@dipe
Coba nonton dong... Masa belum nonton, kok pendapatnya kayak begitu.
Sama aja kayak orang membela langit itu warnanya kuning, tapi dia sendiri gak pernah liat langit.
Kenapa harus dibuktikan dengan menonton? lha ini daku mengambil pandangannya dari semua bentuk tontonan yang namanya sinetron (entah itu yang kacrut atau yang bermutu).
Seumur-umur daku belajar 6 tahun di jurusan Art Cinematography itu, sinetron itu ya fiksi, dan dalam cerita fiksi apapun sah dan bisa dibuat, bisa terjadi dan bisa dikondisikan.
Daku tau apa yang dimaksud dengan sebutan sinetron yang membodohi itu cukup dengan melihat beberapa kali doang. Dan tetap, menurutku, hal itu memang jelek secara mutu sinematografi, tapi nggak lantas menjadikannya jadi sumber kebodohan, karena fungsi utamanya memang bukan sebagai ajang pendidikan.
Kan udah ane bilang, di halaman sebelah. Pembodohan itu ada yg bisa didetect langsung (karena memang diniatkan), ada yang enggak.
Betul, tapi what do you expect from the thing called fiction?
Berkali-kali daku bilang, nggak ada data valid soal pembodohan yang dilakukan karena menonton sinetron, opera sabun, telenovela, K drama, you named it. Yang ada adalah data valid soal repetitive commercials yang bisa membodohi penonton TV.
ni bukan masalah fiksi vs non-fiksi non. Kita gak lagi debat tentang piala oscar kan?
Kenapa daku bicara soal fiksi? Karena untuk mengangkat soal fungsi utama dari sebuah tontonan fiksi itu tadi, yaitu hiburan dan bukan soal mendidik fungsi utamanya.
Terus kenapa ada pertanyaan soal Oscar segala ya? apa hubungannya?
)