Tasuku.
______________________________
__________________________
Aku segera membuka tirai jendelaku.
Tapi tidak ada siapapun dihalaman belakang penginapan,
kecuali Daina, yang sedang berkebun sambil bersenandung,
Nampaknya sibuk, begitu asyik hingga tidak menyadari keberadaanku.
Aku tertunduk lesu.
Sesaat saja, aku seperti merasa bagian diriku yang lainnya berada amat dekat.
Kakak…
Kusandarkan tubuh pada dinding, menarik diri,
Kenapa barusan aku merasa kakak begitu dekat?
Memang kakak tidak pernah mengatakan secara jelas keberadaannya, ia takut aku mencarinya, dan ia juga takut aku menemukannya, terutama pada saat ia bertugas.
Itu adalah kode etik.
Jika ia gugur suatu saat, aku takkan tahu kemana harus mencari, begitulah ia bilang.
Aku memilih tempat ini, Negara ini, karena ia disini, semakin dekat kami, kemungkinanku bertemu dengannya pastilah akan semakin besar,
“Selama aku masih memberi kabar padamu, selama itu pula aku masih hidup.”
Mendekap erat bantal, aku tersiksa membayangkan kemungkinan terburuk.
Kakak selalu selamat dari bahaya seperti apapun secara ajaib, tapi aku tidak tahu sampai kapan keberuntungan itu bertahan.
Inilah pekerjaannya, pekerjaan yang ia pilih.
Dari pekerjaan ini, aku adiknya bisa hidup dan menempuh pendidikan yang lebih dari layak.
Pendidikan kakakku hanya setingkat sekolah menengah pertama, baca tulis alakadarnya,
"Kau yang hebat, kau yang jenius, jadi kau yang akan sekolah setinggi mungkin, tugasku mendukungmu dibalik layar."
Karena aku, kakak memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya sendiri, ia bahkan bisa dibilang tidak bisa menikmati masa remaja yang layak karena sejak usia sangat muda ia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai Zombie Hunter, Prajurit bayaran yang melanglang buana keberbagai tempat, berburu Zombie.
Aku meringkuk sedih diantara sudut tergelap kamarku,
kadangkala aku takut akan membebaninya,
Telah berulang kali perasaan ini kuutarakan, dan Kak Ari tak pernah benar benar mau menanggapinya.
“Mau bagaimana lagi, membunuh Undead itu satu satunya hal yang bisa kulakukan dengan baik, tak apa, jangan cemaskan aku, kau belajarlah dengan baik, kita sudah berjanji kan? Akan berjuang dijalan kita masing masing? Akan membuat surga, suatu saat.”
Begitulah kakak berkata selalu.
Tidak mudah bagi dua anak yatim piatu bertahan hidup setelah kehilangan kedua orang tua sekaligus dalam satu serangan Invasi mendadak.
Bayangkan saja, dalam singkatnya kehidupan, kami berdua yang terbiasa serba ada, terlindungi, penuh kenyamanan dalam dekapan hangat ibu bapak kami.
tiba tiba harus mengalami pahitnya kehilangan.
Hidup dipanti asuhan tidak mudah.
Terutama untukku, yang terbiasa hidup enak, kesulitan itu pasti,
Rasa kesepian, dingin, kiri atau kanan hanya ruang asing tak kukenal...
Lari kemanapun, sama saja, tidak menemukan tempat dimanapun...
Aku ingat jelas, dibulan desember, kala salju turun, kakakku memberikan selimutnya untukku, aku yang sering sakit sakitan ketika masih kecil selalu menggigil dengan hanya satu selimut tipis.
Kak Ari rela menahan dingin semalaman demi aku.
Begitu pula dengan makanan, tak jarang kakak memberikan jatahnya untukku.
Ia lebih suka lapar daripada melihatku kurus karena makan yang tidak mencukupi.
'Maaf ya Tasuku, aku tidak begitu berguna, kalau aku sepintar kau mungkin aku bisa mengajarimu pengetahuan yang berguna, tapi kau bahkan lebih pintar dari aku.'
Kak Ari berkata begitu, kakakku tidak banyak bicara tapi ia membawa energi positif serta kharisma dalam diri.
Ia pahlawanku, bagaimanapun ia merendahkan dirinya.
Hal hal seperti itu terus berlanjut,
Hingga pada suatu hari, mungkin setelah satu dua tahun, kakakku mulai berpikir,
"Hidup seperti ini terus, takkan ada kemajuan..."
Aku yang masih kecil mendengarkan itu, tidak memahami apa maksudnya.
Beberapa minggu setelah itu, Kakakku mengajakku kabur dari panti asuhan.
Aku mengikutinya, kami tidak peduli, kami berdua berpikir,
Kemana saja, asalkan kami tetap berdua, kami akan baik baik saja, kami akan selalu baik baik saja...
Namun ternyata, kehidupan diluar sana, tidak segampang yang kami bayangkan.
Bahkan jauh lebih sulit daripada kehidupan anak panti yang notabene serba teratur.
Kakakku terpaksa bekerja apa saja, kendati usianya masih belia,
Tidak peduli pekerjaannya baik, ataukah buruk, semua demi menafkahi aku.
Selama beberapa bulan hidup kami terlunta lunta, kehidupan liar seperti biasa.
Anak jalanan, kakakku yang nakal dan suka berkelahi sejak kecil tidak kesulitan sama sekali dengan pekerjaan kasar yang ia dapatkan.
Disaat terdesak ia mungkin saja akan melakukan tindakan macam pencurian.
Dia tak pernah benar benar bilang padaku, karena tahu aku takkan suka, aku hanya tahu…
Kakak takkan pernah bisa menyembunyikan sesuatu dariku.
Aku tidak bohong jika kubilang 'Aku bahagia', kendati apa yang kami sebut 'rumah' hanyalah sepetak kamar sempit, hanya muat untuk ranjang, kendati makan hanya satu kali sehari dengan lauk pauk seadanya, kami berdua tidak bisa membeli apapun kecuali apa yang kami makan setiap hari, yang mungkin bagi sebagian orang tidak bisa disebut sebagai makanan.
Aku menunggunya pulang pada sore hari, seharian yang kukerjakan hanya membaca buku.
Karena saat keadaan susah sekalipun, kakak masih sempat membelikanku buku buku bekas yang menjadi harta karunku yang paling berharga.
Dari kamus kamus usang yang banyak halamannya telah tanggal tersebut aku mempelajari banyak bahasa asing.
Ya, bagiku, tidak masalah hidup sesukar apapun, selama kami bersama, aku bahagia, aku akan selalu bahagia...
Tidak terlalu naïf jika kukatakan aku puas dengan kehidupanku.
Hingga pada suatu pagi kakakku terbangun, menemukanku dalam keadaan demam parah, kami tidak punya uang.
Kakakku kalut bukan main, ditengah ketidak berdayaan, Ia membawaku ke rumah sakit, tidak memiliki bayangan akan membayar dengan apa.
Pneumonia, mereka bilang, aku terserang radang paru paru karena bakteri dan virus.
tapi karena kami tak memiliki biaya, tidak ada yang mau merawatku.
Nyaris mati, disaat saat terakhir kakakku menghilang.
Meninggalkanku sendirian dirumah sakit, mereka memberikanku kamar karena kasihan, tetap tanpa perawatan yang berarti,
Aku bertahan selama sehari semalam, mendengarkan bisik bisik bahwa aku 'telah ditinggalkan untuk mati'.
Antara sadar dan tidak, pandanganku menerawang dilangit langit rumah sakit, dalam menit menit membosankan itu terus menunggu,
aku nyaris yakin bahwa kakak telah meninggalkanku.
Pasrah menunggu kematian.
Kemudian, entah berapa lama, kusadari hari sudah pagi, dan para dokter serta suster masuk keruanganku, Mereka melakukan sesuatu pada tubuhku yang aku tidak tahu apa.
Badanku yang semula demam tinggi mendingin karena penyakit yang membuat suhu tubuhku naik turun, mulai mati rasa.
Tapi, ditengah kerumunan orang orang itu, aku melihat, pada celah kecil dipintu,
mengintip kearahku,
Kakak.
Wajahnya nampak kelelahan, amat sangat cemas,
bisa kulihat betapa ia memikirkanku.
Sekejap kemudian aku merasa umurku masih sangat panjang, akan sampai ratusan tahun.
Penantian melelahkan semalam serasa tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan perasaan ini.
Bangganya,
Kakakku tidak akan meninggalkanku.
saudarku satu satunya, aku masih punya keluarga didunia ini...
Segera, begitu dokter dan suster selesai melakukan pemeriksaan, ia menghampiriku.
Ia menggenggam tanganku erat, Membisikkan kata kata penuh permohonan,
"Hiduplah, Tasuku... kakak ada disini, kakak tidak akan membiarkanmu mati, hiduplah Tasuku, demi mimpi kita... ingat janji kita."
Kata demi kata terus ia ulangi, semakin sering, semakin cepat.
Membuatku menyesali diri.
Mengapa aku sempat tidak mempercayainya?
Mengapa aku berpikir ia akan meninggalkanku?
Kakakku mencintaiku,
ia tidak akan pernah meninggalkanku, apapun yang terjadi...
Kakak tidak berkata apapun, aku tidak paham darimana ia bisa mendapatkan uang untuk biaya pengobatanku.
Yang pasti tak ada yang berubah diantara kami berdua.
Aku sadar kembali keesokan paginya, aku ingin hidup, selama mungkin, supaya aku bisa terus berada disisinya, kakakku…
Kukira akan sama seperti sediakala, kukira kami bisa hidup bersama lagi seperti dulu.
Ketika kami kembali ke’rumah’, kakak malah memintaku kembali ke panti asuhan.
Aku marah, tidak terima,
Aku bertanya apakah ia sudah tidak menginginkanku lagi?
“Aku bisa mendengarkanmu selamanya.”
Hanya satu kata tersebut dan lengkaplah sudah keyakinanku.
Begitu kuat tak terpatahkan.
Kakak meninggalkanku bersama sebuah koper berisi barang barangku didepan panti asuhan.
Ia berkata bahwa kami harus hidup, bahwa kebanggaannya, nafasnya, adalah milikku.
Aku.
Dan aku tidak boleh ragu.
Ia akan kembali padaku, ia berjanji.
Seminggu setelah aku berpisah dengan kakakku.
Aku mendengar kepala panti bicara kepada para pengasuh.
Tentang kakakku.
Tentang kemana dia pergi.
Mereka mengatakan kakakku menyetujui kontrak dengan para prajurit bayaran, mengambil resiko berbahaya dan menukarnya dengan uang yang cukup.
Mereka mengatakan ia takkan kembali.
Bahwa para prajurit bayaran sangat sering bepergian dengan partner, tapi jika memutuskan membawa pelayan, maka kemungkinan besar hanya akan menjadi umpan.
Semula aku bersedih mendengarnya.
Lagi lagi kakak… mengorbankan dirinya, menempuh bahaya besar demiku.
Tapi keyakinanku lebih kuat bahkan dari kenyataan yang kulihat.
Aku memilih memalsukan ingatanku dan terus fokus pada tujuan.
Anak anak itu lebih keras kepada dan susah goyah, jika sudah berniat.
Karena mereka tidak punya hal lain untuk dipikirkan,
Serta begitu naif kala meyakini sesuatu.
Ia telah berjanji.
Kakak berjanji padaku, dan seumur hidupku, ia belum pernah mengingkari janji.
Kakak akan kembali.
Walau harus mati, ia akan kembali.
Hari demi hari kulalui penuh kesendirian, dibalik tembok panti asuhan yang terbatasi oleh aturan.
Melihat kearah Anak anak lain yang berada di panti yang sama dan juga kehilangan keluarga mereka karena perang dan Invasi.
Pelan pelan aku mulai menyadari, bahwa aku bukan satu satunya yang menderita didunia ini,
Tidak sedikit diantara mereka yang cacat, terganggu mentalnya karena trauma psikis dan berjuta problema lain yang tidak pantas dialami anak dibawah umur.
Ya, Lihatlah kebawah, itu amat sangat membantu pada saat kau merasa berada dalam kondisi terburukmu.
Aku selalu melakukan itu,sejak kecil, niscaya selalu melihat jalan didalam kondisi yang bahkan sekilas seperti nyaris tanpa harapan sekalipun.
‘Lihatlah kebawah’, masih banyak yang lebih susah…
Karena itu aku merasa aku tidak boleh terpuruk.
Kakak disana juga tengah berjuang untukku,
Keberadaannya tidak kutahu, tapi bisa kurasakan…
Entah apa yang tengah ia lewati sekarang, aku takkan kalah oleh nasib, aku harus jadi pribadi yang lebih kuat dan hebat agar saat ia pulang nanti, aku bisa menyambutnya dengan pelukan hangat dan tangan terbuka.
Aku mulai belajar berolahraga, melatih tubuhku agar aku tidak sering sakit sakitan lagi.
Cukup membantu bagiku, sebab fisikku menguat seiring usahaku.
Bersamaan dengan berjalannya waktu, kehidupan karena perang melawan Undead menyebabkan semakin banyak korban berjatuhan.
Jika kau membuka siaran berita ditelevisi, keadaan chaos, pertumpahan darah terjadi disana sini,
Aku tumbuh dengan merasakan empati pada keadaan disekitarku, dimana semua yang ada hanyalah anak anak yatim piatu yang sama denganku.
Naluri keprihatinanku akan kerasnya keadaan terbentuk dari sana.
Dilain pihak, Pelan pelan perkembanganku semakin baik, semakin hari semakin cemerlang.
Bahkan tidak sedikit orang tua asuh yang berniat mengadopsiku sebagai penerus.
Tentu aku tidak pernah berniat, aku disuruh menunggu.
Kakakku yang memintaku menunggu.
Jadi aku takkan kemana mana, cukup disini saja.
Aku mempercayainya, dan takkan berubah apapun yang terjadi.
Terjadi juga, tiga tahun setelah kepergian kakakku,
Mereka mengatakan bahwa kakakku sudah mati.
Seseorang membawa kabar bahwa ledakan di Nepal menewaskan kakakku juga.
Hari itu adalah dilema terbesar dalam hidupku.
Apakah aku harus percaya?
Yang mana yang harus kupercaya?
Aku tidak menangis, tidak didepan orang lain, aku lebih memilih lari kesuatu tempat, dimana hanya ada aku sendiri disana, dan menangis sekerasnya.
Dia tidak mati, dia tidak boleh mati.
Kami akan membuat surga, Itu janji kami.
Orang dewasa mencibir bagaimana mungkin dua bocah ingusan bisa mewujudkan mimpi itu?
Tapi aku merasa bisa, selama bersama kakakku, aku bisa.
Kau tidak akan mati, kan kak?
Kau akan mendengarkanku kan?
Dimanapun kau berada, kau selalu bisa mendengarkanku kan?
Aku memanggilmu…!
Tak terasa setahun berlalu sudah sejak berita kematian kakakku, aku sudah menginjak usia pubertas,
Tak seharipun terlewat tanpa memanggil namanya,
Kuingkari kenyataan bahwa ia telah tiada –setidaknya itulah yang mereka katakan- dan melanjutkan hidup, masih menunggunya.
Ketika itu aku telah meraih beberapa prestasi dibidang akademik dan segalanya berjalan dengan baik.
Pengelola panti asuhan menyarankanku untuk mempertimbangkan, tentang beberapa keluarga ternama yang menginginkanku sebagai penerus.
Ibu tua yang baik hati itu menjelaskan betapa kehidupanku akan jauh lebih baik dan terjamin jika aku menerima tawaran mereka dan bersedia diadopsi.
Dalam hati aku menolak, tapi aku berjanji akan memikirkannya.
Aku terus berkonsentrasi pada pelajaranku sementara berkas berkas orang tua asuh semakin menumpuk.
Pada suatu hari, juga dibulan Desember, salju sedang turun, lagi lagi.
Aku termenung didekat jendela dan perapian.
Nyaris menandatangani salah satu berkas secara acak karena putus asa.
Genap 4 tahun sudah aku menunggu.
Tidak ada kabar, satupun.
Surat, telepon, email, atau apapun,
Dan tiba tiba saja dia pulang…
Menyebalkan sekali.
Kakakku tampak semakin tinggi dan gagah.
Ia mengenakan mantel tebal dan sweater, salju menempel dirambutnya yang sehitam arang.
Tidak bawa apa apa, oleh oleh juga tidak ada, yang pulang hanya ia sendiri.
Kelihatan sangat bersusah payah.
Syukurlah.
Tidak terkira ucapan syukurku saat melihatnya kembali.
Hey, kakakku hebat kan?
Ia benar benar menepati janjinya.
Ia takkan meninggalkanku.
Takkan pernah.
Hari itu ia menjemputku, ia mengatakan kami akan selalu bersama,
Tidak akan terpisahkan lagi.
Aku tidak sendirian lagi, aku punya keluarga, dan dialah keluargaku satu satunya…
Mulai dari waktu itu, aku hidup bersama kakakku.
Ia bekerja, aku belajar.
Ia pekerja yang luar biasa.
Profesinya memang bisa mendatangkan uang banyak dalam waktu cepat, namanya tersohor sebagai Prajurit bayaran berkemampuan tinggi.
Namun resiko pekerjaan itu tidak sedikitpun berkurang hanya karena ia terkenal.
Sedangkan aku, yang kulakukan hanya harus belajar dan belajar,
urusan yang lain serahkan pada dia saja...
Sebanyak apapun penghasilan kakakku,
Uang selalu habis untuk biaya kuliahku yang tidak sedikit.
Apalagi aku sering loncat kelas dan sudah memasuki bangku kuliah diusia 15 tahun!
Belum lagi Kami tinggal berpindah pindah Negara menghindari Invasi, dan hidup seperti itu sama sekali tidak murah.
Kakak selalu mengurus segalanya dengan amat baik.
Ia melindungiku...
Aku, dimanapun aku berada, orang selalu memujiku 'pintar', 'jenius', 'mengagumkan', entahlah apa lagi, aku tidak bisa mengingatnya karena pujian seperti itu sangat sangat banyak, sampai rasanya jika aku tidak berhati hati, kepalaku mungkin bisa meledak saking congkaknya.
Yang aku tidak habis pikir, yaitu aku, buku buku dan sebutan ‘jenius’ salah alamat itu…
Mereka keliru, aku bukan Jenius seperti apa yang mereka yakini.
Kakakku lah jenius yang sesungguhnya.
Dengan keringat dan darahnya aku bernafas.
Apa yang kucapai hari ini, semua itu adalah hasil dari jerih payah dan pengorbanan dari dia yang paling kuhormati didunia ini.
Seumur hiduppun aku takkan bisa membalas jasanya,
Aku tidak boleh berbangga hati, apapun pencapaianku,
Segala pujian itu kupersembahkan untuknya,
Ia bertarung untukku, jadi aku akan terus berusaha hingga hari saat ia bisa berdiri penuh kebanggaan melihatku berhasil meraih impian kami.
Saat rasa rindu ini menyengatku, aku berdoa semoga keselamatan dan perlindungan selalu diberikan kepada kakak yang selalu mencintai dan melindungiku sampai hari ini.
Dan aku tidak boleh gagal, karena itu aku harus berusaha keras, jika aku bisa menemukan obatnya, tidak hanya orang lain, aku bisa melindungi kakakku juga…
Kakakku, orang yang paling berharga bagiku.
‘Lihat Tasuku, mimpi kita, kita sudah selangkah lebih dekat,’
-
-
-
-
-
Kuusap butiran bening yang menguap disudut mataku.
Tersenyum mengingat kenangan menyesakkan sekaligus membahagiakan yang memenuhi dadaku.
Suara hujan yang jatuh dari langit mengejutkanku, begitu tiba tiba.
Entah mengapa, perasaanku tergelitik untuk kembali mengintip dari sudut sudut jendela.
Perlahan menarik gorden berwarna krem itu dan melirik kebawah.
Daina masih disana, sendirian saja.
Ia sudah tidak bekerja lagi.
Sapu dan alat alat berkebun yang lain tergeletak begitu saja didekat kakinya.
Kali ini ia berdiri terpaku.
Ditengah hujan deras yang mengguyurnya.
Ia melihat kearahku tajam,
Seakan mengerti saat ini aku sedang merasakan gundah.
Orang lain akan berkata bahwa ini menakutkan.
Sorot mata gadis itu begitu memohon dan tergila gila.
Terjadi kontak mata antara kami, seperti tersengat listrik, getaran itu nyata adanya.
Tapi aku bahkan tidak tersenyum untuk membalas tatapannya, memilih untuk bersikap kejam, seolah tidak peduli apapun yang mungkin terjadi pada gadis itu.
Kutarik kembali gorden menutup secepat yang aku bisa,
Aku tidak tahu apakah Daina sudah pergi,
Kembali aku bersandar pada dinding,
Impianku saja sudah cukup.
Aku tidak perlu cinta segala untuk membuka jalan.
+++