Assalamu,alaikum pak ustad.
Sya brtanya tntang rumah tangga, sya mempunyai seorang tman meminta pendapat, sya tdk dpt menjawab nya,
Tman sya ini seorang suami mempunyai 1 org anak, dlm khidupan ny skrg ia ddlam penjara, dan msih menjalani hukuman 5 thn krna mslah kkurangan ekonomi, stlh brjlan 4bln istri nya brtengkar dgn org tua suami prmsalahan yg tdk ktahui, dan skrang istri nya prgi dgn anak nya yg brumur 2-thn ke rmh org tua istri yg jauh daerah nya 1 mlm perjalanan, tanpa dktahui sang suami d org tua suamiu oleh istri, dan sthah itu jg diketahui sang istri tlh menjual brang 2 rumah tnpa diketahui jg, sang suami menyuruh utuk plg kmbli jg tdk mau, yg jdi pertanyaan apa hukum suami,orangtua,dan istri tadi,? Dan apa yg hrus dlakukan?
Sebuah pernikahan langgeng dan bahagia sudah menjadi impian siapapun, terlebih jika pernikahan itu menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah. Tetapi untuk mencapai hal itu tidaklah semudah impian dan filosofi para konselor pernikahan. Ada duri yang tajam demi mencapainya, jika tak hati-hati maka duri-duri tersebut yang akan menghentikan langkah kearah sana. Kita menjadi iri ketika melihat seorang yang usianya sudah tua namun mereka tetap kelihatan bahasia dan tentunya masih mesra. Kita juga punya impian seperti itu, langgeng hingga usia menjadi renta. Terbersit pertanyaan dalam hati:
apa ya rahasia dibalik keharmonisan dalam keluarga tersebut?
Kembali pada topik pertanyaan @sembilanbelas
kita harus tau dulu kewajiban istri terhadap suami dalam ajaran Islam, demikian juga sebaliknya.
Ketika seorang muslim telah mengucapkan akad dalam prosesi pernikahan, berarti nahkoda pernikahan sudah mulai dijalankan. Suami dan istri harus merapat untuk bekerjasama, melakukan kewajibannya masing-masing dan memperoleh hak-hak mereka seperti yang sudah dijanjikan dan dijelaskan dalam agama Islam. Baik UU ataupun KHI sudah merumuskan secara jelas tentang tujuan perkawinan yaitu
untuk membina keluarga yang bahagia, kekal dan abadi berdasarkan tuntunan syari’at dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuan perkawinan tersebut ingin terwujud, sudah barang tentu tergantung pada kesungguhan dari kedua pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media untuk merealisasikan syari’at Allah agar mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Dari sisi hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya menurut syariat Islam, ternyata masih banyak muslimah yang telah menjadi seorang istri dari suaminya belum mengetahui secara benar apa saja kewajiban pokok bagi seorang istri. Dalam agama Islam, kewajiban seorang istri terhadap suaminya hanya ada dua, yaitu:
(1) kewajiban melayani suami secara biologis dan
(2) kewajiban taat pada suaminya dalam segala hal selain maksiat.
Dalam kasus diatas sesuai pertanyaan @sembilanbelas tentu kita juga perlu tahu kewajiban suami terhadap istri. Diantaranya: Suami Memberi nafkah pada istri.
Pemberian nafkah ini bersifat wajib bagi suami terhadap istrinya, ayah terhadap anaknya, dan tuan terhadap budaknya yang meliputi keperluan hidup seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal. Serta Wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (Qs. Al-Ahzab : 34 dan QS. At-tahrim : 6)
Karena suami tak memenuhi kewajiban terhadap istrinya karena ia dipenjara. Jika nafkah tersebut tidak dapat dipenuhi dan diberikan oleh suami maka istri pun dapat menuntutnya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Gugatan ini dapat berakibat kepada perceraian yang disebut dengan tafriq qadha’i (perceraian melalui Pengadilan Agama), sebagaimana tertuang dalam shighat ta’liq yang diikrarkan oleh suami saat setelah akad nikah berlangsung. Di antara poin-poinnya adalah sebagai berikut:
Meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut. Atau tidak memberi nafkah wajib kepadanya selama tiga bulan lamanya. Atau menyakiti badan/jasmani istri. Atau membiarkan (tidak memedulikan) istri selama enam bulan.
Jika suami melakukan salah satu dari keempat poin tersebut dan istri tidak ridha, maka istri dapat mengadukannya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu. Pengaduannya bisa dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri membayar uang pengganti atau ‘iwadh kepada suami. Jika proses ini berjalan dengan baik maka jatuh talak satu kepadanya.
Jadi: perbuatan istri meninggalkan rumah dan menjual barang-barang yang ada adalah tindakan yang keliru, tindakan yang tidak dibenarkan karena hukum islam tidak mengatur seperti itu. Seharusnya sang istri mengajukan gugatan cerai atau bisa dengan jalan musyawarah sesuai adat ketimuran sebelum ia pulang ke orang tuanya.
Semoga jawaban ini dapat membantu.