Strategi Hedging Bisa Berbuah Profit Trading, Mitos Atau Fakta?
Pernahkah Anda mencoba strategi hedging? Cara ini sering menjadi alternatif favorit bagi para trader yang enggan cut loss. Mereka berdalih bahwa hedging perlu dilakukan untuk meminimalisir kerugian. Namun ternyata, tak sedikit juga trader yang menggunakan strategi hedging untuk mendatangkan profit trading. Jika sifat alamiah strategi hedging adalah pelindung risiko, benarkah hal itu bisa diwujudkan?
Untuk mendapatkan jawaban, mari kita simak dulu beberapa faktor penunjang kesuksesan strategi hedging berikut ini:
Situasi Pemicu Strategi Hedging
Banyak trader menyebut strategi hedging adalah teknik trading di level lanjutan. Namun disadari atau tidak, sebagian besar pemula sudah melakukan hedging secara impulsif. Contohnya ketika mereka 'penasaran' dengan order yang tidak bisa profit, kebanyakan akan membuka posisi baru untuk mengejar harga yang berlari di arah berlawanan dari order pertama.
Di sisi lain, para trader berpengalaman melakukan hedging sebagai strategi terencana. Mereka tidak terpacu memburu profit trading atau ingin membuktikan diri. Bagi trader pro, strategi hedging merupakan bagian dari Trading Plan yang sudah diperhitungkan; apakah akan melakukan hedging di satu pair atau dua pair berbeda, apakah langsung menerapkan hedging atau baru membuka posisi berlawanan saat order pertama sudah loss, atau berapakah lot, Stop Loss, dan Take Profit yang ditentukan untuk masing-masing order.
Strategi hedging terencana jelas akan dimaksimalkan agar bisa (paling tidak) mengamankan trading dari loss besar. Jika sudah berpengalaman dan terbiasa mengantisipasi pergerakan market, seorang trader bahkan bisa menyusun strategi hedging yang mendatangkan profit trading.
Sementara itu, trader pemula yang melakukan hedging karena terjerat emosi, lebih berisiko bertindak gegabah. Mereka tidak melakukan analisa terhadap volatilitas harga, dan biasanya sering terjebak saat posisi-posisi hedging sudah terkunci (locked). Kebingungan untuk memutuskan mana posisi yang bisa dilepas dan dipertahankan pun mulai menyeruak, sehingga tak jarang mereka akhirnya malah membiarkan posisi terus ter-floating, atau bahkan mengakhiri hedging tanpa dasar yang logis.
Untuk memperjelas pemahaman Anda, berikut adalah contoh strategi hedging terencana dan tidak terencana:
A. Strategi Hedging Terencana
Katakanlah EUR/USD saat ini berada di 1.20000. Anda melakukan open buy dan sell dengan lot yang sama di level tersebut. Sehari kemudian, harga turun ke 1.19500. Saat melihat oscillator, harga sudah berada di level oversold dan ada beberapa tanda bullish reversal dari pembacaan Price Action.
Untuk mengamankan posisi sell yang sudah profit, Anda bisa menutupnya, kemudian membiarkan posisi buy untuk menyambut peluang kenaikan dari bullish reversal. Ketika harga kemudian benar-benar naik, Anda sudah bisa mendapat profit saat harga baru sampai ke level 1.19530. Bagaimana bisa? Posisi buy Anda memang rugi 70 points atau 7 pips, tetapi order sell Anda sudah profit trading 500 points atau 50 pips. Artinya, Anda sudah mendapat keuntungan sebesar 43 pips.
Dalam skenario ini, ada 3 tindakan yang bisa Anda pilih:
- Menutup posisi buy di level 1.19530 dan mendapat keuntungan 43 pips.
- Menutup order buy di level breakeven (1.20000) dan mendapat profit 50 pips.
- Menutup order buy di atas 1.20000 untuk bisa meraih profit trading lebih tinggi.
Pada akhirnya, semua skenario hedging di atas bisa mendatangkan profit. Tentu saja ada risiko harga berbalik turun sebelum benar-benar menyentuh level yang ditargetkan. Oleh karena itu, pemahaman akan kekuatan tren sangat diperlukan di sini, agar Anda tak menetapkan target profit trading yang kelewat jauh.
Strategi dan indikator yang digunakan juga tidak harus sama dengan contoh di atas, yang menggunakan oscillator dan Price Action untuk melihat sinyal reversal. Ada baiknya Anda menggunakan sistem yang sudah teruji berdasarkan pengalaman dan pemahaman trading sendiri.
B. Strategi Hedging Tidak Terencana
Anda melihat peluang kenaikan harga saat EUR/USD menyentuh 1.20000. Tak lama kemudian, order buy pun dibuka untuk mendapatkan profit dari perkiraan tersebut. Ketika harga malah turun ke level 1.19500, Anda panik dan merasa analisa sebelumnya telah keliru. Anda pun membuka order sell di level tersebut, tetapi harga selanjutnya malah naik di 1.19530.
Dalam posisi terkunci seperti itu, posisi buy dan sell Anda sama-sama menderita loss. Karena semua dilakukan tanpa rencana dan analisa, Anda tak tahu apakah harus membiarkan keduanya tetap terbuka, menutup salah satu posisi tersebut, atau mengakhiri keduanya?
Skenarionya seperti ini:
- Dua posisi dibiarkan terbuka: Jika harga naik, floating loss dari posisi sell akan terus bertambah, sedangkan posisi buy baru akan breakeven jika harga kembali menyentuh 1.20000. Sementara Anda menanti kemungkinan mana yang memiliki probabilitas paling tinggi, posisi hedging yang sudah terkena dua kali spread itu bisa dibebani lagi oleh bunga swap.
- Menutup salah satu posisi: Anda harus benar-benar tahu posisi mana yang harus ditutup, dan di level mana sebaiknya order di-close. Jika kurang perhitungan di salah satu aspek, maka Anda justru bisa menutup posisi yang salah. Mengingat tindakan hedging sebelumnya sudah dilakukan tanpa rencana, maka penutupan posisi pun kemungkinan besar tidak diperhitungkan dengan matang.
Katakanlah saat harga sudah berada di 1.19530, Anda masih ragu apakah harga sudah memantul dan bisa bergerak naik lebih lanjut, karena sebelumnya sudah begitu dikecewakan oleh penurunan harga sampai 50 pips. Pergerakan naik yang sebenarnya diawali oleh sinyal oversold dan Bullish Reversal Price Action itu pun hanya terlihat sebagai koreksi di mata Anda. Sehingga pada akhirnya, yang ditutup justru open buy. Ketika harga melesat sampai ke 1.20000, kerugian Anda jelas makin berlipat; sekitar -7 pips dari posisi buy, ditambah -50 pips dari order sell. Itupun belum diakumulasikan dengan spread dan (kemungkinan) swap negatif.
Sumber : seputarforex.com