu misterius, bukan saja dapat membuat
orang terpesona, pusing dan pandangan kabur, malah bisa
membuat orang lupa takut akan kematian yang mengancam
jiwanya.
Konon setiap korban yang mati oleh Am-gi ini wajahnya
tentu menampilkan senyuman lucu yang misterius, sehingga
banyak orang berpendapat bahwa dia suka rela mati oleh Am-
gi itu. Umpama orang-orang kebanyakan, meski tahu
kembang mawar itu ada durinya, tapi justru memetiknya.
Karena keindahan yang semarak itu, jelas tak mungkin
dilawan oleh kekuatan manusia lumrah.
 
"Tentu kau juga tahu Bulu merak itu."
"Ya, aku tahu."
"Tapi kau pasti tidak tahu, bahwa Bulu merak sekarang
sudah tidak berada di Khong-jiok-san-ceng (perkampungan
merak)."
Biasanya jarang Pho Ang-soat terpengaruh oleh keadaan
sekelilingnya, hatinya seperti beku, kapan dia pernah goyah
keteguhan imannya, namun waktu dia mendengar berita ini,
jelas kelihatan dia agak kaget. Bukan saja dia tahu Bulu
merak, malah dia pun pernah berkunjung ke perkampungan
merak itu.
Perasaan hatinya waktu itu, seperti seorang umat saleh
berada di tempat suci.
Waktu itu permulaan musim rontok, suatu malam di musim
rontok.
Selama hidup belum pernah dia lihat perkampungan
megah, angker dan seindah itu. Meski dironai tabir malam,
namun keindahan perkampungan merak itu sungguh
menyerupai istana dewa di dalam dongeng.
"Di sini ada sembilan lapis pekarangan atau taman, di
antaranya sudah dibangun sejak tiga ratus tiga puluh tahun
yang lalu, mengalami beberapa generasi, baru tempat ini
kelihatan bentuknya seperti sekarang."
Orang yang menerima kedatangannya adalah adik
kandung Khong-jiok-san-ceng Cengcu yang paling kecil, Jiu
Cui-jing. Jiu Cui-jing adalah seorang yang pandai menyimpan
rahasia setiap kali berbicara. Yang benar bukan saja tempat
 
ini teramat megah, besar dan jaya, bahwa perkampungan ini
bisa berdiri juga sudah merupakan keajaiban. Memang suatu
keajaiban, karena setelah mengalami beberapa kali perang,
tempat ini tetap aman sentosa, tidak pernah terlanda oleh api
peperangan.
Dinding kaca yang terletak di pekarangan paling belakang
tampak mengkilap, di atasnya tergantung dua belas lampion
warna-warni, cahaya lampion yang terang-temaram menyinari
sebuah gambar lukisan raksasa di atas kaca itu. Puluhan
lelaki berwajah bengis dan buas, bergaman aneka ragam
senjata, sorot mata mereka tampak kaget, bingung dan
ketakutan, karena seorang pemuda pelajar berwajah putih
memegang sebuah bumbung kuning emas, dari bumbung
emas inilah memancar cahaya cemerlang laksana pelangi
yang berwarna-warni. Warna yang lebih semarak, lebih indah
dari lembayung.
"Sudah lama berselang peristiwa ini terjadi, waktu itu dalam
golongan hitam terdapat tiga puluh enam manusia durjana,
untuk menghancurkan tempat ini, mereka berserikat dan
berkomplot menyerbu dengan kekuatan gabungan mereka
yang besar, konon bila tiga puluh enam orang ini bergabung,
jarang ada musuh yang mampu melawan mereka. Akan tetapi,
tiada satu pun dari ketiga puluh enam orang itu yang bisa
pergi dari sini, semuanya tertumpas. Sejak peristiwa itulah,
tiada golongan atau aliran, entah itu organisasi penjahat yang
terbesar sekalipun tiada yang berani mengganggu
perkampungan merak. Sejak itu adalah Bulu merak
menggetarkan dan disegani di kolong langit."
Sampai sekarang apa yang pernah diuraikan Jiu Cui-jing
dahulu, seperti masih terngiang di telinganya. Mimpi pun tidak
 
terpikir olehnya bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak
berada di perkampungan merak lagi.
"Itulah sebuah rahasia," ujar Bing-gwat-sim. "Selamanya
tiada orang tahu akan rahasia ini di kalangan Kangouw."
Ternyata Bulu merak lenyap dari tangan majikan generasi
ketiga belas keluarga Jiu di puncak Thay-san.
"Sampai sekarang baru rahasia ini mulai diketahui orang
luar karena secara mendadak Bulu merak tahu-tahu telah
muncul di kalangan Kangouw. Pernah muncul dua kali, dan
membunuh dua tokoh yang amat terkenal, pembunuhnya
justru bukan anak didik keluarga Jiu maupun warga
perkampungan merak.
"Selama Bulu merak masih ada, tiada seorang pun dari
kalangan Kangouw yang berani meluruk ke perkampungan
merak, kalau tidak, tempat megah ini tentu sudah hancur lebur
sejak lama. Perkampungan merak sudah berdiri sejak tiga
ratus tahun lebih, dengan bangunannya mencapai delapan
puluh li, dengan penghuni lima ratus jiwa lebih, seluruh benda
yang ada, baik yang hidup maupun yang mati dalam
perkampungan merak ini berdiri dan ditunjang hanya oleh Bulu
merak yang kecil dan indah."
Akan tetapi Bulu merak itu sudah terjatuh ke tangan
seorang yang tidak dikenal asal-usulnya. Maka Pho Ang-soat
bertanya, "Jadi orang itu adalah Merak."
"Benar."
Badak dibunuh karena orang ingin mengambil culanya,
kuburan dibongkar karena pencuri ingin mengeduk harta
 
peninggalan dalam layon, si lemah yang miskin dan
sederhana jarang tertimpa bencana, gadis yang molek
mukanya, jauh lebih mudah mempertahankan kesucian
perawannya. Karena itu hanya mereka yang terlalu biasa,
terlalu awam atau orang yang tidak punya nama, baru bisa
mempertahankan senjata ampuh macam Bulu merak itu.
'Merak' maklum akan hal ini. Sebetulnya dia bukan manusia
jenis ini, seperti juga orang kebanyakan, dia pun
mendambakan harta benda, kekayaan dan nama besar.
Sejak peristiwa di malam musim panas dulu, menyaksikan
gadis yang dicintainya ditindih dan ternoda kesuciannya oleh
seorang yang kaya di atas tanah berumput, dalam hati dia
sudah berkeputusan, dia ingin mengejar dan mendapatkan
kekayaan dan kebesaran yang selalu diimpi-impikan orang
lain. Dan harapannya ternyata tidak sia-sia, barang yang
diperolehnya ternyata jauh lebih berharga dari apa yang dia
impikan sendiri, dia menemukan Bulu merak. Maka tekadnya
berubah, karena dia seorang pintar, dia tidak ingin menjadi
badak yang terbunuh dan diambil culanya.
Justru sebaliknya, dia ingin membunuh orang. Setiap kali
dia teringat adegan di malam musim panas itu, terbayang
betapa gadis itu merintih, meronta dengan napas ngos-ngosan
dan keringat yang bercucuran, maka timbul keinginannya
membunuh orang.
ooooOOoooo
Hari ini dia tidak membunuh orang, bukan dia tidak punya
keinginan, tapi dia tidak berani. Berhadapan dengan orang
 
yang bermuka pucat, sorot matanya yang kaku dingin, entah
mengapa hatinya mendadak menjadi jeri dan takut.
Sejak dia memiliki Bulu merak, baru pertama kali dia
merasa takut terhadap seseorang. Bukan golok hitam itu yang
ditakuti, tapi orang yang memegang golok itu, meski orang ini
hanya berdiri diam, namun dia jauh lebih tajam dari golok
kebanyakan yang terlolos dari sarungnya.
Melihat tatapan matanya, jantungnya lantas berdetak,
hingga dia kembali ke rumahnya, jantung masih kebat-kebit,
bukan lantaran tegang atau takut, tapi lantaran bergairah.
Sungguh ingin sekali dia mencoba, apakah Bulu merak
mampu membunuh orang yang satu ini, akan tetapi dia justru
tidak punya keberanian untuk mencobanya.
Itulah rumah sederhana, hanya ada satu ranjang, satu meja
dan satu kursi. Begitu masuk kamar lantas dia ambruk,
ambruk di atas ranjang yang dingin dan keras, rebah di atas
ranjang ternyata tidak memberikan ketenangan baginya,
mendadak dia menyadari sesuatu benda telah tegak berdiri di
selangkangannya.
Dia memang terlalu bergairah, terlalu bernafsu, karena dia
ingin membunuh orang, terbayang pula peristiwa di malam
musim panas dulu ... keinginan membunuh ternyata
mendorong pula napsu birahinya, hal ini dia sendiri pun
merasa luar biasa. Dan payahnya, bila napsu ini sudah
berkobar, maka dia tidak kuasa membendung atau
menahannya.
Dia tidak punya teman perempuan, selamanya dia tidak
mau percaya lagi pada orang perempuan, perempuan mana
 
pun pantang mendekati dirinya, dan untuk melampiaskam
napsunya ini dia hanya membunuh orang.
Sayang sekali orang yang ingin dia bunuh justru adalah
orang yang tidak berani dia bunuh. Sore hari di musim semi,
ternyata berubah sepanas musim panas, perlahan dia
mengulur tangannya yang sudah berkeringat ... sekarang
terpaksa dia menyelesaikan dengan tangan, lalu dia rebah
mendekam di atas ranjang, mendadak dia muntah, muntah
sambil mengucurkan air mata.
Menjelang senja, namun senja belum tiba.
Seorang mendorong pintu pelan-pelan tanpa mengeluarkan
suara, lalu menyelinap masuk secara diam-diam,
perawakannya meski gendut dan lamban, namun gerak-
geriknya ternyata seenteng kucing.
Khong-jiok atau Merak masih rebah diam di atas ranjang
tanpa bergerak, dingin-dingin saja dia mengawasi orang ini,
selama ini dia paling tidak suka kepada si gendut yang dungu
ini, apalagi dalam keadaan seperti dirinya sekarang, timbul
rasa muak dan benci dalam benaknya, karena orang ini
hanyalah seorang sida-sida, laki-laki yang sudah dikebiri
'anu'nya, lelaki tak berguna, lebih tepat kalau dianggap babi.
Akan tetapi babi yang satu ini tak pernah disiksa oleh
kobaran nafsu birahi, maka selama hidup dia tidak akan
pernah merasakan derita yang mendesak itu. Mengawasi
wajah bundar yang tertawa menyengir ini, sungguh hampir tak
tertahan ingin dia menggenjot pecah hidungnya.
Tapi dia dipaksa untuk menahan diri, karena babi ini adalah
koleganya, karena dia ini Ibu jari.
 
Ibu jari masih tertawa, langsung mendekati ranjang,
katanya, "Aku tahu kau cukup mampu memancing mereka
keluar, terbukti kau belum pernah gagal dalam menunaikan
tugas."
Tawar suara Merak, "Kau melihat mereka?"
Ibu jari manggut-manggut, katanya, "Yang perempuan
adalah Bing-gwat-sim, yang lelaki ialah Pho Ang-soat." Pho
Ang-soat.
Jari-jari tangan Merak mengepal kencang, dia pernah
mendengar nama ini, tahu orangnya, lebih jelas tentang
goloknya, golok kilat yang tiada bandingannya di dunia.
Ibu jari berkata, "Bahwa Yan Lam-hwi bisa bertahan hidup
sampai sekarang adalah gara-gara Pho Ang-soat, maka
Mendadak Merak berjingkrak berdiri, katanya, "Maka untuk
membunuh Yan Lam-hwi, harus membunuh Pho Ang-soat
lebih dulu." Mukanya merah bersemangat, kedua matanya
menyala.
Ibu jari menatapnya dengan kaget, selama ini tiada orang
yang pernah melihat dia begitu bergairah, begitu emosi. Merak
yang tabah, Merak yang tak terkenal, Merak bukan sembarang
merak, Merak yang ini mampu membunuh orang.
Ibu jari coba bertanya, "Kau ingin membunuh Pho Ang-
soat?"
Merak tertawa, katanya, "Selama ini aku suka membunuh
orang, Pho Ang-soat kan juga manusia."
 
"Tapi dia bukan manusia kebanyakan, untuk membunuhnya
bukan suatu hal yang gampang."
"Aku tahu, maka aku tidak akan turun tangan sendiri."
"Kalau kau sendiri tidak berani, memangnya siapa yang
berani mengusik dia?"
Merak tertawa, katanya, "Aku tidak akan bergerak hanya
karena aku ini bukan orang ternama, aku pun tidak ingin
terkenal."
Ibu jari tertawa, tertawa dengan mata memicing, "Kau ingin
menyuruh Toh Lui mengadu jiwa dulu dengan dia, lalu kau
akan memungut keuntungan dari belakang?"
"Peduli siapa di antara mereka yang mati, aku tidak akan
berduka."
Bing-gwat-sim amat tersiksa. Tersiksa seperti keong yang
sudah lama bersembunyi di dalam cangkangnya dan tidak
bisa berjemur di bawah sinar matahari.
Topeng yang sekarang dipakainya ini dia beli tahun lalu
waktu di kelenteng ada perayaan, bikinannya memang bagus
dan halus, tapi jikalau dipakai terlalu lama, mukanya terasa
gatal dan kepanasan. Bila kulit muka sudah terasa gatal dan
tidak bisa digaruk, maka sekujur badan ikut merasa gatal dan
risi. Tapi tiada niatnya menanggalkan topeng itu, sekarang
agaknya dia jadi takut bila Pho Ang-soat melihat mukanya.
Waktu mereka beranjak masuk, sinar surya yang sudah
mendoyong ke barat tetap menyinari mawar merah di pinggir
jendela, mawar yang baru saja tersiram hujan, maka
warnanya kelihatan elok dan segar.
 
Air muka Yan Lam-hwi justru amat pucat bagai kertas.
"Yan-kongcu pernah siuman tidak?"
"Tidak," nona cilik bermata bundar besar itu tetap berjaga di
samping Yan Lam-hwi.
"Kau sudah memberi minum obat?"
"Juga tidak," sahut nona cilik sambil mendekap mulut dan
tertawa cekikikan. "Tanpa pesan nona, menyentuh pun aku
tidak berani."
"Kenapa?"
"Karena..." nona cilik cekikikan genit, "karena aku kuatir
nona cemburu."
Bing-gwat-sim melototinya gemas, lalu berpaling serta
bertanya kepada Pho Ang-soat, "Apakah sekarang sudah
saatnya makan obat?"
Menghadap ke arah jendela, Pho Ang-soat mengangguk
perlahan.
Sinar surya yang mendoyong miring menyorot masuk
memenuhi kamar, kertas hias di jendela masih baru, demikian
pula kayu jendela juga baru saja dicat, hingga mengkilap
bersih laksana kaca. Kedua daun jendela terbentang miring
kedua arah berlawanan, kertas kaca yang tertempel di atas
jendela memetakan gambar kembang mawar yang sedang
mekar di sebelah kanan, sementara di kertas kaca sebelah kiri
memetakan gambar terbalik yang ada di dalam kamar,
bayangan si nona cilik dan Bing-gwat-sim terlihat jelas di
dalamnya.
 
Bing-gwat-sim duduk di pinggir ranjang, tangannya
memegang botol kayu yang berisi obat, dituangnya sebutir pil
serta dicairkan dengan air putih. Gerak-geriknya kelihatan
amat prihatin, seperti takut bila obat itu tumpah dari sendok
hingga mengurangi kadar obatnya. Akan tetapi obat yang
sudah cair di dalam sendok tidak dia cekokan ke mulut Yan
Lam-hwi.
Pho Ang-soat masih berdiri membelakangi mereka, sekilas
dia mencuri lirik kepadanya, mendadak obat di dalam sendok
itu dia buang ke dalam lengan baju nona cilik, lalu dia pura-
pura memapah Yan Lam-hwi dan mendekatkan sendok
kosong itu ke dekat mulutnya.
Apa maksudnya?
Bing-gwat-sim mengundang Pho Ang-soat adalah untuk
menolong jiwa Yan Lam-hwi, akan tetapi jiwa yang sekarat
siapa pun takkan bisa menyelamatkan.
Pho Ang-soat masih tetap berdiri di tempatnya, diam tidak
memberi reaksi. Walau dia tidak menoleh, kejadian di
belakangnya juga dapat disaksikan dari bayangan kertas kaca
di jendela, namun sedikitpun dia tidak memberi reaksi.
Diam-diam Bing-gwat-sim meliriknya sekali, lalu pelan-
pelan menurunkan Yan Lam-hwi, gumamnya, "Setelah makan
obat sekali ini, bila tidur nyenyak cukup lama kukira besok
pagi juga dia sudah siuman."
Padahal dalam hati dia tahu, Yan Lam-hwi tidak mungkin
bisa siuman. Di mulut bicara penuh harap dengan helaan
napas rawan, sorot matanya justru seterang sinar rembulan,
mimik mukanya seperti mengulum senyum nakal.
 
Pada saat itulah, seorang mendadak berteriak di luar pintu,
"Ada surat untuk Pho-tayhiap."
Kertas surat dan sampulnya mudah dibeli di toko buku
dimana saja asal berani bayar, sebab kertas surat itu dari jenis
kertas termahal.
Cekak dan sederhana sekali surat itu, gaya tulisannya juga
rajin. "Besok siang, di kebun keluarga Ni, di luar gardu
pemandangan, bawalah golokmu, satu orang, satu golok."
Pho Ang-soat tidak memeriksa tanda tangan penulis surat
ini, dia sudah tahu yang menulis pasti adalah seorang yang
patuh akan tata tertib dan kebersihan, namun dia juga suka
pamer kekayaan dan kepintarannya. Pandangan Pho Ang-
soat memang tidak meleset.
Bing-gwat-sim menghembuskan napas panjang, katanya,
"Aku sudah menduga Toh Lui pasti akan menantangmu, tak
nyana begini cepat tantangannya datang."
Dengan sebelah tangannya yang tidak memegang golok,
Pho Ang-soat melempit kertas surat itu, lalu tanyanya, "Kebun
keluarga Ni terletak dimana?"
"Tuh, di seberang rumah sana."
"Bagus sekali."
"Apanya yang bagus?"
Dingin suara Pho Ang-soat, "Aku ini seorang timpang,
sebelum berduel aku tidak ingin menempuh perjalanan jauh."
"Jadi kau sudah siap menerima tantangannya?"
 
"Ya, sudah pasti."
"Pergi sendirian?"
"Satu orang, satu golok."
Bing-gwat-sim mendadak tertawa dingin, katanya, "Bagus
sekali."
Ucapan yang sukar dimengerti, jengek tawanya juga ganjil,
Pho Ang-soat tidak habis mengerti, tapi dia tidak bertanya.
Bing-gwat-sim berkata, "Malam ini kau boleh tidur nyenyak
menyegarkan badan, besok pagi setelah sarapan, cukup
beberapa langkah kau akan sudah berada di kebun keluarga
Ni yang sudah lama telantar itu, masih ada banyak waktu
untuk memeriksa dan meneliti setiap jengkal dan keadaan di
sana."
Duel antara dua jago kosen, siapa dapat menguasai situasi
dan kondisi, merupakan unsur penting untuk mencapai
kemenangan.
"Orang jenis apa Toh Lui itu, kau sudah melihatnya sendiri,
dia sebaliknya tidak tahu tentang seluk-beluk dirimu. Bisa tahu
kekuatan lawan untuk mengukur kemampuan sendiri, jelas hal
ini jauh lebih penting daripada tahu lebih dulu akan situasi dan
kondisi arena.
"Maka dalam duel nanti kau sudah menempatkan diri pada
posisi yang lebih unggul, tiba waktunya asal kau mencabut
golokmu, hanya dua belas orang yang akan tercantum di
dalam daftar orang-orang yang ternama. Umpama kau tidak
punya kegemaran membunuh orang, tapi peristiwa itu patut
dibuat girang."
 
Mendadak dia tertawa dingin, suaranya meninggi, "Tetapi
bagaimana dengan Yan Lam-hwi? Apa kau tidak memikirkan
dirinya?"
Tawar suara Pho Ang-soat, "Orang yang akan berduel kan
bukan dia."
"Tapi orang yang akan mati sudah pasti adalah dia."
"Ya, pasti."
"Ibu jari dan Merak sekarang tentu sudah tahu dimana dia
berada, bila kau memasuki kebun keluarga Ni, mereka pasti
akan menerobos masuk kemari."
Otot hijau tampak merongkol di punggung tangan Pho Ang-
soat yang menggenggam gagang golok.
Bing-gwat-sim menatapnya, suaranya sinis, "Mungkin
sebelum ini kau pernah menolong jiwanya, akan tetapi kali ini
umpama tiada kau di sini, kemungkinan dia malah bisa
bertahan hidup lebih lama."
Otot hijau di punggung tangan Pho Ang-soat tampak lebih
mengencang, mendadak dia mengajukan pertanyaan yang
semestinya bukan dia yang bertanya, "Apa benar kau
memperhatikan dia?"
"Memangnya harus diragukan," seru Bing-gwat-sim,
jawabannya reflek, spontan, tanpa pikir dulu, jawaban yang
wajar. Kejadian membuang obat dalam sendok ke dalam
lengan baju nona cilik tadi, seolah-olah tidak pernah terjadi
atau tiada sangkut-pautnya dengan dia.
 
Back
Top